Lagi, Lumpur Lapindo Akibatkan Kematian


Mustofa, tetangga korban, mangatakan Mulyadi sering mengeluh sesak nafas jika ada bau gas. “Seminggu ini Pak Mulyadi sering mengeluh sesak nafas saat ada bau lumpur. Kita yang tinggal di sini juga sering pusing jika bau lumpur mengarah ke sini,” cerita Mustofa.

Kualitas udara di desa-desa sekitar area lumpur Lapindo memang sudah di bawah standar. Catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menunjukkan bahwa emisi gas hidrokarbon pada semburan dan gelembung yang ditemukan di Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi mencapai 441.200 ppm, yang artinya 80 kali lipat di atas ambang baku yang hanya 5.000 ppm. Sedangkan batas ambien pada udara 0,24 ppm dilampaui dengan adanya temuan di lapangan hingga 55.000 ppm, yang artinya 229.100 kali lipat dari ambang baku.

Masrukh, tokoh masyarakat Desa Jatirejo Barat, juga menduga meninggalnya Mulyadi akibat seringnya menghirup gas berbau busuk. “Di sini banyak yang terkena sesak nafas, apalagi jika bau gas yang keluar dari lumpur Lapindo mengarah ke barat. Banyak warga di sini yang merasa pusing,” ungkap pengurus Panti Asuhan Nurul Azhar, Porong, ini.

“Apalagi di sekitar rumah warga banyak bermunculan semburan gas yang mudah terbakar (gas metan). Setiap ada retakan di lantai dan dinding rumah jika disulut api pasti terbakar. Dugaan kami,  meninggalnya Mulyadi karena sering menghirup gas yang muncul dari semburan lumpur,” lanjut Masrukh.

Masrukh sangat kecewa terhadap Lapindo dan Pemerintah yang tidak memberi perhatian serius soal kesehatan warga yang masih tinggal di Siring Barat. “Seharusnya Pemerintah, baik BPLS (Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo) maupun Dinas Kesehatan, memberikan layanan kesehatan bagi warga Siring Barat dan sekitarnya sampai ada kepastian ganti rugi direalisasi pemerintah,” katanya.

Penanganan masalah lingkungan dan sosial warga Desa Siring Barat memang cenderung tidak jelas. Pemerintah, melalui mekanisme dalam Peraturan Presiden No 40/2009, hanya memberikan uang kontrak. Mulyadi, meski sudah menerima kontrak Rp 2,5 juta, tidak mampu pindah rumah. Bersama kedua anaknya, Mulyadi masih tinggal di Desa Siring Barat. Uang kontrak yang diberikan Pemerintah tidak cukup untuk menyewa rumah. Akhirnya uang kontrakan tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Apalagi Mulyadi sudah lama tidak berkerja lagi setelah matanya sering sakit dan penglihatannya terganggu. “Gimana mau ngontrak, untuk kebutuhan sehari-hari saja Pak Mul serba kekurangan. Apalagi BPLS memberi uang kontrak hanya Rp 2,5 juta. Banyak warga sini yang kembali setelah masa kontraknya habis,” ungkap Sujai, tetangga Mulyadi.

Selain mengeluh sesak nafas akibat gas, Mulyadi juga dikabarkan sering mengeluh dadanya sakit saat memikirkan ganti rugi aset tanah dan bangunannya yang tidak kunjung ada kejelasan. Pemerintah provinsi sudah menyatakan kawasan Siring Barat bersama Jatirejo Barat dan Mindi seagai kawasan tidak layak huni. Selain di kawasan ini sering muncul gelembung gas, rumah warga juga banyak yang retak-retak akibat penurunan tanah.

“Bapak sering memikirkan masalah tidak adanya kejelasan ganti rugi. Jika sudah mikir, dadanya sering sakit,” ungkap Doni, anak bungsu Mulyadi. Sore, menjelang azan maghrib jenazah Mulyadi dimakamkan di pemakaman umum Desa Jatirejo, karena makam Desa Siring sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo. (vik)

(c) Kanal Newsroom

 


Translate »