Kasus Lumpur Lapindo di Tangan Ksatria Negarawan


Oleh: Subagyo

Mantan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, dan Bupati Sidoarjo sekarang, Saiful Illah, mengatakan bahwa masalah lumpur Lapindo itu hanya berada dalam satu persen wilayah Kabupaten Sidoarjo. Tapi mengapa yang hanya di satu persen itu tidak terselesaikan hingga tujuh (tujuh) tahun ini?

Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur rupanya merasa tidak bebas untuk menyelesaikan masalah lumpur Lapindo, sebab kewenangan penyelesaiannya telah diambil seluruhnya oleh Pemerintah Pusat (Presiden) dengan dibentuknya Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melalui Perpres No. 14/2007. Pemerintah Daerah ini tidak mau melangkahi kewenangan pemerintah pusat.

Namun sayangnya, Presiden SBY yang telah diberi gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath oleh Ratu Inggris pada Oktober 2012 lalu dan memperoleh World Statesman Award 2013 dari The Appeal Of Conscience Foundation Amerika Serikat, ternyata tidak mampu membereskan masalah satu persennya wilayah Kabupaten Sidoarjo itu.

SBY telah menggariskan aturan dalam Pasal 15 Perpres No. 14/2007 (yang sudah diperkuat dengan Putusan MA No. 24 P/HUM/2007) bahwa pembayaran bertahap yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah dalam peta area terdampak 4 Desember 2006,  sebesar 20 persen dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun terakhir.

Ketika Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) membuat perjanjian serah kewajiban tersebut kepada PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ), Presiden SBY tidak melarangnya. Padahal peralihan kewajiban hukum itu membutuhkan instrumen hukum tersendiri yang berbeda dengan peralihan hak. Ketika kemudian MLJ tidak melaksanakan kewajiban Lapindo yang dialihkan kepadanya hingga sekarang, Presiden SBY juga hanya bisa “menghimbau.” Aneh benar negara ini, dan enak benar pelakunya, bahwa pelanggaran hukum buatan Presiden itu hanya diberi sanksi “himbauan.”

Lapindo dan MLJ, anak-anak Grup Bakrie ini, begitu mudahnya membuat janji-janji yang diselingi berbagai argumentasi hukum yang dibuat-buat. Setelah ramai-ramai disoal warga korban sejak tahun 2008, maka membuat janji cicilan Rp 30 juta perbulan, lalu ngadat, janji lagi cicilan Rp 15 juta perbulan, ngadat lagi, janji lagi dengan cicilan Rp 5 juta perbulan. Itupun dikeluhkan warga karena cicilan sering macet. Akhirnya MLJ secara terbuka berjanji akan melunasinya Desember 2012.

Janji-janji panjang itu ternyata tidak direalisasi hingga tahun 2013. Ada janji lagi akan diselesaikan Mei 2013. Ternyata diingkari lagi dan dijanjikan lagi akan diselesaikan Nopember 2013. Berdasarkan tradisi ingkar tersebut, sulit dipercaya bahwa Nopember 2013 nanti akan benar-benar selesai.

Presiden SBY yang semestinya dapat menggunakan kewenangan paksaan pemerintahan (bestuurdwang) terhadap Grup Bakrie, hingga sekarang tidak melakukan apa-apa untuk menegakkan peraturan yang dibuatnya. Di Inggris digelari kesatria, di Amerika Serikat digelari negarawan, tapi bisa-bisanya SBY tunduk kepada korporasi di dalam negeri sendiri. Bagaimana tidak dikatakan tunduk jika tidak berani menegakkan aturan yang dibuatnya sendiri dan diam diremehkan partikelir?

Jika ada yang menyatakan bahwa dibalik musibah itu ada hikmah, ada peluang, ada hal-hal yang positif, namun hal itu juga tidak lantas menjadi alasan untuk melupakan hal-hal yang buruk yang seharusnya dipertanggungjawabkan dan diselesaikan. Hal itu juga menyangkut masa depan para korban dan menjadi model contoh penyelesaian masalah serupa di negeri ini di masa depan.

 

Bahaya Racun Lumpur Lapindo dan Masa Depan

Selain masalah belum tuntasnya penyelesaian jual-beli tanah korban dalam peta terdampak, yang juga mulai turut menyedot APBN untuk biaya korban di luar area peta terdampak 22 Maret 2007, juga terdapat masalah kesehatan warga korban yang belum banyak mendapatkan perhatian.

Walhi Jawa Timur pernah melakukan kerjasama penelitian kandungan aromatic hydrocarbons (PAH) dengan beberapa pihak. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2007 sampai Januari 2008 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Kimia Analitik, Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga Surabaya.

Dokumen penelitian tersebut menyatakan, berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH yang diizinkan dalam lingkungan adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg. Berdasarkan seluruh titik pengambilan sampel, ternyata lumpur Lapindo mengandung kadar Chrysene di atas ambang batas. Sedangkan untuk Benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, yang kesemuanya di atas ambang batas.

Kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo mencapai 2000 kali  di atas ambang batas, bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah mengancam keberadaan manusia dan lingkungan.

Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang, melainkan 5 – 10 tahun ke depan. Dampak terhadap ksehatan adalah bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan), kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan kulit, kanker, permasalahan reproduksi,  membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit.

Sebagian dampak gas beracun lumpur Lapindo bagi kesehatan manusia tampak pula dari hasil penelitian Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Surabaya (BTKLS) pada Maret – Mei 2010.

Lembaga bawahan Kementerian Kesehatan RI ini menyimpulkan bahwa dari 53 responden di empat desa sekitar tanggul lumpur Lapindo (Gempolsari, Kalitengah, Besuki dan Glagah Arum) atau 81,1 persen responden mengalami gangguan restriksi, 5 persen mengalami gangguan obstruksi dan 9,4 persen masih normal. Hampir semua rumah di empat desa yang diteliti termasuk kategori rumah tidak sehat. Hanya 11,11 persen rumah di Desa Gempolsari yang masuk kategori rumah sehat.

Selain itu, beberapa kesimpulan hasil penelitian BTKLS menunjukkan keadaan-keadaan lingkungan di desa-desa yang buruk, termasuk memburuknya kualitas air sumur dan air sungai. Dampak-dampak buruk tersebut menjadi beban warga korban Lapindo, yang kian lama kian dilupakan masyarakat lainnya, dengan kian bertambahnya masalah di negara ini, terutama masalah korupsi yang kian merajalela.

Sebenarnya Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat melakukan kewenangan hukumnya untuk menyelamatkan warga korban Lapindo berdasarkan Pasal 14 ayat 1 huruf j dan g UU No. 32/2004 jo. UU No. 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah, guna menanggulangi masalah lingkungan dan sosialnya. Itu justru menjadi urusan wajib menurut undang-undang yang kedudukannya di atas Perpres. Namanya urusan wajib, jika tidak dilaksanakan ya menjadi pelanggaran hukum.

Pemerintah Daerah mesti melakukan terobosan hukum, tidak perlu menunggu kewenangan pemerintah pusat yang tidak dapat diharapkan ketegasannya sebagai ksatria Inggris dan negarawan versi Amerika Serikat itu.

Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2013/05/31/kasus-lumpur-lapindo-di-tangan-ksatria-negarawan-564456.html


Translate »