Monokrom Lumpur Lapindo yang Memikat


SURABAYA – Teddy Atom (43), asyik di depan kanvas. Jarinya lincah menari pada bidang lapang seluas 150 x 100 cm tersebut. Rupanya pria gondrong itu sedang melukis beberapa anak yang sedang berkumpul di depan rumah. Hanya, mereka asyik dengan gadget masing-masing. Ada yang selfie, bermain game, dan ada juga yang hanya melihat.

Lukisan itu terlihat monokrom. Hanya satu warna beserta gradasi-gradasinya. Tak heran, Teddy menggunakan lumpur sebagai media gambar. Lumpur yang dipakai pun tidak sembarangan. Yakni, hasil luapan lumpur di Porong yang kerap disebut sebagai lumpur Lapindo. Inspirasinya muncul pada 2006. Namun, Teddy mulai aktif menggambar lumpur pada 2008.

Pada tahun itu, Teddy membawa seember lumpur ke rumah eksperimen. Melalui lima percobaan yang berbeda, dia menggunakan campuran lem rajawali, minyak, dan telur. Namun gagal. Ketika hampir putus asa, dia mendapat secercah harapan. Laki-laki yang pernah menimba ilmu di Dutchess College, New York, itu melihat endapan berwarna oranye kecokelatan di lantai. Dia sentuh dan itu adalah lumpur.

“Dari seember lumpur tersebut, yang bisa dipakai cuma seperlimanya,” papar Teddy.

Dia menjelaskan, melukis dengan lumpur tidak berbeda dengan cat lain. Rasa tetap sama. Bedanya, ketika melukis dengan menggunakan cat air atau cat minyak, warna bisa dimainkan.

Setelah mantap pada 2012, dia kian getol melukis dengan menggunakan lumpur. Hingga saat ini, penyokongnya hanya lumpur Lapindo. Empat tahun berkarya, kini dia telah menelurkan 30-an lukisan. Tak banyak yang berukuran besar, dia biasanya membikin lukisan kecil berukuran 20×20 cm atau 40×40 cm.

Sayangnya, pencinta lukisan lumpur bukan dari Indonesia. Kebanyakan mereka berasal dari luar negeri. Dia mengatakan, lukisannya itu laku di New York. Di sana dia mempunyai kenalan pemilik Ben’s Galery.

“Lukisan saya sering berada di sana. Cukup sering saya mengirim ke sana,” ucap pria kelahiran 28 Mei 1971 tersebut.

Teddy bercerita, lukisan yang sedang dibikinnya kemarin (20/11) itu terinspirasi dari kebiasaan zaman sekarang yang berbeda dengan dulu. Kini, ketika semuanya berkumpul, masing-masing sibuk dengan ponsel.

“Dulu kalau lagi kumpul, ya main. Entah itu dakonan, petak umpet, atau patil lele,” ujar Teddy ketika ditemui di galerinya di City of Tomorrow.

Lukisan tersebut dikerjakan selama dua minggu. Ditanya mengenai judulnya, Teddy menggeleng sambil tersenyum.

“Generasi masa depan,” ungkapnya.

Karya belum berjudul itu didominasi warna cokelat. Teddy mengatakan, lumpur hanya bisa memberikan satu warna dan membuatnya terlihat monokrom. Karena itu, Teddy bermain pada timbul tenggelamnya bayangan.

“Saya fokusnya pada detail biar mempertegas tiap ekspresi yang ada,” ungkap Teddy.

Untuk bisa bertahan, Teddy tidak hanya melirik lumpur. Tapi, juga abu vulkanis. Di Teddy Atom Gallery, terpampang lukisan gadis Bali yang ayu. (cik/c7/dos)

Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/11/21/271128/Monokrom-Lumpur-Lapindo-yang-Memikat-


Translate »