Bukan Bencana Alam, Tidak Ada agenda Bahas Lumpur Lapindo pada AMCDRR


Yogyakarta – Pertemuan para menteri Asia untuk Pengurangan Resiko Bencana (AMCDRR) ke 5 digelar di Jogjakarta pada 22-25 Oktober 2012 di Yogyakarta. Tema utama pertemuan yang mengusung penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam pengurangan resiko bencana seolah tidak sirama dengan beberapa kasus kebencanaan yang terjadi di Indonesia. Lapindo salah satu yang bisa mencerminkan buruknya pengelolaan bencana di Indonesia.

Penanganan lumpur Lapindo yang berbeda dengan situasi bencana lainnya telah berdampak kekacauan pemulihan hingga saat ini. Ada beberapa hal yang bisa dilihat sebagai pembeda, setidaknya menurut Sofyan – pakar kebencanaan, pertama, pada saat tanggap darurat terjadi kebingungan. Mestinya pada masa awal terjadinya semburan harus dipenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, kesehatan, air bersih dan sanitasi, dan hunian. Tapi bisa dilihat bagaimana persoalan kesehatan tidak ditangani secara khusus, bahkan hingga kini tidak ada jaminan khusus bagi korban Lapindo untuk mendapat layanan kesehatan.

“Per jiwa harus mendapat minimal 2,5 liter air bersih untuk konsumsi dan 7,5 liter per hari untuk sanitasi dan kebutuhan lainnya,” ujar Sofyan. Ia menjelaskan, termasuk pemenuhan standar makanan, juga wajib disediakan sebagaimana standar yang sudah ditentukan peraturan. Bisa dicek ulang pada kasus lumpur Lapindo apakah semua terpenuhi. Padahal persoalan kemanusiaan tidak melihat penyebab terjadinya bencana, jadi mestinya ditangani dengan aksi kemanusiaan.

Pada tahapan pemulihan, disegerakan untuk melakukan pemenuhan kebutuhan publik seperti pasar, sekolah, dan layanan kesehatan. Dilanjutkan pada tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi, mestinya dilakukan monitoring dan asistensi pembangunan kembali hunian. “Dalam kasus lumpur Lapindo, kewajiban memberikan layanan kepada korban oleh negara terhenti dengan kebijakan ganti rugi,” ujar Sofyan.

Secara panjang Sofyan menggambarkan adanya kebingunan dalam penanganan bencana di Indonesia. Menurut aturan, penanganan kebencanaan mestinya ditangani Badan Nasional Penanggulangan Bencana(BNPB). Misalnya masih terjadi tarik ulur ketika menangani bencana yang terkait kesehatan, ditangani oleh Departemen kesehatan. HAl yang serupa juga terjadi untuk bencana sosial, penanganannya oleh Departemen Sosial. Padahal, untuk pengelolaan teknis BNPB bisa melimpahkan sesuai bidang dari departemen terkait. Misalanya untuk rekonstruksi, selama ini yang menangani Departemen Pekerjaan Umum.

Saat ditanya mengapa persoalan Lapindo tidak menjadi catatan penting dalam AMCDRR, Sofyan mengatakan sepertinya pemerintah Indonesia mencari aman agar tidak dibahas. “Agar tidak terjadi polemik, tidak banyak yang bisa berpihak pada masyarakat,” ujarnya. Ia menambahkan, seharusnya forum bisa menjadi peluang untuk membahas resiko yang makin membesar akibat aktivitas industri. Urusan Lapindo memang sangat politis, Ia berpesan jangan terlalu berharap pada kebijakan.

Tak ayal, ketiadaan pembahasan yang mengusung persoalan perbaikan penanganan bencana industri membuat puluhan relawan Bingkai Indonesia melakukan aksi dengan memakai kaos “Lapindo Mudflow is not Natural Disaster”. Mereka mendatangi lokasi penginapan para menteri delegasi AMCDRR di hotel Ambarrukmo, menyebar diantara pengunjung pameran kebencanaan yang digelar di Pesanggrahan Ambarrukmo. Meski tanpa melakukan orasi, aksi mereka yang bergerombol menarik perhatian berbagai pengunjung yang hadir maupun penjaga stan dari berbagai institusi penanggulangan bencana berbagai daerah.(ctr)


Translate »