Celoteh Ini Senjata Kami: Peringatan Hari Anak Nasional oleh Korban Lapindo


Sidoarjo, korbanlumpur.info – Komunitas anak-anak di Besuki yang tergabung dalam Sanggar Al Faz melaksanakan peringatan Hari Anak Nasional (22/7) dengan berbagai ragam kegiatan. Sejak sebulan jelang pelaksanaan peringatan, anak-anak telah melakukan persiapan. Beberapa workshop digelar: foto, cetak stensil, komik dan balon kertas.

Lebih dari sepuluh anak membingkai kondisi yang terjadi di Besuki dan sekitar tanggul lumpur dalam foto-foto. Tidak dibutuhkan kemampuan fotografi yang berlebih untuk ini. Anak-anak cukup dikenalkan teknik penggunaan kamera saku otomatis dan menggunakan secara bergiliran. Foto-foto kerusakan bangunan, jembatan yang rusak, tulisan-tulisan protes warga, rutinitas sosial, dan sekolah menjadi bahan-bahan yang dipamerkan. Mereka sendiri yang memilih dai sekian puluh jepretan gambar. Tidak itu saja, anak-anak mampu menyajikan tulisan cukup panjang sebagai keterangan foto. Ditempel pada kertas karton coklat, karya-karya foto ini mendominasi ruang bagian dalam sanggar.

Sanggar Al Faz didirikan tiga tahun silam. Inisiasi, sejak setahun sebelumnya. Muhammad Irsyad sangat senang menggunakan rumahnya untuk sanggar ini. Latihan tari dan musik mulai digelar pada bagian teras rumah berukuran duapuluhan meter persegi. Cukup sesak saat tigapuluhan anak berkumpul bersama. Tak ayal, bagian ruang tamu ikut direlakan juga. Hampir setiap sore anak-anak berkumpul untuk berlatih dan bermain.

Rumah Irsyad terletak di sebelah timur bekas Jalan Tol Sidoarjo-Gempol. Wilayah ini tidak masuk dalam wilayah terdampak yang ditetapkan pemerintah dalam Perpres 14/2007. Meski pernah terendam lumpur dan kondisi lingkungan yang rusak, hanya wilayah desa di sebelah barat tol yang diberikan penggantian. Itupun beberapa tahun setelah semburan terjadi. Jalan tol yang bertahun-tahun tidak digunakan, kini diperbaiki dan dijadikan jalur alternatif utama melintas Porong. Baru selesai beberapa bulan lalu.

Kegelisahan atas kondisi yang ada juga tertuang pada goresan pensil dan krayon pada komik yang dibuat. Meski tiap anak hanya membuat dalam empat bingkai selembar kertas, nampak kejelian merunutkan kisah yang digambar. Bakrie yang diketahui sebagai penyebab semburan lumpur diumpamakan sebagai binatang-binatang. Ada yang menggambarnya sebagai banteng nakal, babi nakal, gajah raksasa, ataupun kambing. Kisahnya lucu-lucu dan menggelikan.

Salah satunya berjudul Bakrie Kurang Ajar. Bingkai pertama gambar babi merah muda, bagian atasnya bertulis: Suatu hari ada babi bernama bakrie. Bingkai kedua bertulis: Bakrie merusak desa Besuki, dengan gambar atap rumah tenggelam lumpur dan babi yang memandangnya berujar,”ha…ha…ha syukurin kalian.” Berikutnya, Warga melawan Bakrie: beberapa orang membawa pentungan dan berteriak,” tangkap…hajar…sikat!!!”, gambarnya babi lari dikejar dengan teriakan,”tolong…”. Pada bagian keempat nampak babi di atas panggangan kayu bakar: “Akhirnya babi Bakrie dijadikan Babi panggang”.

Sehari jelang peringatan, workshop cetak stensil sangat diminati. Tiga pengampu yang datang sukarela dari Malang sangat senang dengan antusias anak-anak. Plat-plat cetak yang terbuat dari tripleks dipilih masing-masing. Rebutan, tentu saja. Bergiliran untuk dioles tinta, berikutnya direkatkan pada kertas-kertas putih. Gambar yang tidak terlalu berwarna menjadi guyonan. Lama waktu penginjakan kertas pada cetakan ternyata mempengaruhi hasil gambar. Yang belum puas dengan karya dapat mengulang-ulang hingga beberapa kali. Ratusan lembar yang dihasilkan menjadi koleksi anak-anak dan disimpan di sanggar.

Jum’at pagi beberapa tamu dari luar kota telah berdatangan. Dua dosen antropologi sebuah universitas di Malang datang paling awal. Disusul rombongan pemuda dan seorang dosen universitas Machung, juga dari Malang. Agus, dokumenter dan fotografer dari Bandung tiba kemudian. Foto dan video diabadikan dengan sebuah kamera DSLR yang ia bawa. Beberapa komunitas lain: Griya Baca Malang, Mahasiswa Unair, dan Kaum muda gereja Katolik Juanda bersusulan tiba. Puluhan wartawan dari berbagai media lain nampak sibuk mengabadikan bagian ruang dalam.

Sekitar pukul sepuluh, tabuhan jimbe mulai terdengar. Anak-anak yang baru pulang dari sekolah tak menuju rumah untuk sekedar berganti baju. Kawan-kawan sekolah anak-anak sanggar Al Faz, yang sebagian besar dari MI Darul Ulum Besuki, berdatangan bersama dua guru perempuan. Setelah beberapa saat mengamati foto, komik, dan koleksi gambar pewarnaan alam, mereka bergerombol menyaksikan tabuhan-tabuhan yang mulai dimainkan di pendopo sanggar. Sekurangnya lima lagu hampir selama satu jam. Diiringi tarian dan topeng jaranan. Setengah dua belas acara berjeda untuk sembahyangan Jum’at para muslim.

Anak-anak yang telah berdatangan usai sembahyangan sesaat kemudian menghilang. Hingga pukul dua siang mereka tak kunjung kembali. Rupanya tak ada dispensasi jadwal berlatih drumband yang diselenggarakan sekolah. Kepala Sekolah dan seorang guru merepotkan diri dengan menjemput anak-anak hingga pos kamling kayu seberang sanggar. Anak-anak memilih berangkat berlatih karena ketakutan. Menurut anak-anak kepada Irsyad, guru itu marah karena banyak anak yang tidak hadir meski jam berlatih sudah mulai. Sayang, Irsyad tak sempat tahu kejadian itu. Selama beberapa waktu ia tertidur kecapekan.

Sesi workshop stensil diulang. Kali ini anak-anak dari komunitas lain ikut terlibat. Puluhan karya lagi dihasilkan. Dengan bangga karya-karya ini ditunjukkan dengan berfoto bersama setelahnya. Semua memegang kertas karya, ada yang diangkat tinggi, sebagian lainnya dipegang didepan dada.

Pukul tiga sore Griya Baca Malang menyajikan tampilan. Beberapa lagu populer masa kini dilantunkan. Dua anak perempuan, dua laki-laki, dan seorang lagi telah remaja bersemangat bernyanyi dengan iringan gitar. Tak kurang lima lagu dibawakan. Beberapa nada false tak menjadi soal. Solidaritas dan keberanian untuk menyajikan menghasilkan riuhan tepuk tangan. Tampilan berikutnya kombinasi bebas anak-anak sanggar dan seorang pengasuhnya, Om Rere. Tiga lagu dibawakan dengan tabuhan rancak yang cepat dan keras. Sebuah gitar, balera, empat jimbe, dan dua bedug dimainkan mengiring lagu-lagu, Hukum Rimba salah satunya. “Maling maling kecil dihakimi, maling-maling besar dilindungi…,” bagian lirik yang mudah diingat. Rupanya ini merupakan sesi pengantar gelaran pamungkas: pelepasan balon.

Angin berhembus cukup kencang ke arah barat. Hampir semua bergerombol membentuk lingkaran di jalan depan sanggar. Senja lima sore, balon siap dilepaskan. Ada dua. Balon pertama berukuran lebih lonjong. Irsyad sempat lupa saat membuatnya bersama anak-anak. Enam lembar sambungan kertas minyak saja yang disusun. Tapi tetap bisa terbang. Yang kedua lebih membulat karena terdiri delapan lembaran. Meski sesaat perlu ditambal karena ada sobekan pada bagian atas. Panas dari bakaran kayu tak bakal menghasilkan tekanan jika ada kebocoran. Anak-anak mulai banyak lagi berdatangan, sebagian telah selesai berlatih drumband beberapa jam. Selembar karpet biru butuh dibentang untuk perintang angin yang kencang.

Balon pertama hanya mampu melintas jalan tol dan jatuh di bekas perkampungan sebelah barat. Sekurangnya dua ratus meter. Yang kedua juga demikian. Anak-anak membawanya kembali untuk diterbangkan ulang, hanya balon kedua. Sangat tinggi. Riuhan sorak dan tepuk tangan mengiringi. Beberapa pengguna mobil dan motor menepi untuk menyaksikan. Sayang angin sempat menghempasnya. Sesaat beranjak turun, melintas tanggul lumpur, dan tak lagi kelihatan.

Tamu-tamu telah berpamitan. Hingga jelang malam anak-anak masih nampak bermain dan enggan bubar. Sebagian mengharapkan sesi malam: Pemutaran film anak yang telah direncanakan. Sayang, proyektor pinjaman tak kunjung diantarkan. Hingga sepuluh malam, satu demi satu anak kemudian terbaring ketiduran. Nyamuk-nyamuk menempel pada lengan dan kaki. Tak mereka rasakan. (red)

BC Nusantara


Translate »