Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan


tempo - lempar bakrie

Ribuan korban lumpur, terutama dari golongan keluarga miskin (gakin) semakin nelangsa. Mereka harus pontang-panting mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi ini terjadi karena mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Padahal ancaman kesehatan mereka semakin besar, seiring lamanya semburan lumpur Lapindo.

Harwati, korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, menyebut ada ribuan warga korban lumpur Lapindo yang tidak tercover jaminan kesehatan. “Alasan Dinas Kesehatan lucu. Kami dianggap terlambat mendaftar. Padahal kami sama sekali tidak pernah dapat sosialiasi,” kata Harwati, Senin (26/5/2014).

Perempuan 43 tahun itu mengaku sudah berjuang bersama para tetangganya sejak 2011. Ketika jaminan kesehatan masih bernama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Mulai tahun ini, jaminan kesehatan itu berganti menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Herwati menceritakan, awalnya, dia dan korban lumpur meminta didaftarkan Jamkesmas, namun gagal. Sebelumnya, nama-nama mereka juga gagal masuk ke Jamkesda dengan alasan terlambat mendaftar.

Berbagai instansi mereka datangi. Mulai dari kelurahan, kecamatan, DPRD sampai Pemkab Sidoarjo. Jawaban yang didapat Harwati sangat normatif. Isinya lebih banyak janji. Harwati menilai, janji itu sampai saat ini belum terealisasi.

Beberapa warga memang kemudian  mengurus surat keterangan miskin (SKTM) ke kelurahan. Surat ini bisa menjadi pengganti bagi warga miskin yang tidak memiliki kartu Jamkesmas untuk mendapatkan pengobatan gratis. Tapi tidak sedikit warga yang frustrasi karena merasa dipingpong.

“Kalau mengingat dipingpong-pingpong ini,  kami merasa kok seolah-olah orang miskin seperti kami ini dilarang sakit. Ya Allah, kok tega-teganya memperlakukan kami begitu,” tutur Herwati.

Pendataan Korban Lumpur Lapindo Awut-awutan

Cerita sedih disampaikan oleh Novik Akhmad, korban lumpur Lapindo asal Jatirejo. Dia mengeluh karena tidak pernah diikutkan dalam program jaminan kesehatan. Padahal mereka menderita karena bencana tersebut. “Dulu ada jamkesmas, ada juga jamkesda. Tapi kami tidak pernah diikutkan program itu. Padahal kami korban lumpur yang setiap hari menghirup gas beracun dari semburan lumpur,” keluh pemuda 32 tahun itu.

Novik yang merasa sangat membutuhkan jaminan kesehatan, kemudian mendaftarkan kedua orangtuanya sebagai peserta BPJS secara mandiri. Premi ditanggungnya sendiri setiap bulan, Rp 90.000.

Pemuda bertubuh kurus itu mengaku tidak memiliki uang lagi untuk menambah anggota keluarga masuk sebegai perserta BPJS. Pasalnya, untuk menambah peserta, dia harus kembali membayar premi. Untuk kelas III, premi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 25.000, sedangkan kelas II, ditetapkan Rp 45.000.

Dia menilai, pemerintah lalai dalam menjamin kesehatan warganya, terutama warga korban lumpur. Ada ribuan warga lain yang sama sekali tidak pernah tahu ada program jaminan kesehatan dari negara. Selama ini, hanya warga yang kritis saja yang mendapatkan akses informasi.

Menurut Novik, kisah pilu warga itu terjadi karena pendataan yang dilakukan terhadap korban lumpur awut-awutan.  Ia lalu merujuk data Pemkab Sidoarjo melalui Basis Data Terpadu PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial). Di situ tercatat hampir 90 persen warga korban lumpur tidak tercatat sebagai sasaran Jamkesmas atau BPJS. Bahkan di Desa Renokenongo, data rumah tangga sasaran tercatat nol persen. Padahal ada ratusan KK yang semestinya masuk kategori keluarga miskin (Gakin).

Begitu juga di Desa Jatirejo, yang tercatat sebagai penerima jaminan kesehatan cuma 31 KK. Kemudian Desa Kedungbendo hanya 6 keluarga dan Siring 36 keluarga.

“Saya tidak tahu, bagaimana pemerintah melakukan pendataan. Yang jelas, ribuan warga lain tidak pernah didata. Alasan pemerintah daerah sih warga korban lumpur hidup terpencar. Jadi mereka kesulitan mendata. Padahal, pemerintah bisa kok mendata warga saat foto dan pengurusan e-KTP lalu. Tetapi itu tidak dilakukan,” kritik Novik.

Warga korban lumpur sendiri selama ini tidak sempat mengurus masalah itu. Mereka terlalu disibukkan dengan alotnya pelunasan ganti rugi dan tempat tinggal sementara

Uang Ganti Rugi Lumpur Lapindo Sudah Habis untuk Berobat
Arrohma
Kegiatan Komunitas Arrohma

Penuturan senada  disampaikan korban lumpur lainnya, Khoiri. Sejak lima tahun silam, istrinya divonis mengidap kanker serviks. Warga asli Siring itu pun bingung bukan kepalang karena tidak memiliki ongkos untuk biaya pengobatan.

Awalnya, Khoiri bisa membiayai pengobatan istrinya dengan uang ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tahun pertama, Khoiri sudah menghabiskan Rp 100 juta. Sebagian besar uang itu dihabiskan untuk biaya kemoterapi. Kemudian dia harus menjual rumah di kawasan Pandaan.

Khoiri jatuh miskin. Dia tidak memiliki biaya untuk proses penyembuhan selanjutnya. Tabungannya saat itu hanya menyisakan Rp 5 juta. Berbagai instansi pemerintah dia datangi.

Dia hanya ingin istrinya terdaftar di dalam jamkesmas atau sejenisnya. Dia mendatangi kecamatan dan Dinkes Sidoarjo. Namun tidak ada hasil.

Oleh seorang dokter, Khoiri dan istrinya disarankan mengurus SKTM. “Alhamdulillah setelah itu kemoterapinya gratis,” kata Khoiri. Namun dia tetap harus menyediakan uang jutaan rupiah untuk menebus obat yang tidak masuk dalam daftar tanggungan negara. Meski begitu, dia bersyukur nyawa istrinya tertolong.

Saat ini, kondisi istrinya sudah membaik. Tapi masih kontrol ke dokter. Nah untuk kebutuhan kontrol ini Khoiri merasakan sulitnya hidup tanpa jaminan kesehatan. Ia terpaksa telat tiga bulan dari jadwal kontrol yang ditentukan dokter.

Tiap kontrol, Khoiri harus mengeluarkan minimal Rp 500.000. Butuh waktu dan kerja keras untuk mengumpulkan uang itu. Ia harus menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai kuli bangunan yang memang tidak seberapa. Apalagi pekerjaan kuli bangunan itu tidak selalu ada.

Biasanya, bila sedang tidak order bangunan, Khoiri mencoba menganis rejeki dengan mengojek. Itupun dilakukan dengan was-was karena kondisi kesehatan Khoiri sendiri rawan gangguan. Dua kali kecelakaan saat nguli menjadi penyebab. Dokter menyarankan agar dia tidak bekerja terlalu berat. “Saya hampir mati karena terlindas truk saat nguli,” ujarnya lirih.

Khoiri sangat berharap, ia dan keluarga terdaftar sebagai peserta BPJS.

Dinas Kesehatan Tak Tahu Jumlah Warga Lapindo yang Terdaftar

Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sidoarjo, Ika Harnasti mengaku tak tahu persis jumlah warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang telah terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Menurutnya, data tersebut sepenuhnya ada di tangan BPJS Kesehatan sendiri. “Saya hanya PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) untuk Dinas Kesehatan yang tugasnya untuk pemberian pelayanan kesehatan saja,” kata Ika, Kamis (27/5/2014).

Dia hanya memastikan, untuk korban lumpur yang memang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau dinyatakan miskin, biaya pengobatannya akan ditanggung oleh pemerintah.

Terkait syarat kepesertaan BPJS Kesehatan bagi korban lumpur Lapindo, juga tidak ada perbedaan dengan syarat kepesertaan masyarakat yang lain.

Yang paling utama, dalam BPJS, penyakit-penyakit atau bahaya kesehatan yang termasuk dalam KLB atau kejadian luar biasa, tidak dicover. Dengan demikian, untuk penyakit-penyakit yang tergolong KLB, sepenuhnya menjadi beban pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Sidoarjo.

“Dan kalau memang belum terdaftar ke dalam BPJS, harus dilihat dulu apakah yang bersangkutan tergolong mampu atau tidak. Kalau mampu, pengobatan di puskesmas ya bayar. Sebaliknya kalau tidak mampu, ya gratis,” lanjutnya

DPRD Sidoarjo Minta Data Keluarga Miskin Dimutakhirkan

Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung mengakui memang ada banyak warga korban lumpur yang tidak tersentuh jaminan kesehatan yang diselenggarakan negara. Penyebabnya, tidak semua dari mereka yang menyandang status miskin. Padahal, status miskin itu menjadi syarat mutlak mendapatkan jaminan dari negara.

“Kan tidak semua warga korban lumpur itu miskin. Jadi perlu ada pendataan yang selektif untuk menentukan siapa yang berhak,” ujarnya.

Mahmud menjelaskan, penyelenggarakan jaminan kesehatan oleh BPJS itu ada dua model, yakni mandiri dan dibiayai negara. Untuk kategori kedua, hanya warga berstatus miskin saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan yang tidak termasuk miskin, harus atas biaya sendiri. “Jadi ada kok warga (korban lumpur) yang mendaftar BPJS mandiri,” kata dia.

Terkait upaya memberikan jaminan kesehatan itu, lanjut Mahmud, pihaknya sudah mempertemukan warga korban lumpur dengan Dinkes serta Bappeda Kabupaten Sidoarjo.  Namun, kata Mahmud, tidak bisa kemudian mengintervensi data penerima BPJS yang dimiliki BPLS. Sebab, data penerima jaminan dari negara itu merupakan domain Badan Pusat Statistik (BPS).

Mahmud mengkritik cara pendataan keluarga miskin korban lumpur Lapindo. Pendataan oleh BPS itu dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur di Sidoarjo.

Menurut Mahmud, pendataan dan perumusan kriteria miskin untuk korban lumpur itu seharusnya dilakukan tim terpadu, gabungan dari BPS, Pemkab Sidoarjo,  kelurahan, dan perwakilan warga.

Data miskin itu, lanjut Mahmud, seharusnya diupdate terus. Sebab, warga miskin untuk korban lumpur Lapindo bersifat dinamis.

Dia mencontohkan, ada warga yang sebelum terjadi tragedi lumpur, termasuk warga mampu. Namun, setelah  terjadi semburan lumpur, menjadi miskin. Ada juga warga yang masuk kriteria kaya setelah menerima ganti rugi dari Lapindo, tapi kemudian jatuh miskin karena membengkaknya kebutuhan hidup. “Inilah yang perlu selalu dilihat dan diantisipasi,” tuturnya.

Pendataan terakhir dilakukan pada 2011. Padahal, saat itu sudah banyak warga miskin korban lumpur yang tidak tercover jaminan kesehatan, yang saat itu masih bernama Jamkesmas.  “Kami meminta agar ada pemutakhiran data dalam waktu dekat,” tegasnya.

Informasinya, pada 2014 ini akan ada pendataan ulang. Dia berharap Pemkab Sidoarjo mendorong BPS agar lebih teliti dalam mendata warga korban lumpur. Dia menilai, permasalahan di sana tidak sama dengan daerah lain yang juga menjadi obyek pendataan.

Permasalahan lain yang dianggap menyulitkan pendataan adalah tersebarnya domisili warga korban lumpur.  “Masalah ini memang sangat teknis. Tetapi, mereka kan tetap warga Sidoarjo meskipun tinggal di daerah lain. Apalagi, mereka tidak akan melepas status warganya karena masih terkait dengan proses ganti rugi,” ungkap politikus PAN itu.

Untuk sementara, Mahmud menyarankan agar warga menggunakan SKTM untuk mendapatkan layanan kesehatan. Layanan kesehatan juga bisa dilakukan di puskemas.

Korban Lumpur Lapindo Bertahan dengan Jimpitan Sehat

Para korban lumpur Lapindo terus berharap bisa menikmati layanan  kesehatan gratis dari negara yang kini ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tapi, karena tidak mau mati dalam ketidakpastian, mereka membentuk lembaga pendanaan mandiri, Jimpitan Sehat.

Komunitas Ar-Rohma membuat terobosan dengan menggarap model pendaanaan swadaya untuk membantu biaya pengobatan. Tidak besar memang dana yang bisa dibagikan, tapi manfaatnya cukup dirasakan para anggota komunitas itu.

Ar-Rohma beranggotakan korban lumpur dari empat desa,  Jatirejo, Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo, yang lenyap terkubur lumpur Lapindo.

Dana pengobatan itu mereka namakan dana Jimpitan Sehat. Sesuai namanya, dana itu mereka ambil kecil-kecilan secara rutin dari para anggotanya. “Kami bertemu dua minggu sekali. Nah di pertemuan itu, ada jimpitan lima ribu rupiah. Namanya Jimpitan Sehat,” kata Saropah, Selasa (27/5/2014).

Saropah dulu tinggal di  Jatirejo. Tapi sejak 2006, ia harus membawa keluarganya mengungsi setelah rumahnya terkubur lumpur.

Saropah kini tinggal di Pasuruan bersama suami dan tiga anaknya. Meski tinggal di Pasuruan, Saropah dan suaminya, Sulastro, setiap hari tetap bertandang ke lokasi lumpur Lapindo.  Hidupnya masih bergantung di desa kelahirannya itu. Bedanya dulu, hidupnya bergantung  pertanian sawahnya, kini bergantung pada wisatawan lumpur Lapindo. Persisnya, jasa ojek untuk melayani pengunjung lumpur. Kalau beruntung, rezekinya bisa bertambah lewat VCD lumpur yang ia jajakan untuk pengunjung.

Beberapa kali Saropah terbantu  Jimpitan Sehat itu. Itu ia rasakan  ketika melahirkan anak ketiganya. Juga ketika seorang anaknya harus berobat di puskesmas. Satu lagi, manfaat jimpitan kesehatan itu dirasakan ketika orangtuanya meninggal. Ya, Jimpitan Sehat juga mengcover biaya kematian.

“Bantuannya memang ala kadarnya. Tetapi itu cukup membantu meringankan kami. Setidaknya bisa buat beli obat atau buat transport saat berobat,” ujarnya

Sulit Peroleh Layanan Kesehatan, Korban Lapindo Dilarang Sakit

kerajinan 06

Di Komunitas Ar Rohmah, lanjut Saropah, selain terdapat penghimpunan Jimpitan Sehat, juga telah dibentuk koperasi kecil-kecilan. Di koperasi itu, para anggota yang berjumlah sekitar 30 orang, bisa meminjam uang sewaktu-waktu saat benar-benar membutuhkan.

Ketua Komunitas Ar Rohmah, Harwati (39), menyebutkan, komunitas yang dia kawal itu saat ini lebih fokus pada upaya penanganan kesehatan dan ekonomi korban lumpur Lapindo yang menjadi anggota. Selain melalui Jimpitan Sehat dan koperasi, di komunitas tersebut para anggota juga kerap menggelar pelatihan usaha.

“Ada pelatihan membuat kerajinan tangan seperti menyulam dan merajut. Hasilnya beberapa kali kami ikutkan pameran dan dijual. Keuntungannya juga buat anggota,” papar Harwati.

Upaya Harwati mendorong perbaikan kesehatan warga korban lumpur Lapindo di Komunitas Ar Rohmah didorong masih banyaknya korban yang belum dimasukkan dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) sehingga menyebabkan mereka kesulitan memperoleh layanan BPJS Kesehatan.

Harwati sendiri mengaku terinspirasi dari perjalanan hidupnya. Tahun 2008 silam, warga Siring yang kini hijrah ke Desa Candipari tersebut kehilangan suaminya, Muhtadi, karena kanker ulu hati. Saat meninggal, Muhtadi berusia 42 tahun.

Kematian Muhtadi sempat menyisakan kenangan pahit bagi Harwati. Sebelum meninggal, RSUD Sidoarjo menolak merawat Muhtadi. Alasannya, Lapindo Brantas belum menyelesaikan tunggakan ke RS. Padahal, satu-satunya kesempatan berobat ketika itu adalah menggunakan bantuan pengobatan yang diberikan Lapindo.

“Dari kejadian itu, saya sering kali kesal kalau mendengar ada orang miskin yang kesulitan dapat pengobatan. Kesannya seperti orang miskin memang benar-benar dilarang sakit,” pungkasnya.

sumber: Liputan Khusus Harian Surya

Translate »