APBN Menyiram Lumpur Lapindo


EMPAT tahun sudah lumpur panas Lapindo merendam masa depan rakyat Sidoarjo, Jawa Timur. Masyarakat kehilangan rumah tinggal, harta, sawah, dan lebih-lebih kehilangan harapan.

Mereka hidup di tenda-tenda tanpa ada kepastian entah sampai kapan. Padahal, kepastian itulah yang sedang ditunggu rakyat Sidoarjo. Namun, tiada kunjung datang.

Mereka bertanya kepada bupati, gubernur, dan juga kepada Presiden.

Tetapi bukan jawaban yang mereka peroleh. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun balik bertanya, kapan kasus lumpur Lapindo berakhir. Presiden risau. Kepala Negara mengeluh. Presiden berharap ada solusi permanen agar APBN tidak terus-menerus diguyurkan setiap tahun untuk menyiram lumpur Lapindo.

Sejak lumpur Lapindo menyembur di bumi Sidoarjo pada Mei 2006, pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah. Presiden membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo melalui Keppres No 13 Tahun 2006.

Setahun tim itu bertugas, tak ada tanda-tanda masalah bisa teratasi. Presiden lalu membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo melalui Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007. Sejak itu dana APBN mulai mengalir ke lumpur Lapindo. Kini kocek negara sudah terkuras Rp4,3 triliun untuk menyumbat bencana lumpur Lapindo.

Kita heran ketika Presiden mengeluh mengenai lumpur Lapindo yang tak kunjung berakhir. Justru Presidenlah yang semestinya memberi jawaban mengapa lumpur Lapindo yang sudah berusia empat tahun itu tak kunjung reda.

Bukankah Presiden sudah membentuk sejumlah lembaga untuk menanggulanginya? Apa hasilnya? Dana APBN Rp4,3 triliun sudah mengalir ke lumpur Lapindo, apa manfaatnya? Berapa banyak dana APBN lagi harus digelontorkan ke Sidoarjo untuk menyumbat sumber lumpur Lapindo?

Negeri ini berada di pusat berbagai bencana alam. Letusan gunung api, gempa, tsunami, setiap saat bisa menjadi kenyataan buruk bagi anak bangsa ini. Kita butuh dana besar untuk menggerakkan setiap elemen penyelamatan saat bencana tiba.

Bertambah celaka, lumpur Lapindo terus menggerogoti APBN. Sampai kapan? Presiden semestinya memberi jawaban yang menenangkan publik. Yang menenteramkan rakyat.

Publik telah lelah bertanya. Yang ditunggu adalah jawaban pemerintah. Ataukah kita masih menyerahkan kepada alam untuk menjawab? Astaga!

(c) mediaindonesia.com


Translate »