Uang yang Mengubah Segalanya


Sidoarjo – Lumpur Lapindo yang menyembur sejak 29 Mei 2009 lalu membawa perubahan  yang sangat besar bagi kehidupan warga baik  disekitar semburan maupun yang letaknya cukup jauh dari lokasi semburan. Lumpur yang tak juga berhenti membuat desa yang berada di sekitar semburan tenggelam. Bukan hanya itu, pabrik-pabrik , areal pertanian, sekolah dan Usaha Kecil Menengah (UKM) juga tenggelam. Tak ayal membuat beribu orang menjadi pengangguran karena tempat mereka mencari nafkah sudah tenggelam. Kegiatan belajar – mengajarpun terganggu.

Depresi terjadi dimana-mana, Pemilik pabrik yang harus merelakan pabrik mereka tenggelam di depan mata, Pekerja pabrik yang harus kehilangan pekerjaannya yang otomatis berdampak pada masalah ekonomi mereka. Mereka yang memiliki usaha kecil di sekitar semburan sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi karena lapaknya telah tenggelam.

Semua itu memang menjadi masalah yang yang harus segera ditangani, Agar tidak menambah angka pengangguran di Indonesia, Agar anak negri dapat belajar dengan tenang,  Agar tidak ada lagi korban dari proses penambangan.

Satu lagi yang harus lebih diperhatikan yaitu hubungan dengan sesama yang merenggang bahkan tidak dianggap sebagai saudara. Uang menjadi sebab utamanya, Uang ganti rugi yang tak kunjung dibayar membuat mereka berfikir 10 kali bagaimana melanjutkan hidupnya. Dan ketika uang ganti rugi telah dibayar, perselisihan masalah pembagian uang ganti rugipun terjadi.

Khamida atau yang akrab dipanggil Ida menjadi salah satu korban diantara beratus ribu korban yang membagikan pengalaman hidupnya setelah adanya Lumpur Lapindo. Ia mengaku banyak sekali perubahan dalam keluarganya mulai dari pertengkaran antara ibu dan bapaknya yang baru kali ini ia lihat. Pasalnya, sebelum ada lumpur tak sekalipun keluarganya bertengkar.

Semula ia mengaku tidak mengetahui kalau di desanya terdapat aktivitas pengeboran yang dilakukan oleh pihak PT. Lapindo Brantas.  Di pagi hari itu ia mencium bau busuk yang sangat menyengat. Ia dan para tetangganya menduga kalau bau tersebut berasal dari septic tank yang bocor. Banyak warga yang merasa mual bahkan pingsan ketika mencium bau tersebut.

Tak lama setelah itu ibunya yang bekerja sebagai buruh pabrik pulang dan mengatakan kalau ada pengeboran yang bocor. Setelah ditanya pengeboran apa, ibunya berkata bahwa ia tahu. Ia segera melihat ke lokasi kejadian. Disana terlihat cairan hitam yang sangat pekat telah meluber ke jalan.Beberapa hari setelah itu pabrik tempat ibunya bekerja tenggelam. Otomatis sang ibu menjadi pengangguran. Pekerja pabrik di sekitar semburan mengalami nasib yang sama.

Hal yang tak pernah ia duga ialah rumah yang ia tempati akhirnya tenggelam. Terpaksa ia harus mengungsi di Pasar Baru Porong (PASPOR) yang kini telah berfungsi. Hanya dia dan tetangganya yang menempati ruko tersebut. Bapak dan ibunya masih berada di Desa Renokenongo.

“Bapak pernah bilang kalau ia tidak tega melihat rumah yang ia bangun berbulan-bulan dengan susah payah harus tenggelam dalam hitungan menit.” Ucapnya seraya mengingat masa itu.

Kehidupan di PASPOR yang begitu bebas membawa perubahan pada dirinya. Ia yang semula tak pernah berbincang dengan lawan jenis karena bapaknya melarang,  kini dengan lancar kalimat keluar dari bibirnya. Apalagi ia sebatangkara di tempat itu. Ia merasa sangat bebas. Tak ada yang melarang Begitu juga dengan masalah berbusana. Ia kini berani memakai celana pendek dengan kaos oblong. Jika kedua orangtuanya mengetahui hal tersebut, pasti ia akan mendapatkan siraman rohani.

“Bapak memang setiap hari mengunjungiku tapi ketika pagi hari sebelum ia berangkat kerja. Ia selalu berpesan padaku agar aku dapat menjaga diriku dengan baik karena ia tak ingin kesalahan itu terjadi padaku. Ia  juga selalu memanggilku ketika melihat aku sedang berbincang dengan lawan jenis. Tapi itu dulu.” Ia tertawa kecut ketika mengatakan hal itu.

“sekarang bapak sudah tak seperti dulu. Ia tak lagi menghiraukanku.” Lanjutnya seraya mengajakku masuk ke dalam kamarnya karena ia takut jika pembicaraannya didengar oleh ibu dan bapaknya. Karena pada waktu itu kondisi keluarganya masih memanas.
Ia menceritakan cikal bakal konflik di keluarganya yang tak lain adalah uang. Uang ganti rugi rumah yang diberikan oleh pihak lapindo memang semuanya berada di tangan ibunya.

“Bapak kaget ketika mengetahui jumlah uang yang tersisa. Ia mengatakan padaku kalau uang itu habis  karena dipakai selingkuh sama ibu.” Mata sipitnya terlihat akan mengeluarkan sesuatu. Sejak saat itulah hampir setiap hari pertengkaran terdengar dari rumah yang baru selesai dibangun itu.  Terkadang ia malu dengan para tetangga. Ia malu karena ia sebagai pendatang sering membuat keributan dan membuat tetangga sekitar merasa tak nyaman.

Tuduhan sang bapak bukan tanpa alasan. Banyak warga di desanya yang memillih kawin lagi setelah mendapatkan uang ganti rugi 80%. Mungkin ia takut jika sang istri pergi meninggalkannya. “Selama ini aku tak pernah memenggal dan membantah apa yang bapak ucapkan. Aku merasa kalau aku adalah anak kesayangan bapak karena perhatian yang ia berikan padaku yang tak pernah diberikan pada kakakku. Aku selalu menuruti perintahnya. tapi untuk kali ini aku harus bersikap tegas. Aku telah dewasa. Aku tak akan membiarkan bapak memperlakukan ibu seperti binatang dihadapanku. Sebenarnya aku tak mau terlibat dalam masalah ini. Tapi bapak sendiri yang memaksaku.”

Ida telah berulangkali mengatakan kepada bapaknya kalau tuduhan yang dialamatkan pada ibunya tidak benar. Ida juga meminta penjelasan pada ibunya tentang pengeluaran uang. Ia sangat percaya kalau ibunya tak melakukan hal seperti yang dituduhkan oleh bapaknya. Menurut penjelasan sang ibu uang tersebut dipergunakan untuk membeli tanah, menyewa tempat kos dan membangun rumah. Selain itu uang itu juga untuk kebutuhan sehari-hari.

Ida tak pernah berhasil mematahkan kecurigaan bapaknya. Ia kini dianggap sebagai anak tidak tau diri. Sungguh suatu anggapan yang sangat menyakitkan bagi seorang anak. Hal yang membuatnya benci pada bapaknya adalah sikap kasar yang dilakukan bapak terhadap ibunya yang tak pernah ia lihat dan rasakan dulu sebelum ada lumpur.

Pertengkaran hebatpun terjadi. Pertumpahan darah mewarnai pertengkaran itu. Ia tak mau jika pertengkaran itu dipublikasikan karena ia sangat malu. Yang jelas ia berharap pertengkaran itu adalah pertengkaran untuk yang pertama dan terakhir. Ia tak ingin melihat kedua orang tuanya terus berseteru. Setelah pertengkaran itu ia tidak lagi tinggal di rumah barunya tetapi tinggal di rumah kakaknya yang berjarak sekitar 5 km dari rumahnya.

Kondisi memang sedikit membaik ketika sang bapak sakit. Sebetulnya Ida melarang ibunya untuk kembali kerumah. Tapi ibunya tetap pergi menjenguk bapaknya. Ida dan ibunya memang telah kembali ke rumahnya. Tapi rasa sayang ida pada sang bapak telah pudar. “Aku tak bisa memaaafkan perbuatan bapak. Meskipun sekarang ibu dan bapak telah akur tetapi tidak dengan aku. Aku selalu mengingat kejadian itu. Kejadian bapak dengan tuduhan-tuduhan yang tak bisa dibuktikan, kejadian bapak memperlakukan ibuk layaknya binatang hanya gara-gara uang. Aku sering berkata pada tuhan lebih baik aku hidup pas-pasan seperti dulu sebelum ada lumpur daripada seperti sekarang. Memang uang kami lebih tapi kami tak merasa bahagia sedikitpun. Malah masalah demi masalah yang tak kunjung usai yang aku rasakan. Aku berharap lumpur segera berhenti agar tak ada lagi korban kekerasan dalam rumah tangga hanya karena uang seperti yang terjadi di keluargaku.” uangkapnya

“Kini seluruh uang yang semula ditangan ibu, berpindah ke tangan bapak. Itu dilakukan ibu agar masalah tidak terus berlanjut. Tapi kini aku dan ibu tak bisa apa-apa. Jika memerlukan uang kami selalu menunggu bapak pulang” lanjutnya. Hingga saat ini  tak ada kata maaf sedikitpun yang terucap dari mulut Ida, Ibu ataupun Bapaknya. Mereka enggan dan malu untuk mengucapkan kata maaf lebih dulu.

Hal yang sama dialami oleh Alfi (19 tahun), warga Desa Sengon yang kini tinggal di Perumahan Balongdowo. Keluarga yang semula harmonis berubah menjadi berantakan yang lagi-lagi karena Lumpur Lapindo. Ia dan keluarganya juga sempat mengungsi di Pasar Baru Porong selama kurang lebih 4 bulan. Ditempat itu ia merasakan suasana lingkungan yang sangat berbeda dengan desanya. Ia mengaku jika kehidupan di Paspor sangat liar. Untungnya keluarganya segera mendapatkan tempat yang baru ketika uang ganti rugi diberikan. Ia sangat bersyukur karena bisa keluar dari tempat itu

Masalah timbul saat uang sisa ganti rugi 80% diterima. Ia dan ibunya curiga dengan sikap bapaknya yang sering pulang malam. Saat ditanya selalu jawabnya lembur. Alfi mendapat kabar kalau bapaknya selingkuh dengan pambantu tetangganya. “Tak pernah bapak memberiku uang. Aku heran saat bapak memberiku uang Rp 100.000. setelah itu dia pergi dan tak kembali.” Jelasnya dengan nada datar.

Ia berfikir bahwa uang yang ia terima adalah uang sogokan dari bapaknya. Ia berusaha untuk tidak memikirkan masalah ini, Kini ia masa bodoh dengan masalah yang terjadi. Ia mencoba membangkitkan ibunya dari kesedihan, ia ingin membuktikan pada bapaknya jika ia dan ibunya bisa hidup tanpanya.

“Bapak membelikan istri barunya sebuah mobil yang tak pernah ibu dapatkan selama ini.” Ceritanya singkat karena tak ingin mengingat kembali maslah itu. Tak ada cerai dalam maslah ini. Karena sang bapak tidak menyetujui jika mereka bercerai.

Itu mungkin secuil dari beribu masalah yang terjadi pada korban lumpur. Lumpur memang telah mengubah segalanya. Bahkan uang yang selama ini dianggap sebagai dewa oleh kebanyakan orang tak  lain adalah sebuah malapetaka yang dapat menghancurkan keharmonisan keluarga jika kita tak pandai mengelolanya. Mungkin uang yang dibayarkan kepada para korban lumpur adalah uang kotor sehingga mereka yang menerimanya banyak mendapatkan masalah.

Daris Ilma


Translate »