Dan Kau Dekatkan Kematian yang Belum Ditakdirkan Tuhan


Mutiara Andalas, SJ 

Membaca kisah-kisah mengenai tragedi lumpur, saya menemukan narasi dominan dengan pengisah korporasi Lapindo. Sumber kisahnya bencana alam lumpur panas di Sidoarjo. Untuk memberi bobot pada kisahnya, korporasi Lapindo meminjam tutur akademisi, bahkan ilmuwan geologi untuk menjelaskan sebab tragedi. Pengeboran gas korporasi Lapindo bukan penyebab tragedi lumpur panas di Sidoarjo. Pengisah menjauhkan tragedi ini dari korporasi Lapindo. Ia mengoreksi kabar miring di tengah masyarakat bahwa kecerobohan korporasi Lapindo dalam mengebor gas alam menyebabkan tragedi lumpur panas. Kalaupun terdapat hubungan antara korporasi Lapindo dan tragedi lumpur panas, menurut pengisah, pemilik korporasi Lapindo tergerak hatinya kepada korban lumpur dengan membeli lahan mati mereka setelah tragedi. Dengan menampilkan pemilik korporasi sebagai sosok yang peduli dengan korban bencana alam lumpur panas, pengisah mendorong pendengar untuk melihat keserupaannya dengan sosok historis raja Airlangga. Membangun kembali kerajaan dari puing-puing reruntuhan, Airlangga menghadirkan ‘kahuripan nirwana’ di bumi Sidoarjo. Jauh dari berlebihan, menurut pengisah, khalayak publik memandang pemilik korporasi Lapindo yang menghadirkan kehidupan surgawi di bumi Sidoarjo pasca tragedi lumpur panas sebagai Airlangga baru.

Di tengah dominannya narasi tragedi versi korporasi Lapindo, manusia lumpur mencari ruang bicara dan menciptakan ruang perlawanan. Anak-anak manusia lumpur menyeruak sebagai subyek baru yang mengisahkan tragedi. Mereka sejatinya telah bersuara, tetapi kita mengabaikan ratapan mereka sebelumnya. Ketika korporasi Lapindo membela diri dengan suara parau sebagai bersih dalam tragedi lumpur panas, anak-anak manusia lumpur memperlihatkan tangan Lapindo yang berlumur kejahatan. Meskipun penguasaan bahasa mereka masih terbatas, mereka artikulatif mengisahkan tragedi lumpur Lapindo. Tanpa ketakutan, apalagi keraguan, telunjuk dakwaan mereka mengarah pada korporasi Lapindo sebagai pengrusak kehidupan mereka. Bahkan, Daniati dalam puisi Lapindo, memandang Lapindo berperilaku seolah-olah dirinya Tuhan yang menggariskan takdir kehidupan, termasuk merenggut kehidupan mereka secara dini.

Dan kau dekatkan kematian
Yang belum ditakdirkan Tuhan
Wahai semburan Lumpur Lapindo
Mengapa kau telah tiba
Dan muncul di kehidupan kami
Kau telah merusak kebahagiaan kami

Materi utama pengisahan tragedi perspektif manusia lumpur adalah kumpulan puisi anak-anak berjudul Lumpur Masih Menggila Dengarkan Anak-anak Bercerita! (2012). Tanpa mengabaikan kajian sastra yang lebih sistematik untuk membedah puisi-puisi mereka, saya memilih menerapkan pendekatan afektif, yaitu membaca puisi-puisi itu secara empatik dan memperhatikan bagian-bagian dari puisi yang menyentuh hati. Kisah-kisah mereka potensial menghantar khalayak pembaca pada kisah yang mendalam mengenai tragedi lumpur panas Lapindo. Mereka mengisahkan putusnya hubungan warga dengan kampung halaman dan antarwarga. Berhadapan dengan korporasi Lapindo yang secara sistematik menenggelamkan kisah tragedi perspektif manusia lumpur dan cuci tangan dari tanggung jawab terhadap mereka, puisi anak-anak lumpur Lapindo memiliki kandungan subversif, lebih lanjut liberatif. Puisi-puisi mereka merupakan perlawanan terbuka terhadap narasi Korporasi yang memungkiri kebenaran. Puisi-puisinya memiliki nada kemendesakan dan tuntutan kepada korporasi Lapindo untuk segera ambil tanggung jawabnya. Menjelang Pilpres 2014 yang sudah di pelupuk mata, narasi anak-anak lumpur Lapindo dapat mencelikkan penglihatan publik akan paras sesungguhnya dari seorang kandidat presiden yang mangkir dari tanggung jawab terhadap korban lumpur Lapindo.

Berteologi dari Lumpur

Rumah menjadi awalan bagi anak-anak untuk mengisahkan tragedi lumpur Lapindo. Ia bukan sekedar ruang meneduhkan badan. Karena memberikan keberakaran, kehilangan rumah bagi anak-anak manusia lumpur berarti dicerabut paksa keberakaran mereka. Menyimbolkan kebahagiaan, bahkan kahuripan nirwana meminjam kosakata pujangga pada era Airlangga, kehilangan rumah berarti meraibkan secara paksa kebahagiaan mereka. Halaman terhubung dekat sekali dengan rumah adalah halaman. Beragam tanaman dan satwa piaraan hidup terkait dengan pemeliharanya. Melampaui sebagai ruang bermain, anak-anak menjadikan halaman sebagai ruang kehidupan sebagaimana rumah. Mereka juga melihat halaman sebagai ruang kehidupan bagi beragam tanaman dan satwa piaraan. Di halaman semua ciptaan Allah hidup bersama secara harmonis sebagai komunitas ciptaan. Bahkan, ciptaan manusia mengakui ketergantungannya pada ciptaan-ciptaan lain. Penulis kitab Kejadian melukiskan harmoni antarciptaan itu sebagai Firdaus. Dalam puisi Lumpur Lapindo, Nurul Huda memandang halaman rumahnya sebagai surga.

Rumah yang dulu indah yang kini tenggelam
Sekolah, masjid, balai desa juga rata
Jalan pun tak lagi bisa digunakan
Halamanku yang dulu bagai surga
Kini telah menjadi lautan yang tak bernafas

Semburan lumpur Lapindo menenggelamkan rumah orang tua anak-anak disekitar lokasi pengeboran gas. Halaman rumah yang anak-anak seringkali memakainya untuk ruang menjalin persahabatan juga tenggelam. Anak-anak melihat perubahan air yang semula jernih menjadi keruh. Mereka mengenang kembali saat-saat mandi dengan air segar sebelum semburan lumpur Lapindo mengeruhkan, bahkan mencemarkan air di rumah. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan dasar akan minum, keluarga-keluar sekarang harus membeli air bersih. Semburan lumpur Lapindo juga merenggut kehidupan tanaman dan satwa di sekitar rumah mereka. Selain kehilangan fasilitas ruang belajar, tenggelamnya sekolah memisahkan ikatan persahabatan antaranak. Kumpulan puisi anak-anak itu menyingkap dampak lanjutan kerugian fisik, yaitu beban psikis manusia lumpur. Hubungan beberapa orang tua merenggang akibat beban berat pascatragedi. Menganggur, apalagi dalam periode yang relatif lama, karena kehilangan sawah, tambak atau penghentian hubungan kerja, dekat dengan kematian dini. Penyangga hidup bersama juga porak-poranda pascatragedi. Anak-anak hidup sekali melukiskan kerusakan fatal akibat tragedi. “Kedatangan lumpur panas Lapindo,” tutur Mauliah Rizka dalam puisi Sebuah Lautan Lumpur yang Penuh dengan Derita,” membawa kematian.” Penderitaan mereka bahkan sudah menyentuh batas saat kata-kata “duka”, “susah”, “hampa” dan “bencana” terlalu miskin untuk mengaksarakannya.

Semburan lumpur panas menenggelamkan ruang-ruang kehidupan warga. Dari rumah, halaman, sawah, sekolah, dan desa yang tenggelam, anak-anak manusia lumpur menelisik sebab semburannya. Alih-alih menyembur secara alami, sesuatu, lebih tepatnya sebuah korporasi menyebabkannya menyembur dari perut bumi. Mereka kemudian mengeja hubungan antara semburan lumpur dan korporasi Lapindo yang mengebor gas alam di lokasi semburan. “Kini semua telah hilang,” tutur M. Yusuf Afreza dalam puisi Lumpur Lapindo, “Yang nampak hanya dirimu, lautan lumpur Lapindo.” Dalam perbendhaharaan kosa kata anak-anak, semburan lumpur panas terjadi akibat ulah ‘nakal’ korporasi Lapindo, bahkan sosok Bakrie. Mereka kemudian menamai semburan itu sebagai lumpur Bakrie. Sebagaimana tuturan Putri Dwi Novita,

Enam tahun yang lalu saya masih kelas O kecil. Ada lumpur Bakrie yang nakal saya tahu itu. Karena dia sudah merusak pernafasanku. Terus dia sudah merusak jalan raya. Sekarang saya sudah tidak punya teman lagi. Semua pindah entah dimana. Harapan saya adalah lumpur Bakrie nakal harus pergi sejauh-jauhnya.

Kenakalan Bakrie mendapatkan penilaian moral dalam beberapa puisi anak-anak manusia lumpur. Mereka menanyakan hati nurani Bakrie dengan mangkirnya dari tanggung jawab terhadap warga korban. Puisi-puisi lain melintasi ranah moral dan memasuki teologi. Ketika mengambil rujukan dari perikop Kitab Suci untuk memaknai penderitaan mereka, alih-alih jelas, kabur. Ketika menemukan rumusan-rumusan teologis dalam puisi mereka yang menimbulkan kerancuan kepada kita, saya mengundang pembaca untuk kembali pada pengalaman manusiawi mereka. Cara sederhana ini membantu kita melacak pengalaman manusiawi yang kemudian mengkristal menjadi rumusan teologis mengenai tragedi lumpur Lapindo. Manusia lumpur kemungkinan besar menggunakan pengetahuan, sekurang-kurangnya kenangan atas perikop Kitab Suci yang pernah mereka dengar. Barangkali anak-anak manusia lumpur mengalami keterbatasan perbendhaharaan kata-kata dari Kitab Suci untuk mengisahkan penderitaannya. Meskipun pilihan kosa kata mereka barangkali masih jauh dari tepat, tetapi kita hendaknya mengurungkan hasrat untuk mengeja arah kata-kata mereka. Dalam puisi Lumpur Lapindo, Yolanda Olivia meraba-raba makna atas tragedi dengan kata-kata berikut. Mengerucut pertanyaan teologis yang menjadi hati tulisan.

Aku pun sejenak berpikir
Apa yang dicari bencana ini?
Apakah ini sebuah karma?
Atau sebuah bencana yang maha dahsyat?

Berlawanan tujuan penggunaan kata bagi manusia lumpur dalam perbandingan dengan penyalahgunaannya oleh korporasi Lapindo. “Kini kenangan berubah menjadi air mata,” tutur Rochiza Arddiansyah dalam puisi Tatapku, “Seuntaian kata menjadi janji-janji manis.” Selain narasi versi korporasi Lapindo, kita menyadari beredarnya semacam teologi penderitaan diantara manusia lumpur. Singkatnya, teologi ini menempatkan manusia sebagai pendosa dan memahami tragedi yang dialaminya sebagai azab illahi. Korporasi dapat menyalahgunakan teologi semacam ini untuk menutupi kejahatan, lebih lanjut membersihkan tangan kotornya. Atau, ia meminjam tangan para pemuka agama yang nota bene dekat dengan manusia lumpur untuk mengkampanyekan teologi ini. Pemuka agama menjejalkan nasehat saleh kepada mereka untuk memaknai tragedi sebagai cobaan Tuhan. Ia bungkam terhadap kejahatan korporasi Lapindo sebagai dosa berat di ruang ekonomi. Entah dengan melemparkan tanggung jawab atas tragedi kepada Tuhan atau kepada manusia lumpur, korporasi Lapindo hendak melepaskan diri dari dakwaan baik hukum maupun agama. Melawan teologi penderitaan di atas, abjad demi abjad manusia lumpur mengeja sebuah teologi penderitaan alternatif dari air matanya. “Disana orang tak berdosa atas ulahmu,” tutur Rochiza Arddiansyah lebih lanjut, “menjadi korban lumpur Lapindo.” Tragedi lumpur Lapindo merupakah ulah manusia, bukan bencana alam, apalagi malapetaka dari Tuhan. Mereka memohon Tuhan keadilan karunia untuk melalui saat-saat sulit kehidupan sebagai manusia lumpur yang seringkali sudah di ambang daya tahan mereka.
Manusia lumpur mengajukan pertanyaan teologi bukan dalam waktu senggang, melainkan dalam waktu genting. Mereka mengajukan pertanyaan kepada Tuhan dari tengah-tengah darurat kemanusiaan, bahkan sebagai umat beriman. Pertanyaan mereka mengandung kegentingan dan kemendesakan. Rentetan penderitaan yang nampak tanpa akhir menciptakan krisis kemanusiaan, bahkan iman. Namun, kita jangan tergesa-gesa menarik simpulan bahwa mereka orang-orang yang telah kehilangan harapan, lebih lanjut iman kepada Tuhan. Sebaliknya, mereka mengajukan pertanyaan sebagai pribadi-pribadi beriman. Pertanyaan, bahkan gugatan kepada Tuhan jauh dari berlawanan dengan sikap berserah mereka kepada-Nya. Kita belajar merengkuh baik berserah dan menggugat sebagai ragam bahasa yang manusia lumpur belajar memberdayakannya untuk komunikasi dengan Tuhan. Bahasa-bahasa demikian juga menemukan ruang bernafas dalam puisi anak-anak manusia lumpu. Puisi-puisi itu mengandung perlawanan terhadap pribadi, korporasi atau rezim yang menggagahi martabat suci mereka manusia dan ciptaan Alllah. Sebagaimana Salma Nabila melaraskannya secara liris dalam puisi Kesedihan di Desaku,

Ya Allah
Apakah semua ini akan terus begini?

Ya Allah bantulah kami
Agar dapat melewati semua ini.

Saya melihat kebutuhan untuk membicarakan bahasa ratapan, bahkan gugatan dalam puisi anak-anak manusia lumpur. Bahasa-bahasa ini perlu garis bawah di tengah godaan besar manusia lumpur mengarahkan telunjuk kesalah pada diri sendiri. Ketika penderitaan akibat tragedi seolah tanpa akhir dan tanpa kemungkinan jalan keluar, mereka dapat meragu mengenai penyebab tragedi semburan lumpur. Godaan membersit untuk menudingkan telunjuk kedosaan pada diri sendiri. Jangan kita menyepelekan godaan dalam diri manusia lumpur untuk menyalahkan diri dalam tragedi ini. Karena memandangnya sebagai kemustahilan bahkan untuk mengajukan pertanyaan kepada Tuhan, sebagian dari mereka mungkin sekali mendakwa diri. Logikanya, Tuhan memberikan cobaan dalam bentuk semburan lumpur Lapindo karena mereka bersalah kepada-Nya entah menyadarinya atau tidak. Korporasi Lapindo kemudian bebas dari dakwaan. Di tengah godaan untuk melarikan diri dari persoalan yang membelitnya entah kepada Tuhan atau diri sendiri, gugatan anak-anak manusia lumpur memiliki arti penting. Alamat gugatan yang awalnya Tuhan akhirnya sampai pada subyek alamat yang seharusnya, yaitu korporasi Lapindo. Puisi Lumpur Lapindo karya Giri Pratama melukiskan indah sekali pergumulan manusia lumpur melepaskan diri dari perangkap menyalahkan diri dalam tragedi.

Ya Tuhan
Mengapa engkau berikan cobaan ini kepada kami
Apa salah kami Tuhan?
Sehingga lumpur Lapindo menenggelamkan desa kami

Tragedi lumpur Lapindo menyadarkan kita akan keterbatasan, bahkan bahaya menerapkan sebuah teologi penderitaan yang lahir pada sebuah konteks tertentu pada konteks lain. Teologi ini seringkali menyederhanakan kompleksitas persoalan dengan mengalamatkannya entah sebagai kesalahan manusia atau cobaan Tuhan. Pemeluk teologi penderitaan ini abai dengan anak-anak manusia lumpur sebagai subyek yang berteologi atas penderitaan mereka. Padahal, sebagaimana saya memperlihatkannya kepada khalayak pembaca dalam tulisan ini, anak-anak manusia lumpur menemukan korporasi Lapindo sebagai pelaku tragedi. Tragedi lumpur panas Lapindo mengundang saya untuk mengeja teologi penderitaan manusia lumpur berangkat dari konteks setempat. Dalam membangun teologi penderitaan alternatif, saya menyertakan suara anak-anak manusia lumpur. Mustahil saya menyusun sebuah teologi penderitaan tanpa berpijak pada sebuah konteks tertentu. Kalau mengabaikan konteks setempat, bahayanya teologi penderitaan tersebut terlibat dalam menyembunyikan identitas pelaku tragedi. Sebaliknya, teologi penderitaan yang saya mengejanya dari puisi anak-anak membongkar penyamaran pelaku. Sebagaimana puisi Lumpur Lapindo yang Kejam karya Zulfika Rohmah,

Pada tanggal 29 Mei 2006
Datanglah lumpur Lapindo yang kejam
Pada hari itu dimulailah penderitaan
Dan aku sangat sedih

Lumpur Lapindo ulah manusia
Namanya Pak Bakrie

Selain menggugat hati nurani pemilik korporasi Lapindo, anak-anak manusia lumpur dalam puisi-puisinya mengalamatkan keserakahan pada korporasi tersebut. Pengeboran gas alam, sebagaimana mata pencaharian-mata pencaharian lain, jauh dari serta merta karakternya negatif. Korporasi Lapindo menyamarkan peruntukan pengeboran gas dengan peternakan unggas ketika mencari izin usaha. Cara korporasi Lapindo mengebor gas alam yang sangat ceroboh menyebabkan semburan lumpur panas yang merenggut kehidupan warga dan alam di sekitarnya. Logika mengeruk keuntungan ekonomis menghalalkan pelanggaran standar keselamatan kerja terutama bagi masyarakat dan lingkungan sekitar lokasi. Selain korban manusia, semburan lumpur Lapindo juga merenggut kehidupan flora dan fauna, dan menanduskan lahan yang sebelumnya produktif untuk pertanian dan perikanan. Anak-anak manusia lumpur menggunakan metafor babi untuk berbicara mengenai karakter pemilik korporasi Lapindo. Aburizal Bakrie, di mata mereka, identik dengan babi yang kotor, ceroboh dan serakah. Bahkan, dalam agama Islam, hewan ini termasuk kategori najis. Melawankan kenajisan dengan kekudusan, Yesus bersabda,”Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu” (Matius 7, 6). Puisi anak-anak manusia lumpur mendorong komunitas agama untuk memaknai keserakahan sebagai kenajisan, bahkan dosa kontemporer dalam ranah ekonomi.

Permohonan anak-anak manusia lumpur kepada Tuhan untuk berkenan menghentikan semburan lumpur Lapindo merupakan kritik tajam terhadap korporasi Lapindo. Tanpa maksud berprasangka buruk terhadap korporasi Lapindo, hingga tujuh tahun pascatragedi korporasi Lapindo masih jauh dari itikad baik untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Manusia lumpur lebih dari sabar menunggu korporasi Lapindo memenuhi tanggungjawabnya. Alih-alih menyelesaikannya, pemilik korporasi mangkir. Pemerintah ompong ketika harus menjalankan fungsinya menagih tanggung jawab pemilik korporasi Lapindo di ruang hukum. Peninggian tanggul pembatas di sekitar lokasi semburan lumpur memiliki arti simbolis. Pemerintah hanya menghambat semburan lumpur dari menyebar ke lokasi-lokasi lain, tetapi kehilangan kuasa menekan korporasi Lapindo untuk menangani sumber semburan lumpur. Korporasi Lapindo dan pemerintah mengabaikan penderitaan manusia lumpur. sebagaimana Ach. Syahrul dalam puisi Lumpur Lapindo, harapan manusia lumpur tinggal pada satu sosok. Kehilangan kepercayaan pada korporasi Lapindo, manusia lumpur mengimani Tuhan yang berkuasa menghentikan semburan lumpur.

Lapindo

Karena kau
Desa itu terendam lumpur

Lapindo

Karena kau warga menjadi kesusahan

Kata ganti ‘dia’ yang menunjuk pada semburan lumpur panas berubah menjadi ‘kau’ dalam puisi Lapindo karya Imroh Atus. Perubahan kata ganti ini menyingkapkan pengenalan lebih lanjut manusia lumpur terhadap sosok pelaku tragedi. Sketsa paras pelaku semakin jelas arsirannya. Mustahil orang menerka lukisan sosok itu dengan yang lain. Pengucapan kata ‘kau’ mendapatkan penekanan dalam puisi-puisi mereka karena mengarah pada pelaku tragedi. Jika dalam puisi Lumpur Lapindo Nur Af’idatul dan Algita Puspita memberikan tekanan pada ‘lumpur’ sebagai sumber tragedi, dengan judul puisi sama, Dwi Mahdiana dan Anna Mardiyana menyebut ‘Lapindo’ sebagai pelaku tragedi. Jika sebutan Lapindo masih menunjuk pada korporasi, dalam puisi Hancurlah Kotaku, Tyas Setyaning mengarahkan telunjuk pada pemilik korporasi tersebut. Dengan menyebut nama ‘Bakrie’, manusia lumpur membongkar penyamaran pelaku tragedi, yang bahkan sampai menggiring masyarakat untuk menyetarakannya dengan sosok historis masa lalu bernama raja Airlangga yang menghadirkan kahuripan nirwana selama pemerintahannya.

Ratapan Sekaligus Perlawanan

Setelah mengeja teologi ekofeminis pembebasan dari Porong, saya menyampaikan beberapa catatan pinggir untuk memperkaya lukisan tentangnya. Teologi secara tradisional merupakan ilmu iman (intellectus fidei). Kajian kritis teolog akan pewahyuan Tuhan menggunakan metode yang terukur keterpelajarannya. Definisi ini, menurut teolog pembebasan Jon Sobrino, rentan menjerumuskannya pada syahwat sterilitas. Teolog menyaring Tuhan dalam konsep-konsep yang tersedia dan melucuti kuasa sabda-Nya dari potensi liberatifnya. Jauh dari maksud mengebawahkan teologi sebagai kajian akademik, teolog perlu beraskese secara akademik. Karena obsesi akademik terhadap Tuhan sebagai obyek teologi tradisional, penglihatannya seringkali kabur terhadap Tuhan yang berkenan dalam ciptaan manusia dan ciptaan-ciptaan ekologis lain pada zaman ini. Kajian akademiknya tanpa daya (a feeling of professional impotence) dihadapan persoalan rakyat yang disalib rezim kekerasan pada masa kini (Sobrino, Jesus the Liberator, 1-6).

Dalam konteks tragedi lumpur Lapindo, teolog sekedar ahli retorika akademik ketika tutup mata terhadap keserakahan korporasi Lapindo yang mengakibatkan penderitaan, bahkan merenggut kehidupan manusia lumpur. Ia memuaskan diri setelah menemukan sosok Tuhan keadilan dalam warta Kitab Suci, tetapi gagal melihat paras kontrasnya dalam sosok pemilik korporasi Lapindo yang mengeruk keuntungan ekonomi, bahkan jika resikonya mengancam kehidupan warga disekitar lokasi pengeboran. Paling jauh teolog macam ini menyodorkan sebuah teologi penderitaan yang entah mendakwa secara gegabah manusia lumpur sebagai kaum pendosa atau sok tahu terhadap tragedi semburan lumpur panas sebagai cobaan Tuhan. Hatinya menuli terhadap ratapan manusia lumpur yang korporasi Lapindo menyalib paksa kehidupan mereka di Porong, Golgotha zaman ini. Sebaliknya, teolog ekofeminis pembebasan dari Porong ini berikhtiar untuk mengisahkan Tuhan, meminjam kosakata Jon Sobrino, “dari tengah-tengah lokasi penyaliban dan memiliki harapan akan pembebasan.”

Anak-anak manusia lumpur melaras puisi secara liris dari reruntuhan lokasi-lokasi kehidupan yang dekat dengan hati mereka. Menarik mengkaji pilihan mereka menggunakan bahasa puisi untuk mengisahkan penderitaan dan perlawanannya terhadap korporasi Lapindo. Untuk menilai puisi-puisi mereka, kriteria utamanya bukan membedah sisi luar puisi (politics of canonicity), melainkan sisi dalamnya sebagai anthem of resistance. Bahasa puisi memiliki kuasa untuk mengisahkan kehidupan mereka, bahkan juga hubungan mereka dengan Tuhan. Barangkali puisi sepintas mengisahkan secara kurang mendetail kisah-kisah mereka, tetapi menyampaikan bagian-bagian menonjolnya. Bagian-bagian lain kita perlu membacanya diantara spasi-spasi puisi. Selain membaca abjad-abjad tersurat, lebih banyak kisah mereka tersirat dalam puisi-puisi itu. Teologi manusia lumpur tersimpan dalam ratapan yang seringkali nirkata. Kesadaran ini menghantar saya pada gagasan Kwok Pui-Lan mengenai lokasi teologi perempuan Dunia Ketiga. Menurutnya, sebagian besar teologi perempuan Dunia Ketiga masih belum tersimpan dalam bentuk tulisan. Sebagian besar bersemayam dalam hidup kaum perempuan. Selain memperhatikan dokumen tertulis, kita perlu menyendengkan telinga untuk mendengarkan penuturan mereka.

Puisi-puisi anak-anak lumpur Lapindo mengandung kekayaan teologis. Bahkan, dalam kisah-kisah yang sangat manusiawi, mereka alamiah sekali menyertakan Tuhan sebagai Subyek kisah. Jauh dari berlebihan saya menghormati mereka sebagai teolog alamiah (natural theologian). Saya melihatnya sebagai sebuah jembatan titian untuk berbicara lebih lanjut menempatkan dalam dialog antara para teolog alamiah dan mereka yang menekuni ilmu teologi di bangku akademik (academic theologian). Teologi jangan melepaskan diri dari persoalan-persoalan kemanusiaan dan ekologi. Dalam tragedi lumpur Lapindo, tragedi kemanusiaan dan ciptaan-ciptaan lain mengajukan pertanyaan teologis. Anak-anak manusia lumpur memperhatikan baik ciptaan manusia maupun ciptaan-ciptaan yang mengalami penderitaan, bahkan kematian dini dalam tragedi Lapindo. Dari perspektif teolog akademik yang mendalami ekoteologi, tragedi lumpur Lapindo itu kisah antipenciptaan. Dwi Rizki dalam puisi Lapindo dengan menyentuh sekali melukis kisah antipenciptaan metafor perubahan warna daun.

Keindahan alam yang hijau
Kini berubah menjadi kuning mengering
Sawah yang luas membentang
Kini berubah menjadi lautan

Pembebasan bukan kata yang tersurat besar, tebal, miring, atau bergaris bawah dalam puisi anak-anak manusia lumpur. Bahkan, dalam penglihatan telanjang, kata ini nihil dalam puisi-puisi mereka. Namun, saat membaca baris-baris puisi mereka, kata ‘pembebasan’ terasa sekali. Pembebasan sebagai lawan kata dari ‘PT Lapindo Brantas’ dalam puisi-puisi mereka. Kita dapat juga menemukan di dalamnya padanan kata dari pembebasan. Selain dalam lawan dan padanan kata, kisah-kisah mereka dalam puisi menunjuk pada pembebasan. Ketika merindukan situasi sebelum tragedi, anak-anak manusia lumpur sejatinya berkisah tentang pembebasan. Sebagaimana puisi Sekolahku karya Fira,

Mana sekolahku yang dulu
Mana temanku yang dulu
Mana keceriaan yang dulu
Yang selalu membuat hatiku senang
Kini engkau tiada lagi
Terkubur dalam luapan lumpur

Di Porong teolog alamiah dan akademik berjumpa dan berdialog satu sama lain. Saya, yang meniti karir dalam teologi akademik, berguru kepada anak-anak manusia lumpur, para teolog alamiah. Mereka guru teologi saya dalam mengeja sebuah teologi ekofeminis pembebasan dari lokasi tragedi lumpur Lapindo. Selain pada ciptaan manusia, dampak tragedi lumpur Lapindo yang merenggut kehidupan ciptaan-ciptaan ekologis lain. Jika sebelum tragedi mereka berteologi dari “rumah tempatku berlindung” atau “rumah Allah tempatku memohon” sebagaimana tutur Winda Ayu Tri dalam puisi Lumpur Panas Lapindo, setelah tragedi lumpur Lapindo, mereka berteologi dari lokasi-lokasi semburan lumpur yang telah meluluhlantakkan lokasi-lokasi kehidupan itu. Memandang tragedi ini secara teologis sebagai kisah antipenciptaan, mereka menghantar saya untuk sampai korporasi Lapindo sebagai monster yang mengacau tata hidup bersama ciptaan di lokasi tragedi. Keserakahan pemilik korporasi ini dalam mengeruk kekayaan alam mengubah Porong yang semula Firdaus bagi para warganya. Setara pentingnya menyebut Tuhan sebagai harapan terakhir hidup manusia lumpur dan menyebut korporasi Lapindo sebagai illah antipenciptaan kontemporer dalam ranah ekonomi yang menghancurkan kehidupan mereka. Untuk menyamarkan paras serakahnya, ia berlindung di belakang pada sosok historis Airlangga, bahkan kurang ajar sekali dengan menyembunyikan diri di balik punggung Tuhan. Penamaan korporasi Lapindo sebagai illah antipenciptaan ini penting untuk mendaku kesucian manusia lumpur dari dakwaan keberdosaan sehingga Allah mencobai, bahkan menghukumnya. Teologi penderitaan yang anak-anak manusia lumpur mengejanya dari lokasi tragedi menamai secara lain, bahkan lebih artikulatif, pengabjadan teologi ekofeminis pembebasan saya.

Jurnal Perempuan Edisi 80, “Tubuh Perempuan dalam Ekologi”
Penulis adalah pengajar di Fakultas Teologi dan Prodi Kajian Bahasa Inggris
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Translate »