Sukarnya Hidup Sukari


Sukari (70) asal Desa Kedungcangkring (utara) sekarang menempati rumah dari sisa bangunan yang sudah dibongkar, atau lebih tepatnya bekas dapur rumah warga Kedungcangkring. Dulu Sukari punya tanah warisan dari orang tuanya seluas 7X10 m di atasnya berdiri rumah kecil yang di tempati sendirian. Sukari tidak beristri juga tidak punya anak.

Rumah Sukari merupakan salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai area wilayah terdampak yang diatur dalam Perpres 48 Tahun 2008. Artinya, setelah proses jual-beli, rumah Sukari harus dibongkar. Namun, Sukari tidak mendapatkan uang yang cukup untuk pindah dan membangun rumah baru.

Seluruh hasil jual beli tanah dan rumah dikuasai adiknya. Sukari hanya diberi satu juta rupiah. Menurut sang adik, tanah dan rumah Sukari itu sudah pernah dijual sejak orang tuanya masih hidup. Ketika Sukari bertanya tentang bagiannya atau hak warisnya, dengan enteng adiknya menjawab, “gampang kamu ikut aku saja.”

Sukari sadar akan sifat adiknya yang sejak dari dulu selalu menang sendiri. Dia enggan ribut-ribut. Akhirnya Sukari memilih mengalah dan rela bertahan hidup di antara puing-puing bongkaran rumah. Di sekeliling rumah itu terdapat pohon keres dan sisa rumpun bambu yang berfungsi sebagai tempat berteduh.

Lokasi rumah Sukari sepi. Di sebelah gubuknya berjajar nisan-nisan tak beraturan. Ya, di situlah lokasi pemakaman warga Kedungcangkring utara yang sekarang sudah ditinggalkan.

Untuk bertahan hidup Sukari menanam berbagai sayuran yang ditanam di sela-sela reruntuhan bangunan. Sukari tidak senang kalau diajak bicara tentang Lapindo. Apalagi jika menjurus ke hak-haknya yang hilang. Dia berusaha melupakan sejarah kelam sebagai korban Lapindo.


Translate »