Penyakit Ingkar Janji Lapindo Kambuh


SIDOARJO – Lapindo tampaknya memang mengidap penyakit ingkar janji yang akut dan mudah kambuh. Lagi-lagi PT Minarak Lapindo Jaya enggan membayar aset warga korban melalui skema cicilan Rp 15 juta/bulan. Sebelumnya PT MLJ tidak mentransfer cicilan selama lima bulan. Lalu menjelang Idul Fitri, PT MLJ hanya membayar cicilan Rp 5 juta, jauh dari angka yang dijanjikan. Dan hingga hari ini (18/10/2010), PT MLJ masih belum juga mentransfer uang cicilan ke rekening warga korban Lapindo.

“Minarak itu sudah seenaknya tidak mencicil Rp 15 juta selama lima bulan. Dan sebelum lebaran Minarak hanya membayar Rp 5 juta. Sekarang sudah sebulan Minarak juga belum mentransfer,” ujar seorang warga Desa Ketapang, Tanggulangin, yang enggan disebut namanya.

Bukan hanya itu, warga juga menyayangkan sikap Pemerintah yang seakan-akan tidak perduli dengan penderitaan warga. Meskipun Lapindo tidak mentranfer cicilan berbulan-bulan, Pemerintah seakan-akan tidak berdaya menghadapi Lapindo. Bahkan terkesan tidak perduli. “Lapindo sudah sering mengingkari janjinya untuk membayar cicilan, tapi sikap Pemerintah kok tidak perduli sama sekali. Seharusnya ‘kan pemerintah menekan Minarak,” ucap warga Ketapang yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang ojek tanggul tersebut.

Tidak dibayarnya cicilan Rp 15 juta sesuai waktu yang telah disepakati membuat kebanyakan warga korban lumpur Lapindo kebingungan. Hamamik, warga asal Jatirejo, pusing saat rumah yang dikontraknya tersisa tinggal hitungan hari. Uang cicilan dari Minarak yang menjadi harapan keluarga Hamamik ternyata tidak kunjung dibayarkan. “Sudah sebulan Lapindo tidak membayar cicilan lagi. Apalagi tanggal 30 nanti masa kontrakan rumah saya mau habis. Kalau Lapindo tidak segera membayar cicilan, saya mau tinggal di mana? Sedangkan saya juga belum bisa membeli rumah,” kata pria yang sehari-hari juga mengojek di tanggul ini.

Hamamik dan keluarga masih belum bisa membeli rumah lagi. Maklum saja, aset tanah dan bangunan miliknya masih tercatat satu surat dengan ketiga saudaranya. Artinya, jika Lapindo membayar Rp 15 juta/bulan maka harus dibagi empat orang. Praktis Hamamik hanya menerima sebesar Rp 3.750.000. “Dan uang itu selalu habis untuk kebutuhan sehari-hari dan buat biaya sekolah anak saya,” cerita Hamamik yang mengontrak di Perumahan Tanggulangin Angaun Sejahtra II (TAS) ini. “Sedangkan  saya sekarang tidak jualan susu lagi sejak Desa Jatirejo tenggelam. Jadi untuk kebutuhan sehari-hari, ya, mengandalkan cicilan dari Lapindo,” lanjutnya.

Sementara itu, warga korban Lapindo yang tinggal di Desa Gempolsari, Tanggulangin, mengalami nasib lebih parah. Pasalnya sebanyak 20 warga sampai saat ini belum menerima ganti rugi 20 persen, padahal warga yang kebanyakan tinggal di RT 10/ RW 2 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin,  termasuk dalam Peta Area Terdampkan  (PAT) versi Perpres 14/2007.

“Sudah empat tahun lebih, tapi sampai saat ini saya masih belum menerima pembayaran ganti rugi 20 persen. Padahal berkas saya sudah ada di Minarak,” ungkap Suparno, warga yang kini terpaksa masih menempati rumahnya yang rawan di Desa Gempolsari. Hamamik, Suparno dan warga korban lumpur Lapindo lainnya berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka dan berani menekan Lapindo untuk melaksanakan tanggung jawabnya. (vik)

(c) Kanal Newsroom


Translate »