Lima Tahun Lumpur Lapindo, Nasib Sekolah Tak Menentu


Memang belum ada instruksi dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) atau dari Dinas Pendidikan terkait nasib sekolah ini pada tahun ajaran depan. Tetapi sudah terlihat jelas gundukan-gundukan tanggul yang rencananya akan menenggelamkan kawasan Desa Pejarakan. Menurut rencana BPLS, Desa Pejarakan menjadi kolam penampungan lumpur pada 2011. Ini termasuk wilayah SDN Pejarakan.  “Memang belum ada instruksi apakah sekolah ini mau dibubarkan, tapi melihat kondisi yang seperti ini jelas di 2011 ini kawasan ini akan dijadikan penampungan lumpur,” kata Mudzakir Fakih, Kepala Sekolah SDN Pejarakan.

Mudzakir pun kebingungan bagaimana harus memutuskan nasib guru, karyawan, dan murid-muridnya. Ia mencoba membuat antisipasi. Ketujuh guru PNS akan ia tempatkan ke sekolah yang masih membutuhkan guru. Lalu, empat guru honorer akan ia masukkan juga ke sekolah lain. Mudzakir juga akan menempatkan tukang kebun ke sekolah lain. Sementara, murid-muridnya akan dia berikan surat pindah.

Di SDN Pejarakan, kini tinggal 92 siswa, dan ke-17 siswa di antaranya duduk di kelas enam yang akan segera lulus tahun ini. Praktis peserta belajar yang tersisa nantinya berjumlah 75 siswa. Mudzakir berharap pemerintah dan BPLS lebih memberikan kejelasan nasib sekolah ini. “Seharusnya pemerintah memberikan kejelasan soal nasib sekolah ini. Kalau sekolah ini mau di-merger, ya, segeralah di-merger,” ujar Mudzakir.

Nasib terombang-ambing tidak jelas juga dialami Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita Persatuan, yang berlokasi tak jauh dari SDN Pejarakan. Rencananya, TK Dharma Wanita akan bubar pada 18 Juni 2011. Siswa yang tersisa akan mengikuti orangtua mereka pindah ke desa lain. Sementara, para guru akan bergabung di TK Desa Besuki, Kecamatan Jabon. “Terpaksa pindah,” kata Siti Fatimah, pengasuh TK Dharma Wanita.

Para siswa itu akan terpencar ke tempat orangtuanya berpindah. Tak sedikit yang harus pindah kecamatan, bahkan kabupaten. Diki Maulana (6 tahun), putra dari Winarsih, misalnya, akan pindah ke kampung asalnya di Ngawi. Winarsih tidak memperoleh ganti rugi, karena posisinya sebagai pengontrak, bukan pemilik tanah. Setelah 14 tahun tinggal di Pejarakan, Winarsih harus meninggalkan rumah kontrakannya paling lambat Senin depan (30/11/2011).

“Kami memang bukan warga asli Pejarakan. Tapi kami sudah mengontrak selama 14 tahun. Anak-anak saya sudah betah tinggal di sini. Karena tempat ini mau dijadikan tempat penampungan lumpur, terpaksa kami pulang kampung, dan mengajak anak-anak saya sekolah di sana,” tutur Winarsih.

Meskipun dirinya hanya pengontrak dan sudah tinggal di Desa Pejarakan selama 14 tahun, Winarsih sangat berat meninggalkan Desa Pejarakan. “Harus gimana lagi? Kami hanya pengontrak di sini. Kalau disuruh pindah, ya, kami akan pindah,” katanya. Yang menyedihkan, meskipun dirinya sudah lama tinggal di Desa Pejarakan dirinya tidak mendapatkan kompensasi sama sekali.

“Kami tidak mendapatkan kompensasi sama sekali. Padahal KTP saya sudah menjadi warga Pejarakan. Tapi, ya, sudahlah, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Minggu besok kami akan pulang kampung ke Ngawi,” ujar perempuan 38 tahun ini sambil meneteskan air matanya.

Tidak hanya di Desa Pejarakan, sekolah-sekolah di desa sekitar lumpur Lapindo juga menghadapi keterpurukan. SDN 1 Jatirejo, Kecamatan Porong, misalnya. Di sekolah ini, tersisa hanya 18 siswa. Pihak sekolah hanya bisa memutuskan satu hal: terus melanjutkan proses belajar mengajar hingga siswanya habis. “Setelah itu kita tidak tahu mau berbuat apa,” ungkap salah satu guru yang tidak mau disebut namanya.

Lumpur Lapindo telah menghancurkan 28 sekolah Taman Kanak-kanak (TK), 33 sekolah SD/SLTP/SLTA, dan dua pondok pesantren. Hingga lima tahun, penanganan masalah ini tidak memperoleh perhatian serius, baik dari Pemerintah maupun dari Lapindo. Sebagian sekolah tutup dan sebagian masih aktif dengan nebeng ke gedung sekolah lain. Terkesan, pembiaran dilakukan dengan sengaja dan sistematis. (vik)

(c) Kanal News Room

 


Translate »