Kesulitan Biaya Pendidikan, Anak Korban Lapindo Terancam Dikeluarkan


Sidoarjo, korbanlumpur.info | Sudah lebih dari tujuh tahun kasus Lumpur Lapindo berlangsung. Pihak Lapindo Brantas, Inc yang seharusnya bertanggungjawab melunasi sisa ganti rugi korban yang termasuk dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 tidak menyelesaikan kewajibannya. Bahkan negara, yang seharusnya menjamin hak-hak pendidikan anak-anak, tidak hadir menyelesaikan persoalan yang membelit warga.

Setidaknya apa yang dialami Indah Susanti, salah satu anak korban Lapindo dari Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, bisa menggambarkan ketiadaan tanggung jawab para pihak tersebut. Ia sedang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) PGRI 5 Sidoarjo terancam dikeluarkan dari sekolah lantaran siswa kelas tiga ini belum bisa membayar daftar ulang sebesar 650 ribu rupiah dan tunggakan dua bulan SPP sebesar 600 ribu.

Menurut ibunya, Satumi (52 Tahun), anaknya sejak masuk kelas tiga pada bulan Agustus 2013 belum bisa melunasi tunggakan biaya sekolah. Ia yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Porong hanya berpenghasilan pas-pasan dan tidak cukup membiayai sekolah anaknya. Tumi, panggilan kesehariannya, mengandalkan pembayaran cicilan ganti rugi dari Lapindo. Padahal cicilan ganti rugi dari Lapindo yang seharusnya dibayar per bulan tidak sekalipun dibayarkan pada tahun 2013 ini.

“Jum’at kemarin anak saya pulang pagi dan menangis. Katanya mau dikeluarkan dari sekolah kalau tidak segera melunasi tunggakannya. Saya bingung apalagi ganti rugi belum juga keluar,” cerita Tumi.

Tumi yang anggota kelompok belajar Ar-Rohma, kelompok perempuan para korban Lapindo, mendiskusikan persoalan yang ia hadapi dengan anggota lain kelompok itu. Pada Sabtu (31/8) ditemani Harwati, kordinator Ar-Rohma, ia menemui kepala sekolah SMK PGRI 5 untuk meminta keringanan biaya. Namun, upaya yang dilakukan tak menemukan solusi yang meringankan untuknya. Pihak sekolah tidak mau tahu persoalan kesulitan biaya yang dialaminya. Pihak sekolah hanya memberi batas waktu sampai tanggal 30 September 2013 kepada Susanti untuk melunasi tunggakan.

“Saat menemui pihak sekolah, mereka malah memberikan pilihan berhenti sekolah atau melunasi biaya tunggakan. Padahal kami hanya meminta waktu sampai cicilan ganti rugi dari Lapindo dibayar. Tapi lha kok malah hanya dikasih waktu sampai bulan depan. Kalau tidak bisa melunasi, Susanti akan dikeluarkan,” kata Harwati.

Harwati menyesalkan pernyataan dari pihak sekolah yang hanya memberikan batas waktu sampai akhir bulan September 2013 untuk melunasi tunggakan biaya. Padahal jika dicermati, rincian biaya daftar ulang yang tertunggak itu ternyata untuk biaya kaos olahraga, atribut sekolah, dan SPP bulan Juli. Seharusnya pihak sekolah bisa memberikan keringanan atau mendapatkan kelonggaran waktu sampai Tumi memeiliki biaya untuk membayar.

“Bu Tumi ini kan janda, dia cuma mengandalkan dagang sayur di pasar. Masak tidak mendapatkan keringanan. Padahal kami sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kondisi ibu Tumi saat ini yang kesulitan keuangan,” tutur Harwati. Ia bersama kelompok Ar-Rohma masih berusaha untuk membantu persoalan yang dialami Tumi.

Dengan kondisi semacam ini, Tumi hanya bisa berharap Lapindo unuk segera melunasi sisa ganti rugi aset tanah dan bangunan warga. “Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya berharap Lapindo segera melunasi sisa pembayaran ganti rugi saya agar saya bisa membiayai sekolah anak saya,” kata Tumi dengan meneteskan air mata.

Kepada pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya, korban seperti Tumi berharap tak muluk. Mereka hanya ingin pemerintah lebih tegas kepada  perusahaan agar menepati janji, demikian halnya perusahaan untuk segera selesaikan tanggung jawab pembayaran ganti rugi. Ini semua agar pendidikan anak-anak mereka tidak terbengkalai.(Vik)


Translate »