SBY Renang di Danau Lumpur Lapindo?


 

Lalu mengapa kebocoran sumur Banjar Panji 1 Porong milik Lapindo Brantas Inc (Lapindo) tidak dapat dihentikan, padahal letaknya di darat, yang mestinya lebih gampang dibandingkan kebocoran sumur minyak Teluk Meksiko?

Rudi Rubiandini, pakar pengeboran minyak dan gas bumi (migas) yang pernah mengerjakan upaya penghentian semburan lumpur Lapindo mengatakan bahwa upaya penyumbatan semburan lumpur Lapindo dihentikan pihak Lapindo yang berdalih kekurangan dana.

Keterangan Rudi tersebut sesuai dengan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 29 Mei 2007 yang menyatakan bahwa ketidakberhasilan upaya penghentian semburan lumpur Lapindo diantaranya disebabkan oleh ketidaktersediaan peralatan yang dibutuhkan.

Pemerintah Indonesia tidak berbuat apa-apa membaca temuan BPK itu, tidak melakukan tekanan kepada Lapindo dan Grup Bakrie. Presiden SBY memang beda tipe dengan Presiden Obama dan DPR RI juga beda karakter dengan Kongres AS, dalam bela negara.

Alih-alih menekan Grup Bakrie, tapi Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TPPLS) DPR RI dahulu malah mengeluarkan “fatwa” bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa Jogja. Wewenangnya “mengontrol” penanggulangan, tapi malah mengeluarkan fatwa teknis.

Hukum Tata Negara jadi kacau di tangan parlemen kita. Sudah tahu kalau fungsi parlemen itu fungsi kontrol, bujet dan regulasi, malah mblakrak mengeluarkan rekomendasi teknis penyebab semburan lumpur. Namun, ketika pemerintah dan Lapindo tidak serius dalam menyelesaikan masalah korban, TPPLS DPR RI juga tidak berbuat apa-apa.

Kenapa fatwa gempa Jogja itu bisa keluar dalam rekomendasi TPPLS DPR? Ada isu suap, yang memang sulit dibuktikan, akhirnya hanya menjadi bisik-bisik publik yang menilai rekomendasi DPR irasional.

Dalih gempa Jogja itu juga mempermalukan tiga ahli Indonesia di Conference & Exhibition yang dilaksanakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) di Cape Town Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008 . Tanggal 29 Oktober 2008 saya dikirimi email oleh Rudi Rubiandini yang menginformasikan hasil konferensi yang dihadiri para ahli geologi seluruh dunia itu.

Pada acara itu disampaikan sekitar 600 makalah dalam 97 tema yang berbeda, dan terdapat 6 buah tema khusus yang sangat dianggap penting yaitu “Lusi Mud Volcano: Earthquake or Drilling Trigger” yang disampaikan 28 Oktober 2008.

Konferensi internasional itu menghasilkan tiga suara ahli (dari Indonesia) yang mendukung gempa Jogja sebagai penyebab, 42 orang ahli menyatakan pengeboran sebagai penyebab, 13 ahli menyatakan kombinasi faktor gempa Jogja dan pengeboran sebagai penyebab, dan 16 ahli menyatakan belum bisa mengambil opini.

Jadi, cukup memprihatinkan ketika pengadilan Indonesia memilih keterangan ahli pihak Lapindo yang berupa asumsi serta hipotesa. Pengadilan menyingkirkan dokumen negara yang otentik, hasil investigasi dan kerja keras tim ahli BPK yang menggunakan data-data primer. Ini menabrak hukum pembuktian pasal 1866 KUHPerdata dan pasal 164 HIR.

Kebijakan pemerintah (eksekutif) tidak tegas, terkesan memihak Grup Bakrie. Rekomendasi parlemen (legislatif) melalui TPPLS juga memihak Grup Bakrie. Begitu pula putusan lembaga yudisiil juga memihak Grup Bakrie.

Seluruh lembaga negara itu tak ada yang memihak hak keadilan dan kebenaran rakyat korban langsung, serta rakyat Indonesia seluruhnya yang dipaksa memikul beban masalah lumpur Lapindo itu lewat APBN serta APBD Jawa Timur, hingga semburan lumpur itu berhenti. Sampai kapan?

Sekarang kita dapat mengambil benang merah antara: mandegnya upaya penghentian semburan lumpur Lapindo dengan kepentingan korporasi Grup Bakrie dalam masalah lumpur itu. Tak lain dan tak bukan adalah: mengamankan posisi finansial korporasi, lalu mengorbankan rakyat dan negara.

Jika semburan lumpur Lapindo itu berhasil dihentikan maka itu akan menjadi bukti besar bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan kesalahan pengeboran oleh Lapindo sehingga Grup Bakrie harus dibebani dana besar seperti BP di Teluk Meksiko.

Saya tidak menemukan solusi dalam kasus ini melainkan dengan secara guyonan: ada baiknya kita menyewa Hugo Chavez atau Evo Morales untuk menjadi Presiden Indonesia, agar mereka ini mengajari kita bagaimana cara bernasionalisme yang benar.

Pun andaikan Presiden SBY tegas memerintahkan semburan lumpur Lapindo dihentikan kemudian berhasil, tidak perlulah meniru gaya Obama dengan berenang di danau lumpur Lapindo untuk merayakan kesuksesan itu. Tidak perlu!

(c) Subagyo, Kompasiana

 


Translate »