Geolog UGM Pastikan Lumpur Lapindo sebagai Bencana Industri


LENSAINDONESIA.COM: Meski telah tujuh tahun berlalu, ternyata masih juga belum mampu menuntaskan masalah bencana lumpur Sidoarjo. Berbagai alternatif penanganan masih membutuhkan banyak penelitian. Di sisi lain, nasib korban lumpur masih belum menemukan jalan terang, malah permasalahannya semakin meluas dan memakan lebih banyak korban. Hal tersebut terungkap dalam seminar Tujuh Tahun Lumpur Lapindo yang diadakan oleh ITS, Senin (27/5/2013).

bosman

Bosman Batubara, salah seorang pembicara yang juga seorang geolog dari UGM, menyebutkan bahwa permasalahan Lumpur Lapindo tidak hanya berkaitan dengan mekanisme ganti rugi terhadap para korban.

Lebih dari itu, masalah ini menyangkut banyak aspek seperti mitigasi bencana, hukum dan HAM, ekonomi serta sosial politik. Bosman mengatakan, keterlambatan pemerintah dalam menyelesaikan masalah lumpur Lapindo disebabkan tidak adanya definisi yang tepat dalam memahami bencana yang terjadi.

Selama ini, pemerintah memahami semburan lumpur sebagai bencana teknologi saja. Padahal, bencana tersebut terjadi karena meningkatnya kebutuhan produksi. “Yang terjadi di Sidoarjo bukanlah bencana alam atau teknologi. Ini adalah bencana industri,” tegas alumni Jurusan Teknik Geologi UGM ini.

Bosman menjelaskan, bencana industri bisa terjadi karena kesengajaan manusia yang tidak menaati prosedur keamanan produksi. Dalam kasus lumpur Sidoarjo, kesalahan bermula dari kesengajaan PT Lapindo Brantas untuk tidak memasang chasing yang tepat pada sumur bor Banjar Panji 1 (BPJ 1).

Kesengajaan itu bisa saja disebabkan keinginan menekan biaya produksi. “Ini terjadi karena pemerintah telah menyerahkan segala permasalahan kepada mekanisme pasar,” ujar Bosman.

Bosman melanjutkan, dalam kasus lumpur Lapindo juga telah terjadi pelanggaran HAM berat terhadap para korban. Akan tetapi, Komnas HAM menolak menganggap bencana ini sebagai suatu bentuk pelanggaran.

Padahal berdasarkan kajian yang Bosman lakukan, setidaknya terdapat dua pasal yang bisa mengindikasikan terjadinya pelanggaran. “Pasal pertama adalah telah terjadi perluasan dampak dari lumpur Sidoarjo. Yang kedua karena para korban harus berpindah secara terpaksa dari tempat tinggal mereka,” ujar pria asal Sumatra Utara yang juga pernah terlibat dalam tim peneliti lumpur Sidoarjo ini.

© Angga Perkasa | www.lensaindonesia.com | 27 Mei 2013

Translate »