Mengapa Kita Tidak Ikut Jalan kaki Porong-Jakarta?


Refleksi Kecil 6 Tahun Perlawanan Korban Lumpur Lapindo

Oleh: Rere Christanto

25 Juli 2012 menjadi hari yang penuh kejutan bagi sebagian besar korban lumpur Lapindo. Pada sebuah siaran langsung yang dipancarkan dari media televisi milik keluarga Bakrie, mereka menghadirkan seorang korban lumpur lapindo yang sejak lebih dari sebulan sebelumnya telah menghiasi layar pemberitaan media dengan aksi jalan kakinya dari Sidoarjo menuju Jakarta. Tapi alih-alih mengungkapkan bagaimana susahnya dia selama lebih dari 6 tahun kehidupannya dihancurkan oleh lumpur panas sebagaimana diumbarnya ketika pertama kali meniatkan langkahnya berjalan menuju ibu kota, Hari Suwandi sang korban lumpur menangis sesenggukan dan meminta maaf kepada keluarga Bakrie atas ulahnya menista nama baik mereka, tidak kurang lagi ia menyatakan keyakinannya bahwa keluarga Bakrie akan sanggup menyelesaikan penggantian kerugian yang sampai sekarang masih menjadi tanggungan yang belum juga terselesaikan.

Kejutan adalah sesuatu yang jamak terjadi pada kasus semburan lumpur Lapindo. Ketika pertama kali muncul pada akhir Mei 2006 kita terkejut bagaimana kegiatan pengeboran yang belum menyelesaikan analisa dampak lingkungannya dibiarkan ada di tengah lingkungan padat penghuni dan memunculkan bencana semasif itu. Ketika kemudian Presiden mengeluarkan peraturan bernomor 14 pada tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo kita terbengong-bengong menyaksikan mengapa pemerintah tidak mengambil tindakan hukum dan malah memberikan Lapindo sebagai pihak yang paling bisa ditunjuk sebagai biang keladi masalah sebuah keleluasaan mengambil tanah warga dengan mekanisme yang sangat longgar untuk korporasi tersebut. Ketika bencana industrial ini telah berjalan lebih dari 6 tahun, kita lagi-lagi masih memutar dahi melihat bagaimana sekelompok warga negara dibiarkan begitu saja meregang nyawa ditengah lingkungan dan kondisi yang hancur dan tidak ada inisiatif sama sekali dari Negara untuk menyelamatkan mereka. Lalu kemudian seorang yang ketika pertama kali muncul menyatakan kegeramannya kepada seorang politisi cum pengusaha yang selama ini telah menghancurkan hidupnya tiba-tiba diwawancarai dan menangis meminta maaf. Mungkin ada baiknya kita semua berhenti terkejut dan mulai melihat apa yang terjadi dalam perjalanan kasus ini.

Ilusi Negara, Mengapa Pemerintah Tidak Dipihak Kita?

Untuk memulainya, mungkin kita mesti memeriksa lagi bagaimana kita memposisikan diri pada carut marut perjuangan korban lapindo. Hal pertama yang paling tampak pada aksi-aksi kita (korban lumpur lapindo) adalah ketergantungan kita pada harapan akan keberpihakan negara bersama elit penguasa dan para politisi di belakangnya. Ketika pertama kali korban Lapindo turun jalan dan menutup akses jalan raya Porong serta menyerbu langsung kantor korporasi sebagaimana awal-awal perjuangan ini bermula, sebenarnya kita telah menyasar musuh yang sesungguhnya. Sebuah aksi langsung ditujukan kepada pihak yang memang harusnya bertanggung jawab atas segala kehancuran atas hidup kita. Justru ketakutan Bakrie terhadap eskalasi aksi langsung korban lapindo ini yang memaksa pemerintah turun tangan menerbitkan aturan yang pada dasarnya dibuat untuk melindungi kepentingan lapindo.

Simak saja dari awal ketika lumpur muncrat. Semburan lumpur panas pada 29 Mei 2006 pertama kali diketahui muncul di areal persawahan Desa Renokenongo, sekitar 100 meter dari tempat pengeboran PT Lapindo Brantas. Lumpur kemudian meluas dan tidak bisa dikendalikan sehingga menenggelamkan ribuan rumah di sekitarnya. Hingga April 2007, dibutuhkan nyaris satu tahun setelah semburan itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007). Perpres ini memerintahkan Lapindo membeli (dan artinya masyarakat harus mau menjual) tanah dan bangunan yang telah tenggelam dan hanya dibatasi kepada daerah yang dinyatakan masuk peta area terdampak. Artinya, Lapindo tidak perlu memikirkan lagi bahwa lumpur masih akan meluas, dan akan menenggelamkan desa-desa yang lainnya, karena mereka hanya diberi tanggungjawab untuk membeli tanah dan bangunan di 4 desa di dalam peta area terdampak.

Beberapa bulan kemudian, kebutuhan untuk memperluas tanggul semakin mendesak, karena semburan belum berhenti mengeluarkan lumpur panas. Maka, Pemerintah kembali menerbitkan Perpres 48/2008, yang menambahkan 3 desa baru untuk masuk peta area terdampak. Kali ini, bukan Lapindo yang akan mengeluarkan dana untuk pebayaran tanah dan bangunan, namun seluruh masyarakat Indonesia akan dipaksa membayar kebutuhan perluasan tanggul dengan menenggelamkan 3 desa, yakni melalui dana APBN. Ini kemudian diikuti oleh sejumlah Perpres yang muncul sesudahnya untuk menambah jumlah wilayah yang akan dibeli pemerintah melalui dana APBN. Dengan analisa telanjang, kita bisa mengambil kesimpulan, Perpres tidak dibuat untuk menyelamatkan masyarakat tapi lebih untuk mengamankan Lapindo dari kehancuran yang lebih dalam.

Sejak saat Perpres ini dimunculkan, sejak itulah serangan kepada Lapindo dialihkan menjadi harapan agar pemerintah bertindak menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo. Ilusi yang menyertai harapan akan berpihaknya penguasa kepada warganya alih-alih kepada korporasi segera muncul dengan desakan agar seluruh lembaga negara turun menyelesaikan kasus ini. Maka kemudian aksi-aksi korban lapindo berpindah arah mendatangi Presiden, menteri, anggota Parlemen, Lembaga yudisial dan komisi Negara untuk memaksa Lapindo menuntaskan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden yang telah dibuat.

Di titik inilah kita mesti membaca ulang pilihan untuk meminta negara bertindak bagi kita. Ini bukan berarti bahwa aksi-aksi tersebut kemudian menjadi tidak bermakna, juga bukan dimaksudkan agar korban lapindo berhenti memaksa pemerintah turut bertanggungjawab atas kehancuran yang terjadi akibat kesalahan korporasi tersebut. Namun kita mesti melampaui buaian indah bahwa pemerintah dibuat untuk melindungi kepentingan rakyatnya.

Negara, pemerintah serta semua lembaga dan birokrasi yang dimilikinya harus dilacak sebagai bagian dari permasalahan itu sendiri. Pemerintah dibakukan ada untuk menjamin bahwa kekuasaan hanya bisa diakses oleh sekelompok orang saja, yang tanpanya kemudian kita merasa tidak berdaya menghadapi permasalahan sosial. Seolah-olah tanpa Presiden kita tidak bisa memaksa Bakrie untuk bertanggungjawab terhadap kehancuran yang diakibatkannya. Ini bukan soal apakah Presiden kita tegas atau tidak. Karena pada dirinya, tidak ada penguasa yang akan bertindak tanpa memikirkan akan keberlangsungan kuasanya sendiri. Bagi para elit politik pilihan untuk terlibat bagi kebutuhan publik adalah bagian dari tarik-menarik kuasa. Selama korban lapindo tidak dianggap begitu dibutuhkan untuk masa depan kekuasaan, selama itu juga tidak akan ada harapan bahwa pejabat publik mau campur tangan pada urusan ini.

Dengan memeriksa ulang posisi negara, kita bisa menerima penjelasan mengapa Presiden seolah mati kutu dihadapan Aburizal Bakrie, mengapa para politisi hanya muncul mempermasalahkan kasus lumpur Lapindo cuma di momen-momen mendekati pemilihan umum, mengapa hukum tidak bekerja menghadapi pelanggaran industrial yang terang benderang seperti ini, mengapa Komnas HAM tidak jua berani menyatakan adanya pelanggaran HAM berat pada kasus ini. Korban lapindo selamanya akan terkerdilkan sejak kita bukan lagi terror bagi kelanggengan kekuasaan tersentral Negara.

Dari Individu ke Keterwakilan

Efek samping dari munculnya Perpres 14/2007 kemudian bukan hanya soal distorsi posisi perlawanan dan pemiskinan imajinasi aksi, namun juga mereduksi tuntutan akan hilangnya kehidupan yang sudah dilibas lumpur panas.

Sejak Perpres menyebutkan bahwa penanggulangan masalah sosial korban lumpur Lapindo adalah soal pembayaran lahan yang tenggelam atau akan ditenggelamkan oleh lumpur panas, disaat itulah batas pertarungan kita telah diwp-content menjadi melulu urusan berapa uang yang kita terima dari penjualan tanah kita yang memang telah tidak mungkin lagi ditinggali baik oleh Lapindo maupun oleh Negara. Sekali lagi kita mesti melihat bahwa refleksi ini tidak untuk mengecilkan arti aksi-aksi tuntutan pembayaran tanah dan bangunan yang telah diusung selama ini. Bahwa kehilangan tanah, sawah, rumah dan tempat hidup kita adalah sesuatu yang wajib diganti oleh Lapindo Brantas inc sebagagai pihak yang menyebabkan semua ini adalah sebuah keniscayaan. Namun pada saat bersamaan kita harus meloncati jeratan Perpres dan bergerak memaksa Lapindo juga mempertanggungjawabkan kehilangan kehidupan kita yang lebih luas.

Tragedi ini bukan hanya kisah pilu hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur. Ini juga kisah hancurnya masa depan beratus ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, atau bahkan lebih luas dari sekedar 3 kecamatan ini. Mari kita runut kehancuran yang tidak bisa dilihat oleh Presiden, kehancuran yang melebihi Perpres.

Di sektor ekonomi dan tenaga kerja sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166 ribu orang akibat kolapsnya perusahaan yang terkena lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak. Menurut data Greenomic perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun, sedang menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

Bagi korban Lapindo, selain kehilangan rumah dan tanah, mereka juga terancam kesehatannya karena lingkungan yang tidak sehat. Penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh hidrokarbon mencapai tingkat 8 ribu – 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.

Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon. Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007. Dalam catatan Puskesmas Jabon pasca semburan lumpur juga tercatat dua kasus gangguan jiwa serius.

Di sektor pendidikan, tercatat 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

Potensi kerusakan sosial yang diakibatkan oleh semburan lumpur panas juga telah begitu kuat. Masyarakat yang dulunya terkumpul di desanya, harus terpencar ke berbagai wilayah. Solidaritas sosial yang dulu terbangun semakin memudar. Kasus yang sering terjadi adalah perebutan status lahan atau tanah. Posisi masyarakat yang dibuat Lapindo sebagai mitra jual-beli tanah membuat banyak keluarga yang harus berkonflik karena pembagian uang hasil pembayaran tanah dan rumah. Selain itu keselamatan warga yang tidak terjamin dengan berdirinya tanggul-tanggul penahan lumpur menjadikan warga antar desa sering berkonflik untuk saling menyelamatkan desanya. Setiap warga ingin desanya selamat tetapi tidak ada jaminan baik dari pemerintah ataupun Lapindo tentang hal itu sehingga mereka memilih jalan sendiri dengan misalnya mengalirkan lumpur menjauhi desanya yang dampaknya mengalir ke desa lain yang juga tidak mau tenggelam.

Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga hilangnya keterikatan warga dengan sejarah leluhurnya di desa. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan, selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang secara keterikatan jelas tidak akan sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Berapa kita menilai kerugian sosial budaya begini dalam satuan mata uang mana pun?

Dari sekian catatan diatas, kita bisa dengan jelas melihat bahwa selain membatasi kita dengan ilusi pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan saja, Perpres juga telah mencerabut potensi perlawanan masing-masing individu dan mengalihkannya hanya menjadi angka-angka semata dalam berkas-berkas bukti kepemilikan lahan.

Kehancuran yang kita rasakan adalah kehancuran hidup sebagai masing-masing individu. Pekerjaan kita yang hilang, kesehatan kita yang terdegradasi, pendidikan kita yang berantakan adalah persoalan-persoalan yang kita hadapi sebagai individu. Namun Perpres menisbikan hal tersebut dan hanya mengakui korban sebagaimana dia ditulis dalam tumpukan berkas-berkas yang ditumpuk untuk menunggu cicilan pembayaran. Karena itulah mudah bagi pemerintah dan korporasi untuk berdalih bahwa mereka sudah hampir menyelesaikan kasus ini berdasarkan berapa angka berkas lahan yang telah dicicil. Dan bagi kitapun ilusi ini berlanjut dengan melupakan setiap komponen hidup yang telah dihilangkan dari masing-masing kita.

Dari masing-masing individu yang punya hasrat menyampaikan kemarahan karena hancurnya hidupnya akibat ulah korporasi, kita dikecilkan menjadi hanya kumpulan KK (Kepala Keluarga) yang menuntut pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan, lalu kita dikecilkan lagi menjadi sekian berkas yang menunggu untuk dibayar. Dari sini setiap potensi konflik yang bisa dimunculkan kita sebagai individu dengan kemerdekaan yang telah diganggu bisa dikanalkan melalui perwakilan-perwakilan keluarga, lalu menjadi perwakilan kelompok desa dan berakhir dengan munculnya elit-elit baru yang tidak kalah birokratisnya dibanding negara dan korporasi yang harusnya kita serang dalam kasus ini.

Disetiap desa dan kelompok perlawanan korban lumpur lapindo kemudian elit-elit baru ini mengambil peranan mediasi dengan kekuasaan dan seringkali akan berakhir dengan semakin melemahnya tuntutan demi tuntutan yang diperjuangkannya. Wakil-wakil kelompok kemudian bertransformasi menjadi pengambil keputusan hidup setiap individu yang tergabung dalam kongsinya. Kita yang sudah tidak mampu lagi menemukan kekuasaan menentukan pilihan tuntutan pengembalian hidup karena Negara sudah menutup akses kita membuat tuntutan yang lain diluar yang sudah digariskan melalui Perpres kemudian juga ditundukkan oleh perwakilan-perwakilan kita yang punya hak melakukan negosiasi atas nama kita. Bukan lagi setiap individu merasakan hasrat memenangkan kembali kehidupannya yang telah direnggut, sekarang kita menunggu hasil-hasil yang dibawa oleh negosiasi wakil-wakil kita dengan pemerintah dan lapindo yang hanya berakhir semakin menyedihkan.

Media Massa dan Kita adalah Penonton

Munculnya elit-elit warga ini pada gilirannya juga semakin menjauhkan pola aksi-aksi langsung warga menjadi mediasi baik melalui negosiasi tertutup mereka dengan negara dan korporasi maupun melalui aksi rebut simpati di media. Untuk kasus kegagapan menilai media ini, ada baiknya kita berkaca kembali melalui kasus Hari Suwandi diatas.

Beberapa dari kita masih ingat bagaimana ketika memulai aksinya pertama kali di pinggiran tanggul penahan lumpur panas, Hari Suwandi dilepas dengan berderai air mata dan harapan akan terbukanya mata pemerintah maupun lapindo untuk segera menuntaskan kasus ini (baca: membayar sisa ganti rugi). Dengan sorotan media yang tiap hari mengulas perjalanan Hari Suwandi “berjihad” ke ibu kota, tak pelak isu soal kasus lapindo terlihat kembali ke permukaan.

Namun disinilah pangkal permasalahannya. Ilusi lain tentang bahwa media massa adalah alat perlawanan yang bisa dipakai untuk memperjuangkan tuntutan bukan saja sekedar lomba kegenitan belaka untuk muncul secara nasional dan ajang verifikasi ketokohan seseorang, namun juga semakin menjauhkan kita dalam partisipasi aktif perlawanan. Arus komunikasi dan informasi tentu saja adalah hal penting untuk membangun basis solidaritas perlawanan kita dengan mereka yang merasa punya kemarahan yang sama di tempat-tempat lain. Tapi media massa mainstream adalah makhluk berbeda. Kebutuhan media massa adalah menarik sebanyak-banyak penonton terpaku didepan layar kaca, karenanya faktor penampilan menjadi faktor penting bagi media massa. Ketika logika penampilan adalah apa yang utama dalam media massa, maka apa yang akan ditampilkan akan disaring hanya berdasarkan apa yang akan memberi mereka keuntungan lebih besar. Isu-isu menarik akan dicari dan dikemas untuk menjaring penonton. Pada gilirannya, kita tetap akan dipaksa menjadi penonton saja, didudukkan untuk melihat tokoh-tokoh dan wakil-wakil kita yang dalam logika tampilan media massa dianggap menarik untuk mengambil peran dan berbicara serta bertindak mewakili kita.

Sama halnya dengan mediasi melalui negosiasi wakil-wakil kelompok, mediasi melalui media populis semacam televisi adalah bagian dari usaha menjauhkan kita dari kemampuan kita mengambil keputusan sendiri atas hidup kita. Ketika Hari Suwandi berjalan dari Porong menuju Jakarta, kita melihatnya disirakan media dan kita menaruh perlawanan kita ditangannya. Maka ketika kemudian Hari Suwandi menangis dan meminta maaf kepada keluarga bakrie kita terkejut dan merasa dikhianati karena bukan itu yang kita inginkan. Tapi mengapa? Mengapa kita menaruh kemarahan individu kita hanya pada citra Hari Suwandi di layar kaca? Kalau dari awal kita bukan hanya sekedar penonton untuk perlawanan ini, kalau sedari semula setiap kita adalah individu yang punya hak menentukan tuntutan apa yang harus kita ajukan untuk mengembalikan hidup kita yang dirampas oleh lumpur panas, kita tidak harus merasa dikhianati oleh Hari Suwandi. Karena dia bukan masing-masing dari kita, dia bukan manifestasi pilihan kita, dia bukan citra yang kita taruh untuk mewakili masing-masing kita sebagai individu korban Lapindo.

Mencari Lapangan Bermain yang Lain: Bukan Sebuah Proposal

Setelah 6 tahun lebih skandal lumpur Lapindo berjalan, rasa lelah dan frustrasi akan semakin sering menghinggapi kita. Refleksi singkat ini hanya catatan individu yang juga seringkali merasa lelah dengan segala kekalahan bertubi-tubi menghadapi gabungan Negara dan korporasi terutama dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Refleksi ini juga tidak bertendensi mengajukan proposal apapun akan pilihan apa yang terbaik untuk penyelesaian kasus ini. Namun dengan semakin panjangnya waktu berjalan mau tidak mau kita mesti melihat lagi bagaimana relasi perlawanan kita dan bagaimana kita memposisikan diri.

Perhatian utama dari refleksi ini adalah ketidakrelevanan lagi lapangan bermain kita melawan Negara dan korporasi. Memakai institusi Negara yang nyata-nyata bagian dari akar permasalahan dalam usaha memaksakan tuntutan kita kepada lapindo jelas tidak akan membawa kita kemana-mana. Berharap aturan hukum dan perundang-undangan serta turunannya semacam Peraturan Presiden akan memberi angin perubahan hanya akan menambah luka. Hukum dan aturan tertulis produksi pemerintah adalah media perlawanan yang tidak akan bisa kita menangkan. Institusi Negara tidak dinubuatkan untuk melindungi dan mendukung perlawanan warga. Usaha untuk memperbaiki dan atau menegakkan kemurnian aturan yang dibuat oleh mereka jelas bisa kita anggap kesia-siaan. Sejak aturan itu ditujukan memang untuk mengamputasi gerak perlawanan kita sendiri.

Pun demikian dengan hilangnya perlawanan masing-masing individu yang terorganisir tergantikan oleh perwakilan-perwakilan yang kenyataannya tidak berjuang untuk pilihan kita. Kita mesti melacak ulang apa saja yang telah dihilangkan dari kita untuk kemudian berusaha mewujudkannya kembali. Yang direnggut dari kita bukan sekedar tanah atau rumah kita, namun seluruh hidup kitalah yang telah ditenggelamkan oleh lumpur panas. Ketika wakil-wakil kita terus menerus menurunkan level tuntutan yang menyisakan kita hanya jadi semacam peminta-minta yang berharap kebaikan hati penguasa dan pengusaha untuk membayar sesuatu yang semestinya memang milik kita, jelas itu pertanda riil bahwa kita telah jauh dari kemerdekaan menentukan yang kita inginkan kembali pada hidup kita.

Lalu mediasi populis melalui media massa mainstream terbukti juga tidak memberi dampak apa-apa kepada kita kecuali bahwa kita dipertontonkan guyonan yang lebih garing dari Opera van Java. Menjauhkan kita dari tindakan langsung yang mungkin bisa kita ambil karena kita sudah muak dengan ketidakberpihakan negara dan kebebalan korporasi.

Adalah lebih memungkinkan ketimbang terus menerus melawan kejahatan korporasi di lapangan bermain yang tidak memungkinkan kita merebut kemenangan, kita bisa membuat pola aksi lain yang tidak lagi mengimajinasikan konsep lama yang nyatanya tidak membebaskan kita sama sekali. Sebagaimana sebuah pertandingan sepakbola, memakai Negara, konsep keterwakilan dan media massa mainstream untuk melakukan perlawanan serupa dengan bertanding tandang ke sebuah stadion yang dipenuhi supporter tuan rumah dengan pengadil lapangan yang dibayar khusus untuk memenangkan tim tuan rumah. Kita akan cuma jadi tim yang selalu kalah di tempat seperti itu.

Lupakan imajinasi lama, yang tidak lagi punya daya gerak, untuk melanjutkan lagi pertarungan melawan keserakahan korporasi yang dilindungi Negara kita perlu keluar dari jebakan-jebakan yang selama 6 tahun lebih ini mengurung ide-ide perlawanan kita menjadi lebih maju. Kita perlu mengkaji lagi aksi-aksi langsung yang memang menyerang jantung korporasi, sekali lagi menjadi terror untuk keberlangsungan tatanan yang menyebabkan kita tertindas, diluar semua mediasi yang diwakilkan ke pihak lain di luar diri kita sendiri. Setelah 6 tahun lebih perlawanan korban lapindo berjalan, daripada selalu terkejut mengapa kita selalu dikalahkan, bukankah tidak terlalu muluk-muluk jika kita mencari tahu apakah kita masih punya kemungkinan untuk menang. Setidaknya itu tidak lebih buruk ketimbang menangis di sebuah siaran langsung setelah berjalan kaki dari Porong ke Jakarta kan?

Sumber: http://selamatkanbumi.com/ID/refleksi-perlawanan-porong/

Translate »