Ike Masih Bertahan di Siring Barat


Sejak 2009 rumah Ike teridentifikasi sebagai daerah terdampak lumpur. Rumahnya bersebrangan dengan tanggul lumpur yang ada saat ini. Persis di pinggir Jalan Raya Porong, tempat lalu-lalang truk pengangkut barang. Begitu proses pembayaran penjualan rumah itu lunas, permasalahan Ike berawal.

Berikut cerita Ike:

Rumah ini sebetulnya adalah milik [aset] nenek saya sebetulnya. Rumah ini diwariskan ke lima-bersaudara (termasuk ibu saya). Oleh karena itu, uang ganti rugi dari Lapindo dibagi lima saudara ibu saya. Karena yang paling lama tinggal di rumah ini adalah ibu saya, seharusnya ibu saya yang mendapat bagian lebih besar.

Kami masih bertahan di rumah ini [di Siring Barat]. Padahal sekarang tetangga-tetangga saya semuanya sudah pindah ke tempat baru, pindah masing-masing. Saya sempat mengungsi ke Pasar Baru Porong, kos di Beringin selama 2 tahun. Selama itu masih belum ada kepastian: apakah rumah ini akan dibeli Lapindo atau tidak. Kami pun kembali ke rumah di Siring Barat ini sampai sekarang.

Uang ganti rugi sih sudah lunas, tapi sewaktu-waktu harus sudah siap digusur. Rencananya saya mau pindah ke daerah Kenongo, di dekat jalan arteri baru. Pertimbangannya karena di pinggir jalan kemungkinan akan ada pembeli untuk warung nasi saya ini. Tapi ya masih belum tau.

Rumah ibu (Sudati, ibu Ike) belum cukup punya uang untuk beli rumah baru. Rumah nenek (Nunuk Sukartini) terjual dengan harga yang tidak sampai 200 meter. Pada waktu pengukuran, petugas pengukur tanah mengukur luas tanah rumah kami lebih kecil dari aslinya. Diukur BPLS susut sekitar 10×5 meter. Tapi kami tidak memperkarakan itu.

Saudara saya yang dari Jakarta (saudara laki-laki ibu saya) minta bagian waris rumah lebih banyak dari saudara-saudara yang lain. Sampai terjadi konflik keluarga antara lima-bersaudara dari ibu. Alasannya adalah dia satu-satunya anak laki-laki. Padahal saudara yang lain berpendapat: “dia bukan warga korban lumpur Lapindo, kenapa harus minta bagian lebih banyak? Sementara yang selama ini merawat nenek adalah Ibunya Mbak Ike, merawat rumah juga, tapi kok justru tidak dapat apa-apa.”

Selama ini yang mengurus ganti rugi aset rumah dan pembagian harta waris itu saya, tapi malah tidak dapat apa-apa. Jadi Sebelum ada kasus lumpur Lapindo rumah ini gak jadi masalah. Sekarang jadi konflik keluarga.

20 persen dibagi rata pada lima-bersaudara. Tapi yang 80 persen tidak [dibagi rata], lebih banyak bagian Ibu saya. Mengambil bagian dari yang seharusnya diberikan pada saudara laki-laki Ibu. Jadi melawan ajaran Islam yang katanya harus memberikan bagian paling besar ke saudara laki-laki.

Ya gimana lagi. Dia tidak pernah datang ke Porong. Istri dan anak-anaknya sekalipun tidak pernah datang ke sini. Kenapa kok baru sekarang [setelah lumpur Lapindo] terpikir untuk datang ke Porong?

Sekarang ini saya tinggal menunggu waktu untuk pengosongan rumah. Menunggu surat pebongkaran dari Lapindo atau BPLS. Rumah ini juga masih belum saya lelang sampai sekarang. Saya masih butuh untuk tempat jualan nasi. Kalau sewaktu-waktu harus pindah dari sini saya dan suami harus cari kontrakan rumah di daerah Kenongo tadi. Padahal uang jatah hidup dan uang jatah kontrakan sudah tidak dapat lagi dari Lapindo. Ya tidak tau ini bagaimana selanjutnya. Kalau tidak punya rumah sendiri itu susah. Ibu (Sudati) cuma cukup beli tanah di Pandaan, tapi tidak bisa beli rumah.

Kalau boleh memilih, saya mau pilih jualan di sini saja [di Siring Barat] daripada di pinggir jalan arteri itu. Di sana jauh lebih sepi pelanggannya. Kalau tidak jualan, mau makan apa keluarga saya. Saya jualan sejak 2010, sebelumnya sempat kerja di pabrik dan di kantor TKW untuk penyalur (ibu asrama) di BGS Gempol.


Translate »