Korban Lapindo Ancam Minta Suaka Politik ke AS


TEMPO.CO, Sidoarjo – Merasa kampung halamannya hilang ditelan luapan lumpur Lapindo dan banyak dirugikan petugas BPLS, lima warga pemilik berkas akan mengadu ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.

“Kita akan mendatangi Kedubes Amerika dan PBB untuk mencari suaka politik. Sudah tidak ada keadilan yang diberikan,” kata Thoyib Bahri, salah satu pemilik tanah, dalam konferensi pers di Balai Wartawan Sidoarjo, Sabtu, 25 Mei 2013.

Thoyib yang memiliki tanah seluas 3.222 meter persegi di Lapindo merasa dirugikan akibat permainan oleh wakil ketua tim verifikasi BPLS saat itu, Bajuri Edi Cahyono. Permainan ini, katanya, sudah menjurus pada pelanggaran hak asasi dan diduga kuat beraroma korupsi.

Warga dari kelompok tiga desa dan masuk dalam Perpres 48 tahun 2008 ini hanya berharap BPLS segera membayar ganti rugi sesuai bukti otentik yang dimiliki warga. Thoyib membeberkan, sesuai penetapan PN Sidoarjo Nomor 129/Pdt.P/2011/PN.Sda tertanggal 12 Agustus 2012, tanah penggugat merupakan tanah darat, bukan tanah sawah. Akan tetapi, BPLS berkukuh enggan membayar karena penetapan PN Sidoarjo tidak disertai keterangan harus membayar.

Sikap BPLS ini jelas membuat warga semakin geram dan kesal. Sebab, BPLS yang meminta warga untuk mencari kepastian status tanah lewat jalur pengadilan. “BPLS mencari celah untuk berkelit. Katanya enggak ada keterangan untuk membayar. Ini, kan, aneh? Padahal yang minta BPLS,” ujarnya.

Perjuangan warga ini diperkuat dengan pembacaan putusan oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat pada 17 April 2013. Majelis hakim PN Jakarta Pusat, kata Thoyib, memerintahkan pihak tergugat wajib segera membayar ganti rugi kepada lima berkas atas nama Abdul Roshim, Marwah, Musriah, Thoyib Bahri dan Mutmainah.

Ada tiga tergugat saat itu, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri PU Djoko Kirmanto, dan Kepala BPLS Sunarso. Hanya tergugat Presiden SBY yang enggan mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Pusat. “Menteri dan BPLS masih banding. Kita hanya minta hak-hak kami segera dibayarkan,” ucap Wahid, ahli waris dari Marwah.

Wahid mengatakan, sejatinya luasan tanah milik Marwah adalah 1.600 meter persegi sesuai surat pembayaran pajak. Namun, hasil verifikasi BPLS dan Kepala Desa Besuki, M. Siroj, saat itu, menyusut menjadi 1.300 meter persegi. Luasan tanah milik Musriah juga diketahui menyusut, dari 1.930 meter persegi menjadi 1.500 meter persegi.

Kepada warga, Bajuri pernah menawarkan skema harga Rp 700 ribu per meter persegi. BPLS menganggap, harga ini adalah win – win solution antara warga dan petugas. “Atas arahan Bajuri, kades menyarankan harga Rp 700 ribu per meter persegi. Kami enggak mau, makanya sampai sekarang belum cair-cair,” katanya.

M. Siroj sendiri saat ini sudah menjadi tersangka terkait kasus pembayaran tanah warga korban Lapindo. Namun, dirinya mengajukan penangguhan penahanan dan kasusnya masih dalam pemberkasan di kepolisian. Sesuai Perpres, harga tanah darat senilai Rp 1 juta per meter persegi dan tanah sawah Rp 120 ribu per meter persegi.

Juru bicara BPLS, Dwinanto, mempersilahkan warga korban Lapindo yang merasa dirugikan dengan kinerja BPLS, untuk melakukan class action dan melaporkan dugaan penyimpangan anggaran negara tersebut. Tapi, ia mengingatkan bahwa setiap tahun BPK melakukan audit keuangan BPLS.

Berdasarkan hasil audit tahun 2011, kata Dwinanto, BPK memberikan penilaian wajar tanpa pengecualian. Disinggung keberadaan Bajuri, ia menegaskan yang bersangkutan tidak bekerja lagi di BPLS. “Dia dikembalikan ke Pemprov Jatim, sudah habis masa tugasnya. Silahkan warga melaporkan dugaan itu,” katanya saat dihubungi Tempo.

© DIANANTA P. SUMEDI | tempo.co | 25 Mei 2013


Translate »