Sidoarjo – Kata-kata itu sepertinya memang pantas untuk melukiskan bagaimana kekuasaan lumpur atas wilayah penduduk. Ketika lumpur datang, mau tak mau orang harus pergi untuk menyelamatkan jiwanya. Pelan tapu pasti. Itulah Lumpur Lapindo yang hingga kini tak jua berhenti. Sekarang jika anda lihat, pusat semburan Lumpur Lapindo tidak lagi satu tetapi telah menjadi dua. Dan kedua semburan lumpur itu letaknya berdampingan. Saling melengkapi satu sama lain layaknya makhluk hidup. Tapi dengan adanya dua pusat semburan ini lengkaplah sudah penderitaan masyakat Sidoarjo atau lebih tepatnya korban Lumpur Lapindo. Bayangkan saja, satu semburan sudah membuat penderitaan yang luar biasa. Banyak rumah penduduk, hamparan sawah, pabrik-pabrik dan sekolah-sekolah yang tenggelam. Bagaimana jika dua pusat semburan? Mungkin tak akan ada lagi Negara Indonesia. Negara yang penuh dengan kecurangan.
Ledakan pipa gas milik PT. Pertamina pada tanggal 22 November 2007 kemarin, menyisahkan kepedihan yang amat sangat bagi korban. Banyak pekerja lapindo yang meninggal dunia karena tak sempat menyelamatkan dirinya. Wilayah yang terendam lumpurpun bertambah luas. Ledakan tersebut berlangsung malam hari sekitar pukul 19.00. Langit yang semula berwarna biru berubah menjadi merah dan udara menjadi panas. Semua berteriak “Kiamat! Kiamat!” mereka panik. Semua berhamburan keluar dari rumah masing-masing.
Setelah ledakan pipa gas pertamina banyak sekali gelembung-gelembung kecil atau yang sering disebut Buble bermunculan di desa sekitar pusat semburan. Jutaan orang menjadi pengangguran karena tempat mereka bekerja telah tenggelam. Sawah yang terletak di Desa Besuki kini tak bisa dipakai lagi karena zat berbahaya yang terkandung dalam lumpur. Saat itu musim panen akan berlangsung. Karena kejadian itu, mereka tak dapat menikmati jerih payah mereka selama berbulan-bulan ini.
Karomah (35 tahun), salah satu warga Desa Besuki yang menyewa lahan pertanian untuk ia kelola. Lahan yang ia sewa berada tepat di depan rumahnya sehingga dengan mudah ia mengontrol lahannya. Tapi kini, ia tak bisa lagi menggunakan lahan itu karena tanah tersebut telah tercemar oleh lumpur. Padi dan sayur-mayur yang telah ia tanam tak dapat ia jual karena mati. ia tak dapat mengembalikan uang tanam yang ia pinjam pada tetanganya karena tak ada hasil dari panen kali ini. Ia semakin bingung karena ia tak bisa lagi bekerja sementara hutang terus menumpuk.
Ia mengaku hanya bercocok tanam itulah pekerjaan yang bisa ia kerjaan. Dulu ia pernah bekerja di pabrik tapi hanya bertahan beberapa bulan. Ia segera keluar karena merasa tidak ada kecocokan dengan pekerjaan yang sedang ia geluti. Selain itu, jika ia terus bekerja di pabrik ia hanya akan merepotkan tetangganya. Ia hanya memiliki satu sepeda gayung. Dan sepeda itu biasanya dipakai suaminya untuk pergi ke tempat kerja.
Jika menggantungkan pemasukan dari suaminya saja sangat tidak cukup. Karena pekerjaan sang suami adalah sebagai kuli bangunan. Itupun kalau ada yang membutuhkan tenaganya.
“Dulu sebelum ada lumpur saya masih bisa menyisihkan beberapa karung padi hasil ngasak. Saat nggak punya uang, padi itu saya selep dan berasnya saya jual. Selain itu saya bisa menjual sisa sayur yang ada pada tetangga, lumayan buat ceperan. Sekarang, tidak ada yang bisa saya andalkan. Sawah sudah tidak bisa ditanami.”
Malang memang menjadi seorang penyewa lahan. Lahan yang telah tenggelam lumpur memang mendapatkan ganti rugi. Tetapi uang ganti rugi itu diberikan kepada pemilik lahan. Sementara sebagai penyewa lahan hanya bisa pasrah. Menungu jika pemilikm lahan memberinya secuil hasil hasil ganti rugi. Tapi yang ia tak mendapatkan sedikitpun uang hasil ganti rugi itu.
“Saya tak bisa menggantungkan gaji suami saja. Saya harus mempunyai pekerjaan sendiri untuk membanntu suami memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal.” Ucapnya dengan suara yang semakin berat. Ia bangkit dari keterpurukannya. Ia kembali meminjam uang untuk menyewa lahan pertanian. Untung saja sang peminjam tidak meminta jaminan atas uang yang ia pinjamkan.
Sayangangya tak ada lahan yang disewakan disekitar tempat tinggalnya. Kali ini lahan yang ia sewa letaknya sangat jauh. Jaraknya sekitar 5 km dari rumahnya. Mau tak mau setiap hari ia harus pergi ke tampat kerjanya yang baru. Sepeda satu-satunya yang biasa dipakai suaminya kali ini terpaksa ia pakai. Bayangkan saja setiap hari harus mengayuh sejauh 5 km demi memenuhi kebutuhan hidup. sementara yang disana hanya duduk dan menunjuk saja sudah mendapatkan uang.
Untungnya hasil panen pertama cukup memuaskan. Ia bisa menjual Gerbisnya dalam jumlah banyak. Uang hasil panen tersebut ia pergunakan untuk melunasi hutang-hutang yang sudah menumpuk.
“Gali lubang tutup lubang. Itulah kami.” Ucapnya sambil masuk ke dalam dan kembali keluar sambil membawa garbis hasil panennya.
“Ini garbis yang saya tanam. Silahkan dimakan.” Kali ini mimik wajahnya berubah ceria. Ia senang bisa kembali bergulat dengan lumpur yang memang selama ini telah melekat dalam hidupnya.
Apakah pemilik PT. Lapindo pernah memikirkan nasib rakyat kecil seperti mereka yang menderita karena nafsunya untuk menjadi orang terkaya?
Apakah anda ingat lagu yang dinyanyikan Iwan Fals yang berjudul “Guru Oemar Bakrie”? Bakrie yang dulu berbeda dengan Bakrie yang sekarang. Dulu Bakrie sangat dipuji dengan kesederhanannya dan kejujurannya. Seperti yang digambarkan dalam lirik “ Tas hitam dari kulit buaya”, “laju sepeda kumbang selalu seperti itu dulu waktu jaman jepang”, dan “Jadi guru jujur berbakti memang makan ati”.
Tapi Bakrie yang sekarang? Bisa anda nilai sendiri. Ia menuruti nafsunya agar menjadi kaya dengan mengeruk isi bumi. Ia tega menghabiskan uang milyaran rupiah untuk merayakan ulang tahun pernikahannya sementara disini korban lumpur menangis menunggu uang ganti rugi yang belum juga dibayar. Ia tega menghabiskan milyaran rupiah untuk pesta pernikahan anaknya dan bulan madu anaknya.
Dimanakah peran pemerintah dalam kasus ini? Pemerintah sepertinya tutup telinga, tutup mata dan tutup hati nuraninya.
DARIS ILMA