Menjahit Kehidupan Mulyani


Agustus 2006 silam, Desa Jatirejo di Kecamatan Porong tidak bisa lagi dihuni akibat tenggelam oleh lumpur Lapindo, Hampir semua warga di Desa Jatirejo mengungsi di Pasar Baru Porong, selama kurang lebih 3 bulan. Mereka menerima uang kontrak sebesar 5,5 Juta untuk dua tahun. Setelah mendapat uang kontrak, warga Jatirejo mencari tempat kontrakan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi bersama.

Tahun 2007 warga menerima realisasi [uang muka] ganti-rugi aset tanah bangunan sebesar 20 persen. Banyak warga Jatirejo yang memilih pindah sendiri-sendiri. Tidak ada pendataan tentang kepindahan warga. Namun, ada sebagian warga yang pindah ke Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (PerumTAS) II. Mulyani, ibu dua anak ini, misalnya, juga memilih mengontrak di PerumTAS II dengan alasan “gampang terjangkau”.

Aset Mulyani masih menjadi satu dengan aset ibunya. Di Jatirejo, dia sempat membangun sepetak tanah menjadi toko, yang sekaligus dibuat untuk tempat kerjanya menjahit pesanan tetangga-tetangganya.

Awalnya Mulyani sekeluarga dan orangtuanya tinggal serumah di kontrakan. Dengan uang 5,5 Juta, Mulyani memilih rumah di Blok N seharga 1,5 Juta setahun. Sisa uang digunakan untuk biaya berobat ayahnya yang sakit-sakitan sejak berada di Jatirejo dulu. Tidak sampai setahun di kontrakan itu ayah Mulyani meninggal.

Uang ganti-rugi 20 persen tidak membuat nasib Mulyani membaik, tapi malah menyedihkan. Sehari setelah menerima uang itu, Mulyani harus dirawat di rumah sakit akibat dipukuli adik laki-lakinya, yang lalu merebut uang ganti rugi yang rencananya digunakan untuk membeli rumah di wilayah Candi.

Sepulang dari rumah sakit, harapan membeli rumah lagi menjadi kandas. Setahun kemudian dia memilih mengontrak sendiri. Tidak lagi tinggal bersama ibunya. Dia tidak betah lagi tinggal dengan ibunya yang sering marah-marah.

Berbekal uang dari menjual perhiasan, Mulyani mengontrak di PerumTAS Blok S. Di sana dia merintis usaha menjahitnya kembali. Setelah 80 persen dibayar Lapindo dengan cara diangsur 15 juta per bulan Mulyani memberanikan diri mendatangi adiknya. Dengan ditemani Aschur, Ketua LPM Jatirejo, Mulyani meminta uang ganti rugi miliknya. Akhirnya dia hanya diberi uang sebesar 32 juta.

Dengan uang sebesar itu dirinya nekad membeli rumah di PerumTAS II seharga 45 Juta. Pemilik rumah yang dibelinya itu menawarkan “oper kredit”. Atas saran Nur Aini, salah satu putri pendiri Pondok Pesantren Jatirejo, Mulyani akhirnya menyetujuinya.

Di tempat ini, dia bergaul dengan warga sekitarnya. Dia pun meneruskan usaha menjahitnya. Tetangga depan rumahnya yang juga Ketua RT membantu membangunkan tempat untuk usahanya secara cuma-cuma. Selama kepindahannya, dan kebanyakan warga lain, keterlibatan perangkat desa hampir tidak ada. Dari Ketua RT sampai Lurah tidak ikut-serta menentukan warga untuk harus pindah kemana. Mereka hanya terlibat dalam persoalan ganti-rugi saja.

Banyak persoalan yang harus dihadapi warga yang memilih pindah sendiri-sendiri. Informasi dan komunikasi antar-warga yang terputus. Tidak sedikit warga Jatirejo yang putus hubungan dengan keluarga akibat ganti-rugi. Seperti yang dialami Mulyani. Dia sudah tidak tahu dimana adiknya tinggal. Sejak si adik memukulinya dan merebut uang ganti rugi haknya, dia tidak tahu kabar adiknya. Bahkan setiap Hari Raya [Lebaran], sang adik tidak pernah berkunjung ke rumahnya.

Sejak dirinya tinggal di PerumTAS II, dirinya tidak tahu menahu tentang kemanakah tetangga-tetangganya tinggal. Dia hanya bisa berkomunikasi dengan tetangganya yang kebetulan tinggal di PerumTAS. Sedangkan untuk masalah ganti-rugi dirinya sudah tidak tahu menahu. Yang bisa dia lakukan adalah terus mencari uang untuk dapat membayar cicilan rumah yang ditempati dan membiayai pendidikan anak pertamanya.

Sejak mendapat “uang kontrak”, Mulyani sudah berpindah kontrakan sebanyak empat kali, sebelum akhirnya memutuskan membeli rumah di PerumTAS (Blok S1) dengan cara oper kredit. Menurutnya, dia sudah menghabiskan uang sebesar kurang lebih 4,5 Juta untuk kontrak rumah.

Tidak hanya itu, sejak dirinya tinggal di Perumtas dia harus menyisihkan uang sebesar 30ribu per bulan untuk biaya keamanan dan kebersihan. Dan harus terus mencari uang sebesar 500rb untuk membayar cicilan rumah yang ditempatinya itu. Uang itu tidak sedikit baginya yang hanya bekerja sebagai penjahit. Suaminya hanya berjualan jamu keliling. Dan tidak jarang Mulyani harus kebingungan mencari pinjaman saat anaknya membutuhkan biaya pendidikan. Dari ceritanya, saat anaknya masuk SMU, Mulyani harus mengeluarkan biaya sebesar 3 juta. Untung ada tetangga yang baik yang mau meminjami uang untuk biaya sekolah anaknya.

Hal terpenting dalam memilih tempat tinggal baru adalah untuk melanjutkan usahanya. Dia merasa bahwa tetangga-tetangganya saling tolong-menolong. Saat ini suaminya disuruh menjadi satpam di lingkungannya dengan gaji sebesar 500 ribu per bulan.

Sampai saat ini rumah yang ditempatinya masih belum lunas. Sertifikat masih berada di pihak pengembang (developer). Dirinya hanya memegang surat jual-beli dan surat pernyataan oper-kredit dari pemilik rumah yang dulu. Mulyani berharap bisa secepatnya melunasi rumahnya agar dia bisa “membalik nama” sertifikat rumahnya itu.

Untuk kebutuhan air bersih, Mulyani harus membeli air penjual air keliling. Pihak developer tidak menyediakan kebutuhan air dari PDAM. Untuk satu jerigen dia harus membayar 1.200 rupiah. Dalam sehari Mulyani harus membeli 2-3 jerigen untuk kebutuhannya dan pembuatan jamu, yang akan dijual suaminya. Untuk mandi dan cuci Mulyani masih bisa menggunakan air sumur.

Secara administratif Mulyani masih menjadi warga Jatirejo. Untuk layanan kesehatan Mulyani ikut menyatu dengan warga yang lainnya di tempatnya tinggal, harus mengeluarkan biaya sendiri. Anak keduanya masih berumur 3 tahun. Untuk ikut Posyandu di tempatnya tinggal. Ketika ada keluarga Mulyani yang sakit mereka harus mengeluarkan biaya sendiri untuk berobat. Dia sering berobat di klinik terdekat.

Soal pendidikan kebanyakan warga Jatirejo memilih memindahkan sekolah anak-anaknya, seperti yang pernah dilakukan Mulyani yang terpaksa memindahkan anaknya saat masih SD. Dan kebanyakan warga membiayai sendiri proses pemindahan anak-anaknya. Masalah pemulihan ekonomi juga sampai saat ini tidak ada, baik itu pelatihan maupun pendampingan dari pemerintah.