Hari HAM dan Korban Lumpur Lapindo


Jakarta – Hasil penyidikan Komnas HAM dalam kasus Lapindo masih misteri. Sebegitu sulitkah menemukan adanya pelanggaran HAM dalam kasus lumpur Lapindo?

***

Tanggal 10 Desember adalah hari yang bersejarah bagi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di dunia. Tanggal 10 Desember 1948, Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berhasil mengikrarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia Dunia (UN Universal Declaration of Human Rights), dan sejak itu pula, setiap tahunnya tanggal 10 Desember dijadikan sebagai peringatan hari HAM sedunia.

Dalam dokumen “Deklarasi HAM Dunia” itu secara jelas dinyatakan bahwa HAM merupakan hak mendasar yang wajib dimiliki oleh setiap insan manusia termasuk pria, perempuan, tua maupun muda. “Deklarasi HAM Dunia” juga menyatakan bahwa: “Setiap umat manusia memiliki hak untuk hidup, hak untuk mendapat kebebasan, dan hak untuk mendapatkan perlindungan keselamatan.”

Warga Porong, Sidoarjo adalah bagian dari warga dunia. Mereka berhak pula mendapatkan perlindungan atas keselamatan hidup. Namun sejak muncul semburan lumpur Lapindo, keselamatan mereka terus menerus dalam ancaman. Nasib naas yang dialami oleh Purwaningsih dan Dedy Purbianto dapat dijadikan contoh dalam hal ini.

Purwaningsih dan Dedy Purbianto adalah dua warga Desa Siring,  Porong, Sidoarjo. Pada awal September 2010 lalu dua orang itu harus dirawat di rumah sakit. Sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang cukup serius. Semburan gas liar yang mengandung metan dari lumpur Lapindo tiba-tiba terbakar dan melukai tubuh mereka berdua.

Ancaman bagi warga Sidoarjo bukan hanya munculnya semburan gas liar yang mudah terbakar namun juga makin meluasnya penurunan tanah di Porong. Kini penurunan tanah di kawasan itu mulai membahayakan konstruksi rumah. Rumah yang tidak tenggelam lumpur Lapindo pun berpotensi roboh secara berlahan. Praktis, warga Porong seperti menghitung hari untuk menjadi pengungsi.

Sementara polusi udara di Porong sudah menjadi bagian dari keseharian warga. Tanpa harus menggunakan alat pemantau kualitas udara pun kita dengan mudah dapat memastikan bahwa di Porong telah terjadi polusi udara yang begitu parah. Bau busuk yang menyengat di kawasan itu sejak munculnya semburan lumpur Lapindo adalah salah satu indikasinya.

Bukan hanya udara, air tanah di Porong pun juga sudah tercemar. Padahal sebelum terjadi semburan lumpur, air tanah di Porong dapat digunakan untuk mencuci, mandi dan memasak. Penyakit gatal-gatal adalah sesuatu yang biasa dialami oleh warga Porong, jika mereka memaksa menggunakan air tanah untuk mandi sehari-hari.

Warga Porong yang sudah menderita dan kehilangan pekerjaan pun masih harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli air bersih. Nilai rupiah yang dikeluarkan untuk membeli air bersih itu mungkin tidak berarti bagi pemilik Lapindo atau pejabat di Jakarta. Namun nilai uang itu sangat besar artinya bagi warga Porong yang hingga kini  menderita akibat lumpur Lapindo.

Tidak Peduli

Bukan hanya lingkungan hidup yang dihancurkan oleh lumpur Lapindo, namun juga masa depan anak-anak Porong. Akibat lumpur Lapindo, anak-anak Porong, Sidoarjo banyak yang akhirnya tidak melanjutkan sekolah.

Menyusutnya jumlah siswa dan guru di SDN Kedungbendo III misalnya, sebelum muncul semburan lumpur Lapindo siswa SDN Kedungbendo III berjumlah 553 orang. Namun kini hanya tersisa 30 orang. Guru di SDN itu pun menyusut tajam, dari 15 orang guru, kini hanya menyisakan 3 orang guru saja.

Kondisi memprihatinkan warga Porong, Sidoarjo itu sudah sering diberitakan, baik di media massa cetak, elektronik dan juga media-media alternatif lainnya. Namun, ironisnya semua pemberitaan itu dianggap angin lalu oleh pemerintah. Mereka seperti menganggap sepele ancaman kehidupan yang terjadi di Porong, Sidoarjo.

Ketidakpedulian pemerintah terhadap keselamatan warga Porong, Sidoarjo itu nampak dari tidak kunjung adanya payung hukum mengenai ganti rugi bagi warga terkait dampak kesehatan dan sosial dari lumpur Lapindo. Payung hukum yang telah ada hanyalah mengenai ganti rugi yang terkait dengan tenggelamnya tanah dan rumah warga. Itu pun telah dibelokan menjadi sekedar jual beli aset warga.

Akibatnya, persoalan lumpur Lapindo sudah dianggap selesai jika proses jual beli aset korban lumpur Lapindo berjalan lancar. Dampak buruk lumpur Lapindo lainnya yang justru mengancam keselamatan manusia tidak dianggap penting oleh pemerintah. Persoalan pelanggaran HAM bagi warga Porong, Sidoarjo pun bukan lagi sebatas wacana. Pelanggaran HAM seakan telah menjadi bagian dari keseharian warga Porong, Sidoarajo.

Awal tahun 2010, Sidang Paripurna Komnas HAM  secara aklamasi menyetujui rekomendasi Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo untuk membentuk Tim Penyelidikan Proyustisia tentang Pengadilan HAM atas Peristiwa Lumpur Lapindo. Tim menemukan dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus lumpur Lapindo yang mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)

Waktu pun berlalu. Hingga tulisan ini dibuat, hasil penyidikan Komnas HAM masih misteri. Komnas HAM yang semula diharapkan mampu memperkuat posisi korban lumpur dalam memperjuangkan hak-haknya, sekarang seperti loyo berhadapan dengan kasus lumpur Lapindo.

Pertanyaannya kemudian adalah sebegitu sulitkah menemukan adanya pelanggaran HAM dalam kasus lumpur Lapindo? Apakah Komnas HAM harus menunggu hingga lahir sebuah generasi cacat di Porong untuk membuktikan ada pelanggaran HAM dalam kasus lumpur Lapindo? Diabaikan hak-hak korban lumpur Lapindo selama lebih dari empat tahun ini menjadi tamparan keras bagi penegakan HAM di tanah air.

(c) Satudunia


Translate »