Lapindo Tak Kunjung Bayar, Korban Kesulitan Biayai Pendidikan


 

Harwati, korban Lapindo asal Desa Siring, Kecamatan Porong, sudah harus mendaftarkan anak pertamanya ke sekolah lanjutan tingkat pertama. Ia pun kebingungan dari mana biaya sekolah anak pertamanya, Dina Karina Maharani, diperoleh. “Anak pertama saya masuk SMP. Saya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 850 ribu. Itu pun belum termasuk biaya seragam dan buku,” ujarnya. Ini bukan jumlah kecil bagi Harwati yang sehari-hari hanya bekerja sebagai ojek tanggul. Herawati harus kesana-kemari mencari pinjaman ke orang-orang terdekatnya.

Suami Harwati meninggal tiga tahun lalu. Sejak itu, ia harus bekerja dan merawat kedua anaknya seorang diri, dan tanggul penahan lumpur menjadi tumpuan hidupnya. Dengan sepeda motor yang ia punyai, Harwati menawarkan jasa bagi pengunjung yang datang melihat kolam penampungan lumpur Lapindo untuk berkeliling tanggul. “Saya terpaksa bekerja seperti ini. Yang terpenting bagi saya, bagaimana anak saya bisa makan dan sekolah,” katanya saat berada di tanggul penahan lumpur Lapindo.

Kehidupan Harwati berubah sejak luapan lumpur Lapindo dan suaminya meninggal. Dulu sebelum lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya dan saat mendiang suaminya masih hidup, Harwati mengandalkan penghasilan dari suaminya. “Sebelum suami saya meninggal, yang cari uang suami saya. Sekarang saya sendirian yang harus merawat dan mencari nafkah,” ungkapnya. Harwati kini tinggal di Desa Candi Pari Kecamatan Porong.

Pada tahun ajaran baru ini, selain harus memasukkan anak pertamanya ke SMP, Harwati juga harus memasukkan anak keduanya, Khartina Maharani (5 tahun), ke pendidikan Taman Kanak-Kanak. Biayanya sekitar Rp 350 ribu, belum termasuk seragam dan keperluan lain-lain. Harwati terpaksa meminjam sebuah kalung emas untuk dijual. Nantinya Harwati harus mengembalikan kalung emas itu dengan bunga yang sudah ia sepakati dengan si pemberi pinjaman. “Tidak ada jalan lain. Lha wong Lapindo belum membayar cicilan ganti rugi saya,” tutur Harwati.

Harwati masih punya tanggungan lain. Adik kandungnya, Ajeng Agustina, baru saja lulus SMPN 2 Porong dan harus segera masuk jenjang SMU. Ajeng berencana melanjutkan ke SMU PGRI 2 Porong. Tetapi lantaran beban yang bertumpuk-tumpuk, Harwati belum bisa mendaftarkan Ajeng pada tahun ajaran ini. Harwati mengatakan ke adiknya, akan segera mendaftarkannya ke SMU setelah Lapindo membayar cicilan ganti ruginya. “Saya sudah tidak punya uang lagi. Jadi, ya, terpaksa menunggu pencairan cicilan dari Lapindo,” ucapnya.

Tumi, korban Lapindo asal Desa Jatirejo, mengalami nasib yang tak kalah memilukan. Tumi harus mendaftarkan anaknya, Indah Susanti, ke jenjang SMU. Untuk masuk SMK PGRI 2 Sidoarjo, Tumi harus merogoh kantong Rp 1,1 juta hanya untuk biaya pendaftaran. Belum termasuk biaya seragam, buku dan kebutuhan lainnya. Suami Tumi sudah meninggal setahun lalu. Ia harus menanggung sendiri biaya sekolah anak-anaknya. Untuk kebutuhan Susanti masuk SMU, Tumi sudah mengeluarkan biaya Rp 2,1 juta. “Biaya Susanti saya carikan pinjaman ke adik saya yang ada di Samarinda,” ujarnya.

Bagi Tumi, tak ada cara lain. Ganti rugi asetnya yang menjadi tumpuan hidupnya sampai saat ini belum juga dibayar Lapindo. Apalagi sejak sembilan bulan terakhir, Lapindo hanya berkomitmen membayar cicilan sebesar Rp 5 juta saja per bulan. “Cicilan dari Lapindo belum keluar. Saya sekarang tidak berkerja. Jadi, ya, harus gimana lagi,” ungkap Tumi dengan nada pasrah.

Tumi dulu bekerja sebagai pedagang nasi di kampung asalnya, Jatirejo. Begitu lumpur Lapindo menenggelamkan seisi kampung, Tumi mengungsi berpindah-pindah, hingga akhirnya mengontrak rumah di Perumahan Tanggulangin Angun Sejahtera (TAS) II.  Ia pun tak bisa berdagang nasi lagi. Lebih parah, sejak suaminya meninggal pada 2 Mei 2010, Tumi menggantungkan hidupnya pada tetangga yang membutuhkan jasanya mencuci dan menyeterika. Tumi melakukan ini semua demi anak-anaknya. “Saya kepingin Santi bisa sekolah sampai lulus SMU. Mudah-mudahan kalau ada biaya, Santi bisa malanjutkan sampai kuliah,” tutur Tumi.

Kepada pemerintah dan Lapindo, korban lumpur seperti Harwati dan Tumi berharap tak muluk. Mereka hanya ingin pemerintah tegas dan Lapindo menepati janji, agar pendidikan anak-anak mereka tidak terbengkalai. [vik]

(c) Kanal News Room


Translate »