Teror Lapindo


Oleh: Anton Novenanto (http://novenanto.lecture.ub.ac.id/teror-lapindo/)

Bagi para peneliti yang mendalami kasus Lapindo –setidaknya saya–, artikel pendek Gregory Forth (“Heads under bridges or in mud. Reflections on a Southeast Asian “diving rumor”, 2009) mungkin sepintas tidak menarik ataupun relevan bagi perkembangan kasus tersebut. Namun, membaca ulang artikel tersebut, saya semakin terbuka dalam melihat sebuah fenomena baru yang saat ini sedang berkembang di Indonesia, yaitu bagaimana kasus Lapindo telah meninggalkan jejak bagi persoalan budaya tidak hanya di Porong, Sidoarjo, namun juga di segala penjuru Indonesia.

Berburu kepala manusia untuk lumpur Lapindo

Dalam artikelnya, Forth mengangkat tema rumor yang menyebar dalam masyarakat terkait dengan proyek pembangunan (modernisasi); bahwa dalam setiap pembangunan bangunan modern (jembatan, bendungan, dan, termasuk juga, gereja) membutuhkan kepala manusia, khususnya anak-anak, sebagai tumbal yang ditaruh sebagai pondasi dari struktur bangunan agar kuat dan bertahan lama. Rumor semacam ini, bahwa pembangunan membutuhkan tumbal manusia, menurut catatan Forth, juga menjadi tradisi di Eropa.

Rumor telah menjadi perhatian Forth sejak lama. Namun, pada musim panas 2008, ketika Forth berkunjung ke Flores, tempatnya melakukan penelitian sejak 1984, dia terkesima dengan kemunculan sebuah rumor yang menyebar di sana tentang kebutuhan kepala anak-anak untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo di Jawa Timur. Jumlah yang dibutuhkan, menurut rumor itu, adalah ribuan dan hal itu menimbulkan ketakutan pada orangtua maupun anak-anak di Flores. Setiap harinya, para orangtua selalu mengawasi anak-anak mereka (sekolah, bermain) agar mereka tidak menjadi sasaran penculikan dan tumbal untuk menutup semburan lumpur Lapindo. Menurut catatan Forth, rumor serupa juga sempat menyebar di Sumba, Bali dan Kalimantan.

Forth mencatat beberapa perbedaan antara rumor kepala manusia untuk lumpur Lapindo dan rumor kepala manusia untuk proyek pembangunan yang biasa beredar di Flores. Dalam rumor terkait lumpur Lapindo relasi yang muncul adalah bipartit –Jawa dan non-Jawa (Flores)–, sementara dalam rumor pembangunan biasa relasinya adalah tripartit –orang asing (Eropa), orang lokal (Flores), dan pekerja bangunan (biasanya datang dari Jawa). Dalam rumor terkait pembangunan biasa, diceritakan bahwa pelaku penculikan adalah para pekerja proyek pembangunan (yang kebanyakan adalah orang Jawa itu).

Dalam pandangan Forth, relasi yang terbangun dalam rumor terkait kasus Lapindo yang beredar di Flores itu bukanlah sekadar relasi antara Jawa dan non-Jawa (Flores), namun lebih pada relasi antara mereka dan “negara” (atau “negara yang Jawa-sentris”). Diceritakan tentang adanya sekelompok “ninja” dari Jawa yang sengaja pergi ke Flores untuk mencari anak-anak non-Jawa untuk diambil kepalanya. Menurut rumor itu, kepala anak-anak Jawa tidak lagi efektif untuk dijadikan tumbal menutup semburan itu. Bila dalam rumor perburuan kepala sebelumnya anak-anak itu diculik dulu baru dipotong kepalanya, untuk kasus Lapindo diceritakan bahwa para ninja ini langsung membunuh anak-anak itu dan memotong kepala mereka seketika itu juga. Pada saat yang sama, BPLS juga berusaha menutup semburan dengan “bola-bola beton,” yang, lagi-lagi, menyerupai kepala manusia.

Rumor dan teror

Apa relevansi kisah tentang rumor pencarian kepala manusia itu di Flores tersebut dengan perkembangan kasus Lapindo di Indonesia sekarang ini? Belajar dari catatan Forth tersebut, kejadian lumpur Lapindo telah membuat orang Flores melakukan modifikasi atas rumor bahwa kepala manusia tidak hanya berguna dan dibutuhkan demi kelancaran proyek pembangunan (modernisasi), namun juga untuk menghentikan bencana lingkungan – lumpur Lapindo yang disebabkan oleh proyek pembangunan (pertambangan).

Yang menarik bagi saya, tentu saja, bukanlah kadar kesahihan dari informasi yang inheren dalam rumor tersebut, namun lebih pada bagaimana rumor telah menjadi, apa yang disebut Michel Foucault (1972) sebagai, “wacana” yang menggerakkan dinamika sosial. Sebagai wacana, rumor telah menjadi struktur kuasa yang mengatur tindakan sekelompok manusia (Wolf 1999), dalam kasus ini para orangtua di Flores untuk mengawasi anak-anak mereka dari ancaman para ninja imajiner dari Jawa. Artikel Forth tersebut menunjukkan pada kita bahwa ada persoalan yang hegemonik, laten, dan kultural dari kasus Lapindo, yang bisa jadi lebih serius ketimbang semburan lumpur dan usaha mitigasi terhadapnya. Persoalan itu tidak hanya menyerang para korban ataupun orang yang tinggal di sekitar semburan di Porong, tapi juga menghinggapi bangsa Indonesia.

Rumor, yang disertai dengan kepanikan, merupakan sebuah manifestasi rasa cemas dari sekelompok masyarakat terhadap sebuah perubahan yang akan terjadi pada mereka (Semedi 2014). Inheren dalam setiap rumor adalah ketidakpastian. Panik, menurut Enrico Quarantelli (1954), adalah perilaku yang menyertai suatu kondisi ketidaktahuan tentang apa yang bakal terjadi itu dan oleh karenanya perilaku macam ini biasanya “non-sosial” (dalam artian, lebih berorientasi pada menyelamatkan diri sendiri) dan “non-rasional” (dalam artian, lebih dilakukan secara spontan). Akan tetapi, nalar reflektif manusia modern telah membuka sebuah horizon tentang resiko-resiko yang inheren dalam setiap tindakan rasional manusia untuk mengatasi ancaman masa depan (Beck 1992). Alih-alih digerakkan oleh kepanikan, dinamika masyarakat semacam ini lebih diwarnai oleh pelbagai macam kecemasan yang muncul akibat mereka mengetahui apa yang bakal terjadi pada hidup mereka, sekalipun pengetahuan itu sifatnya hanya kalkulasi prakiraan semata. Oleh karena itu, kecemasan akan memicu perilaku-perilaku yang sosial (berorientasi pada orang lain), rasional (terukur, terencana, memperhitungkan untung/rugi), dan, dalam banyak kasus, sangat politis (memanipulasi perilaku orang lain).

Efek Lapindo

Menurut catatan BPK-RI (2007), kalkulasi ekonomi kerugian setahun pertama akibat semburan lumpur Lapindo telah mencapai angka 30 triliun rupiah. Untuk menangani itu, sampai tahun anggaran 2012 berakhir, BPLS telah menyedot uang APBN sebesar 3,5 triliun rupiah, yang sebagian besar habis untuk mengatasi semburan, merelokasi jalan, dan membeli aset korban “di luar peta.” Jumlah itu belum termasuk uang yang sudah dikeluarkan oleh Lapindo untuk biaya mitigasi awal dan pembayaran aset korban “di dalam peta.” Sampai Desember 2013, menurut catatan yang termuat di website BPLS (bpls.go.id, diakses terakhir 3 Juli 2014), Lapindo sudah menyelesaikan hampir 80 persen dari pembayaran pada korban, dengan nominal sebesar 3,049 triliun rupiah. Di luar itu, Lapindo sudah mengucurkan uang lebih dari 3 triliun rupiah untuk membiayai usaha awal mitigasi semburan lumpur yang dilakukan oleh Timnas PLPS (Lapindo Brantas 2011).

Bagi warga Sidoarjo, kasus Lapindo telah meninggalkan trauma mendalam, mengingat dampak sosial-ekologi yang ditimbulkan oleh semburan lumpur itu cukup dahsyat. Selain itu, kecemasan warga tekait dengan resiko yang terkandung dalam sebuah gununglumpur (mud-volcano), seperti: tanah ambles dan retak (Abidin et al. 2008), kandungan logam berat dalam lumpur (Juniawan et al. 2012), endapan lumpur di Kanal Porong dan Selat Madura (Karyadi et al. 2012), gas hidrokarbon yang keluar bersamaan dengan semburan lumpur (Nusantara 2010), ataupun tanggul jebol. Semburan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti melahirkan pertanyaan tentang kemungkinan perluasan dampak sosial-ekologis dari lumpur Lapindo.

Kasus Lapindo, sekalipun diklaim tidak akan mempengaruhi posisi Aburizal Bakrie dan Partai Golkar dalam kancah politik nasional, rupanya cukup signifikan dalam mempengaruhi kegagalan pencalonan Aburizal sebagai calon presiden dari Partai Golkar dalam pemilihan presiden tahun ini (sesuatu yang sudah banyak diprediksikan oleh banyak kalangan). Kasus Lapindo telah menjadi “dosa politik yang tak termaafkan” dari Aburizal, sehingga tidak ada partai politik yang menginginkan koalisi dengan Partai Golkar jika tetap mengajukan ketua umumnya itu untuk maju sebagai kandidat calon presiden. Partai Golkar pun harus masuk dalam koalisi Partai Gerindra untuk mencalonkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden tahun ini. Disebutkan, jika pasangan ini memenangkan pemilihan presiden, maka Aburizal akan mendapatkan posisi sebagai “menteri utama” dalam kabinet mereka. Tentu saja, transaksi politik semacam ini juga berarti atribusi “dosa politik” Aburizal terkait kasus Lapindo pada pasangan tersebut.

Terganjal Lapindo
Terganjal Lapindo

Wacana “Lapindo”

Kasus Lapindo telah memaksa para pejabat pemerintah, dari level kepala desa sampai menteri, dan petinggi Lapindo, untuk berpikir keras dalam menyusun strategi politis untuk saling menyelamatkan diri dari ancaman pidana dan hukum. Salah satu yang paling mengancam adalah, tentu saja, perihal ijin dan pemboran non-prosedural Sumur Banjar Panji 1. Berdasarkan catatan tim dari BPK-RI, ijin pemboran Sumur Banjar Panji 1 telah melanggar beberapa aturan hukum tentang pertambangan dan juga peraturan daerah tentang tata ruang Kabupaten Sidoarjo, serta proses pemboran sumur tersebut dilakukan tanpa pengawasan ketat dari badan pemerintah manapun, khususnya BP Migas. Hal ini tentu saja kontradiktif dengan pernyataan seorang geolog BP Migas yang mengakui bahwa Blok Brantas merupakan salah satu tempat yang potensial bagi lahirnya sebuah gununglumpur (Satyana 2007); alih-alih mengawasi ketat proses pemboran di Blok Brantas, BP Migas justru membiarkan proses itu berjalan tanpa kontrol.

Jika betul demikian, maka sanksi hukum mengancam para pejabat pemerintah tersebut. Jadi, sekalipun pada bulan Agustus 2006 Tim Investigasi –dibentuk oleh Menteri ESDM dan dipimpin oleh Rudi Rubiandini– menyatakan bahwa semburan lumpur dipicu oleh kesalahan pemboran –dan kemudian ini yang diyakini oleh publik sampai sekarang– (Rubiandini 2007; Tim Walhi 2008), para pejabat pemerintah pun mati-matian menjadi garda depan untuk meyakinkan publik bahwa semburan dipicu oleh gempabumi.

Perubahan sikap pemerintah semacam itu dan pengingkaran terhadap kecelakaan industrial justru memancing resistensi keras dari publik. Wacana bahwa lumpur Lapindo adalah bencana industri bukannya tambah surut dan hilang, namun justru semakin kuat dan meluas. Imajinasi kehancuran yang melekat dalam lumpur Lapindo – lagi-lagi, terima kasih pada media massa dan teknologi informasi – telah menyebar luas tidak hanya di seputaran Porong, tapi juga sampai ke seluruh penjuru tanah air dan telah suatu teror tersendiri bagi warga yang tinggal berdampingan dengan kegiatan pertambangan.

Di Sidoarjo, hal itu termanifestasikan dalam penolakan warga setempat terhadap aktivitas pemboran sumur baru oleh Lapindo di Kalidawir, yang masih merupakan areal Blok Brantas (ARA 2012). Bahkan, Bupati Sidoarjo Saiful Illah sempat menyatakan untuk tidak akan mengeluarkan izin pemboran baru pada Lapindo di wilayahnya selama pembayaran pada korban Lapindo masih belum tuntas (Sumedi 2013). Reaksi juga muncul di tempat lain. Di Jombang, warga menolak rencana Exxon Mobile melakukan eksplorasi di Blok Gunting (Praditya 2013). Dari Bandulan, Kabupaten Semarang, datang kabar tentang rencana eksplorasi panas bumi yang mendapat penolakan dari warga setempat (Munir 2014). Di Samarinda, warga mempertanyakan semburan lumpur yang terjadi di ladang minyak perusahaan asal Prancis, Total, di Blok Mahakam (Kaltim Pos, 16 November 2013).

Reaksi-reaksi tersebut terkait erat dengan kekhawatiran warga bahwa peristiwa semacam lumpur Lapindo di Porong juga akan melanda mereka. Selain itu, resistensi warga lokal terhadap kegiatan pertambangan juga semakin meningkat di beberapa tempat di Indonesia, seperti di Rembang, di Blora, di Urutsewu, di Mataram, di Flores, dan masih banyak yang lain. Pada saat yang sama, sekelompok organisasi non-pemerintahan menjadikan hari semburan pertama lumpur Lapindo, 29 Mei, sebagai Hari Anti-Tambang (Hantam). Setiap tahunnya, solidaritas masyarakat sipil terhadap korban Lapindo di pelbagai kota telah bertransformasi menjadi gerakan menolak aktivitas pertambangan.

Selama ini, para korban telah menjadikan tanggal 29 Mei 2006 (hari menyemburnya lumpur Lapindo) sebagai waktu sosial dan sakral dengan menggelar kegiatan-kegiatan komemoratif yang dipusatkan pada “29 Mei” setiap tahunnya. Uniknya, mereka tidak sekadar mengidentifikasi diri sebagai korban bencana lingkungan (semburan lumpur), tapi juga sebagai korban tragedi politik manusia –ketidaktegasan pemerintah dalam menangani dampak turunan dari bencana itu. Di tahun 2013 lalu, misalnya, mereka memasang monumen nisan Tragedi Lumpur Lapindo, yang tertulis:

Lumpur Lapindo telah mengubur kampung kami.

Lapindo hanya mengobral janji palsu.

Negara abai memulihkan kehidupan kami.

Suara kami tak pernah padam, agar bangsa ini tidak lupa.

Di tahun 2014 ini, tema yang diangkat dalam rangkaian peringatan semburan adalah “Saatnya tenggelamkan sang raksasa lumpur Lapindo,” yang secara lugas menyerang Aburizal Bakrie dan Partai Golkar yang dipimpinnya.

Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)
Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)

Jika rumor pencarian kepala anak di Flores untuk menutup semburan lumpur Lapindo –terlepas benar atau salah– telah memancing reaksi para orangtua, maka imaji kehancuran lingkungan dan ketidakbecusan politik bencana oleh pemerintah telah memicu tindakan masyarakat dalam bersikap terhadap pemerintah dan industri tambang di Indonesia. Rentetan peristiwa tersebut, tentu saja, merupakan bukti bahwa kasus Lapindo telah menjadi sebuah struktur kuasa yang tidak hanya mengatur perilaku masyarakat, tapi juga menteror siapa saja yang tinggal di republik ini.

Pustaka acuan

Abidin, H. Z., R. J. Davies, M. A. Kusuma, H. Andreas & T. Deguchi 2008. Subsidence and uplift of Sidoarjo (East Java) due to the eruption of the Lusi mud volcano (2006 – present). Environmental Geology.

ARA 2012. Warga masih trauma; Lapindo: “well test” bukan pengeboran sumur gas. Kompas, 26 Mei, h. 21.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2007. Laporan Pemeriksaan atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan.

Beck, U. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity (trans M. Ritter). London, Newbury Park, New Delhi: Sage Publication.

Forth, G. 2009. Heads under bridges or in mud. Anthropology Today 25, 3–6.

Foucault, M. 1972. The Archaeology of Knowledge (trans A. M. S. Smith). New York: Pantheon Books.

Juniawan, A., B. Rumhayati & B. Ismuyanto 2012. The effect of carbon organic total and salinity on the discharge of heavy metals Pb and Cu in Lapindo mud into the Aloo River.Journal of Pure and Applied Chemistry Research 1, 41–50.

Karyadi, Soegiarto & A. Harnanto 2012. Pengaliran Lumpur Sidoarjo ke Laut Melalui Kali Porong. Malang: Bayumedia Publishing.

Lapindo Brantas 2011. Social Impact Report: Sidoarjo Mud Volcano. Jakarta.

Munir, S. 2014. Eksploitasi geotermal Gedong Songo; Warga dihantui trauma Lapindo. Kompas.com, 3 Juni (available on-line: http://regional.kompas.com/read/2014/06/03/0920383/Ekpsloitasi.Geothermal.Gedong.Songo.Warga.Dihantui.Trauma.Lapindo.).

Nusantara, B. C. 2010. Empat tahun janji tak pasti. Jurnal Dinamika HAM 10, 105–121.

Praditya, I. I. 2013. Trauma lumpur Lapindo hambat eksplorasi migas di Jatim. Liputan6.com15 November (available on-line: http://bisnis.liputan6.com/read/747016/trauma-lumpur-lapindo-hambat-eksplorasi-migas-di-jatim?wp.trkn).

Quarantelli, E. L. 1954. The nature and conditions of panic. The American Journal of Sociology 60, 267–275.

Rubiandini, R. 2007. Kejadian dan Penanggulangan Semburan Lumpur di Sekitar Sumur Banjarpanji-1 Lapindo Brantas Inc. Bandung.

Satyana, A. H. 2007. Bencana geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: hipotesis erupsi gununglumpur historis berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; folklor Timun Mas; analogi erupsi LUSI; dan analisis geologi depresi Kendeng, delta Brantas. In The 36th IAGI, The 32th HAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and Exhibition. Bali.

Semedi, P. 2014. Palm oil wealth and rumour panics in West Kalimantan. Forum for Development Studies 1–20 (available on-line: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08039410.2014.901240).

Sumedi, D. P. 2013. Pemkab Sidoarjo belum izinkan Lapindo ngebor lagi. Tempo.co, 11 September (available on-line: http://www.tempo.co/read/news/2013/09/11/206512392/Pemkab-Sidoarjo-Belum-Izinkan-Lapindo-Ngebor-Lagi).

Tim Walhi 2008. Kejadian dan penanggulangan semburan lumpur Lapindo Brantas Inc. In Lapindo: Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi (ed) D. Setiawan, 1–37. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

Kaltim Pos, 2013. Total yakin tak seperti Lapindo, 16 November (available on-line: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/41047/total-yakin-tak-seperti-lapindo.html.

Wolf, E. R. 1999. Envisioning Power: Ideologies of Dominance and Crisis. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.


Translate »