Tuntut Tuntaskan Penanganan Dampak Lumpur, Warga Delapan Desa Tolak Pengeboran Baru Lapindo


Warga yang mengatasnamakan Korban Lapindo Menggugat ini menuntut Bupati Saiful Ilah untuk tidak memberikan izin kepada Lapindo. Warga khawatir jika pengeboran tetap dilakukan, semburan lumpur panas yang pernah terjadi di sumur Banjarpanji 1 bisa terulang lagi.

Padahal, dampak semburan lumpur panas di Banjarpanji 1 tersebut belum tuntas ditangani. Tanggul yang berkali-kali jebol menyebabkan rusaknya tambak dan sawah warga. Jebolnya tanggul pada 23 Desember 2010 lalu, misalnya, mengakibatkan rusaknya tambak dan sawah Desa Pologunting dan Gempolsari. Rahmat, salah satu koordinator aksi, menyatakan bahwa warga menuntut kejelasan soal ganti rugi dampak luberan akibat jebolnya tanggul tersebut tidak jelas. “Sejak jebolnya tanggul pada Desember lalu, ganti rugi evakuasi dan gagal panen sampai sekarang belum jelas,” kata Rahmat.

“Kami juga meminta kepada pemerintah untuk mencarikan solusi permanen untuk lahan sawah yang tidak bisa ditanami. Sampai saat ini kami mengalami gagal panen sebanyak 5 kali,” lanjutnya.

Dampak lumpur Lapindo juga telah menyebabkan lenyapnya penghasilan warga di kawasan tambak. Aliran lumpur Lapindo telah mengakibatkan pendangkalan Kali Alo, sehingga ketika pasang, air laut tidak bisa masuk ke tambak. Ini merugikan petani tambak Desa Permisan, Bangunsari, Tuyono, Sentul dan Penatarsewu. “Kami menuntut pemerintah melarang pembuangan lumpur ke sungai selain Kali Porong. Jika lumpur dibuang juga ke Kali Alo yang menjadi aliran air ke tambak, ikan kami tidak bisa produktif. Dulu bandeng 1 kilo berisi 4-5 ekor, kini merosot hingga 6-7 ekor,” ungkap Budiono, warga Desa Bangunsari. Warga menuntut pemerintah melakukan pengerukan Kali Alo yang sudah teraliri lumpur saat ini.

Lumpur Lapindo juga telah menyebabkan air tercemar sehingga tidak bisa dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Warga terpaksa membeli air seharga Rp 1.500 per jirigen berisi 30 liter. Warga Desa Bangunsari, Pologunting, Gempolsari dan Tuyono harus memberi 2-3 jirigen per hari untuk kebutuhan air bersih. Karena itu, warga juga menuntut agar pemerintah menyediakan air bersih yang cukup bagi warga.

Dalam aksi warga tersebut, tokoh agama Sholahudin Wahid (Gus Sholah) turut hadir memberi dukungan. Gus Sholah meminta pemerintah mendengar tuntutan warga dan menuruti apa yang diinginkan warga. “Pemerintah daerah harus memenuhi apa yang warga inginkan,” ungkap Gus Sholah.

Sayangnya, saat aksi berlangsung, Bupati Sidoarjo justru sedang berada di Jakarta, sedangkan Wakil Bupati Hadi Sutjipto tidak berada di tempat. Akhirnya warga bersama Gus Sholah hanya ditemui Seketaris Daerah (Sekda).  Saat merespon tuntutan yang diajukan warga, Sekda tidak berani mengambil keputusan. Sekda hanya mengatakan bahwa tuntutan warga akan segera disampaikan kepada bupati. “Kami tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan. Semua keputusan ada pada bupati. Apa yang menjadi tuntutan warga akan kami sampaikan ke Bupati,” ujarnya.

Setelah pertemuan dengan hasil yang tidak memuaskan itu, warga membubarkan diri. Warga bertekad akan melakukan aksi lagi sampai semua tuntutan dipenuhi Bupati Sidoarjo. (vik)

(c) Kanal Newsroom


Translate »