Sunami Bertahan Meski Lapindo Edan


Sunami kini harus rela tinggal di bekas ruko Pasar Buah Porong, tanpa tetangga. Perempuan 52 tahun ini hanya ditemani kedua anaknya, tanpa didampingi sang suami lagi. Suaminya meninggal setelah dua tahun kampung mereka dihancurkan Lapindo.

Pada 2006, begitu lumpur panas muncrat, hidup Sunami dan keluarga enggak keruan. Karena rumah tinggal hancur, mereka pun mengungsi ke Pasar Baru Porong. Setelah tiga bulan berdesak-desakan di pengapnya barak pengungsian, Sunami dan keluarga meneken tanda terima uang kontrak dari pihak Lapindo senilai Rp 5 juta, yang berarti mereka harus hengkang dari pengungsian. Mereka lalu mengontrak sebuah rumah di Kalitengah, Kecamatan Tanggulangin.

Sunami hanya mampu menyewa tempat tinggal itu selama satu tahun. Sebab, uang kontrakan yang diterimanya harus juga digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Maklum, Sunami tak punya penghasilan lagi begitu warung miliknya turut ditenggelamkan lumpur Lapindo. Sementara suami Sunami waktu itu sudah tidak bisa bekerja. Sewaktu di kampung Jatirejo, suami Sunami bekerja sebagai buruh tani dan pemungut sampah. Pekerjaan itu otomatis musnah begitu Desa Jatirejo luluh lantak.

Setahun hidup di rumah kontrakan, suami Sunami uring-uringan dan mulai sakit-sakitan. Setelah masa kontrak habis, Sunami mengajak suaminya dan kedua anaknya hijrah ke Gunung Gangsir, Pasuruan, sebab di sanalah kebanyakan keluarga mereka tinggal, persisnya di Desa Merangen.  Sunami menempati salah satu rumah saudaranya. Suami Sunami, yang sudah sakit-sakitan itu, akhirnya meninggal di sana, tepatnya pada 5 Juni 2008.

Sewaktu ditemui Kanal, Sunami bercerita sembari meneteskan air mata. “Bojo kulo sampun pejah, wes entok rong tahun. Sak marine kampungku kelelep lumpur, bojoku enggak gelem kerjo, senengane menyendiri neng kamar. Pas mari nyambangi neng tanggul, mesti moleh langsung muring-muring seng enggak jelas. Mungkin mikir omahe kelelep lumpur. Pas tahun 2008 bojoku dadi loro, terus pejah. Suami saya sudah meninggal, sudah dua tahun meninggalnya. Setelah kampung saya tenggelam oleh lumpur Lapindo, suami saya tidak mau kerja, suka menyendiri di kamar sendirian. Sering, setelah melihat tanggul penahan lumpur, pulang jadi marah-marah tidak jelas. Mungkin mikir rumahnya yang tenggelam lumpur. Pada 2008, suami saya sakit-sakitan, lalu meninggal.”

Tiga bulan setelah suaminya meninggal, Sunami bermaksud pindah lagi. Ia tidak mau merepotkan saudara-saudaranya di Gunung Gangsir, apalagi ia tidak bekerja apa-apa di sana. Ia pun meminjam uang sebesar Rp 1,5 juta dari adiknya buat menyewa rumah selama satu tahun. Sunami dan kedua anaknya memilih sewa rumah di Jatirejo Barat, persis sebelah barat Jalan Raya Porong.

Di kontrakan baru ini, Sunami membuka warung kopi kecil-kecilan. Lokasi warung itu persis berada di depan pos pantau Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Di warung kecilnya ini, Sunami mengais rejeki dari pengendara yang kebetulan berhenti dan mampir ke warungnya. Sesekali pedagang asongan juga mangkal di warung Sunami. Tidak banyak rejeki yang dia dapatkan, dalam sehari Sunami membawa pulang Rp 15 ribu sampai Rp 25 ribu.

Hasil jualan di warung ternyata juga tak mampu menopang hidup Sunami. Setelah setahun lebih di Jatirejo Barat, masa kontrak rumah pun habis. Sunami tak sanggup lagi membayar sewa rumah. Dan, ia pun harus hengkang dari rumah itu, persisnya pada 11 September 2010 lalu. Seorang pemilik bengkel bubut yang berada di Pasar Buah Porong berbaik hati membantu Sunami. Sunami dan kedua anaknya dipersilakan menempati bekas ruko di sebelah bengkel bubut itu.

“Sak wis’e ngontrak neng Jatirejo, kulo mboten gadah arto mane, terus ditolong Pak Bambang seng duwe bengkel bubut, dikongkon manggoni ruko sebelah’e. Terus listrik’e kulo dikongkon nyalur pisan. Setelah mengontrak di Jatirejo, saya tidak punya uang lagi. Terus saya ditolong Pak Bambang, pemilik bengkel bubut untuk menempati ruko di sebelahnya. Saya juga dibolehkan nyalur listrik dari bengkelnya juga,” cerita Sunami.

Derita Sunami tidak berhenti di sini. Sehari setelah menempati bekas ruko Pasar Buah Porong itu. anak keduanya, Ahmad Rosidi (18 tahun), tidak mau sekolah. Pasalnya, biaya sekolah Rosid sudah nunggak lima bulan. Menghadapi anaknya yang tidak mau lagi berangkat sekolah, Sunami pun pasrah, karena dirinya juga tidak sanggup membiayai tunggakan sekolah anaknya. “Anak kulo sekolah kelas loro. Sekolah’e sempat arep medot. Soal’e biaya sekolah Rosid telat limo wulan. Anak saya sekolah kelas dua (SLTA). Sekolahnya sempat mau putus, karena biaya sekolah Rosid sudah telat lima bulan,” ungkap Sunami.

Pihak SMK Al-Fudlola, Porong, tempat Rosid bersekolah, yang mengetahui permasalah anak didiknya langsung mencari tempat tinggal Rosid. Pihak sekolah menemui Sunami. Mereka menginginkan Rosid tetap melanjutkan sekolah dengan meringankan biayanya, asal Rosid mau melanjutkan sekolah.

“Pihak sekolahan wingi nekani kontrakan kulo, ngengken Rosid tetep sekolah. Soal biaya sing telat limo wulan iso dibayar lek kulo gadah arto. Terus neng ngarep, biaya Rosid entok keringanan biaya. Dadi Rosid kulo pekso sekolah maleh. Pihak sekolahan kemarin mendatangi kontrakan saya, dan menyuruh Rosid tetap melanjutkan sekolahnya. Soal biaya yang telat lima bulan boleh dibayar kalau saya punya uang. Terus ke depan, Rosid juga mendapat keringanan biaya. Jadi langsung saya paksa Rosid untuk sekolah lagi,” lanjutnya.

Masalahnya, Sunami juga tidak tahu kapan akan punya uang. Lapindo belum juga melunasi aset Sunami yang terendam lumpur, kecuali janji-janji. Sampai sekarang, 80 persen sisa pembayaran aset tanah dan bangunan belum juga jelas juntrungannya. Di samping itu, surat aset Sunami masih menjadi satu dengan saudara-saudaranya, sehingga dia tidak memiliki hak tanah, dan hanya memiliki hak bangunan.

“Tanah kulo kan sanes gada’e kulo. Niku tanah adik kulo, dadi kulo mung angsal bangunan tok. Tanah saya itu bukan hak milik saya. Tanah itu hak milik adik saya. Jadi saya hanya mendapatkan ganti rugi bangunan saja,” kata Sunami. “Kulo pasrah neng adik kulo seng gadah tanah. Adik kulo boten poron dicicil, dadi kulo melu mboten poron dicicil. Saya pasrah saja adik saya yang punya tanah tidak mau dicicil, jadi saya juga ikut tidak mau dicicil,” tambahnya.

Karena belum juga dilunasi Lapindo, Sunami pun sering melakukan aksi bersama warga lainnya agar aset bangunannya segera dibayarkan, agar dirinya dan kedua anaknya bisa membangun kehidupannya lagi. Sembari membereskan barang dagangannya karena mau hujan, Sunami menuturkan harapannya. “Kulo kepingin presiden iku lebih tegas ngongkon Lapindo ndang bayari 80 persen tunai. Lek lapindo enggak gelem bayari mbok yo ditalangi disek, cek kulo iso bangun kehidupan keluarga kulo mene. Saya berharap Presiden lebih tegas memerintahkan Lapindo membayar sisa 80 persen secara tunai. Kalau Lapindo tidak mau membayar, ya, ditalangi dulu biar saya bisa membangun kehidupan saya lagi,” katanya.

Sampai saat ini pun Sunami dan sekitar 70 warga yang lain masih terus menuntut pembayaran aset tanah dan bangunan mereka secara tunai, bukan dicicil. Mereka tidak menyerah, meski pihak Lapindo menyatakan di berbagai media tidak mau membayar sisa pembayaran warga secara tunai. Lapindo hanya mau membayar secara cicilan Rp 15 juta/bulan yang juga tidak pernah dibayar tepat waktu. Negara sendiri, baik legislatif maupun eksekutif, seolah juga tutup mata dengan tingkah laku Lapindo melakukan nasib warga seenaknya. (vik)

(c) Kanal Newsroom


Translate »