Politik Janji


Dalam kasus Lapindo, janji khususnya tentang pelunasan ‘ganti rugi’ adalah sarana kekuasaan yang sangat efektif. Janji diberikan tidak hanya oleh perwakilan Lapindo ataupun Minarak, tapi juga oleh pengurus negara. Setelah sebelumnya melempar janji pencairan ‘dana talangan’ pada korban akan dilakukan bulan Mei ini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono meralatnya dan melempar janji baru bahwa pencarian dana itu akan dilakukan paling lambat sebelum Lebaran.

Jika kita mengacu pada Perpres 14/2007, maka relasi yang terbentuk antara warga dan Lapindo sebagai penjual dan pembeli. Kita juga akan menjumpai kebenaran pepatah “pembeli adalah raja.” Ya, Lapindo adalah raja yang dapat mengendalikan laju transaksinya dengan warga.

Seperti raja, Lapindo mendapatkan keistimewaan dengan ketidakberdayaan negara dan para pengurusnya untuk menjamin transaksi antara warga dan Lapindo berlangsung secara setara. Sekalipun berperan sebagai pihak yang mewajibkan Lapindo untuk membeli tanah dan bangunan warga melalui penerbitan Perpres 14/2007, negara tidak pernah hadir dan berdaya untuk memaksa Lapindo menyelesaikan peraturan itu. Negara tidak pernah memberi sanksi setimpal saat Lapindo melanggar peraturan dengan  kekuatan hukum yang mengikat itu. Alih-alih menghukum, negara justru “membantu” Lapindo untuk melunasi kewajibannya itu dengan cara menalanginya terlebih dahulu. Rencana ini, rupanya, menjadi blunder ketika Lapindo tidak menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan dana yang dikumpulkan dari uang rakyat itu.

Seperti raja, Lapindo dengan leluasa memodifikasi transaksi seperti telah diatur dalam Perpres 14/2007 dengan mendesakkan skema “cash and resettlement” bagi warga tanpa sertifikat tanah/bangunan. Warga dipaksa menukar nilai aset mereka dengan bangunan baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Padahal, Perpres 14/2007 mengatur pembayaran dilakukan secara tunai, bertahap. Dan lagi, alih-alih memberikan sanksi atas modifikasi itu, para pengurus negara dari legislatif maupun eksekutif justru mendukung rencana Lapindo itu.

Seperti raja, kelakuan Lapindo didukung oleh klaim-klaim berbau religius para pemuka agama bahwa segala yang telah diberikan perusahaan adalah “sodaqoh,” sedekah, amal pada warga yang sedang tertimpa musibah, pada korban yang tidak berdaya. Alih-alih impas, kini banyak warga yang dipaksa seolah-olah berhutang budi pada Lapindo, khususnya pada keluarga Bakrie. Padahal, yang terjadi adalah jual beli aset. Warga yang sudah terlebih dahulu memberikan kepemilikan aset mereka pada Lapindo. Jika demikian, apa yang diberikan Lapindo itu tak lebih dari kewajiban seorang pembeli pada penjual, yaitu membayar apa yang sudah diterimakan padanya.

Saya melihat, ada fakta yang dihilangkan dalam pembingkaian proses transaksi antara warga dan Lapindo. Fakta itu adalah kenyataan bahwa warga sudah terlebih dahulu memberikan tanah dan bangunan dengan cara melimpahkan hak kepemilikan (proprietary) mereka pada Lapindo. Secara teoretik, “pemberi” seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan “penerima.” Akan tetapi, hal ini tidak terjadi pada kasus Lapindo.

Saat ini, fakta “warga sebagai pemberi” telah direduksi, bahkan dieliminir. Warga kini dibingkai dan diposisikan sebagai mereka yang “meminta(-minta).” Seolah-olah, warga berada dalam posisi seperti pengemis yang mengharapkan pemberian dari pihak lain, entah itu negara ataupun Lapindo. Faktanya, para warga ini sudah memberikan aset mereka. Penghilangan fakta “warga sebagai pemberi” muncul dari adanya pra-pengandaian publik tentang mereka adalah korban yang tidak berdaya. Padahal, warga dengan pelbagai pergulatan psikologisnya perlu dilihat sebagai pihak yang sangat berdaya dan telah berani melepaskan (kepemilikan) aset mereka pada pihak lain.

Tidak mudah untuk melepas atau memberikan sesuatu, apalagi jika sesuatu itu amat berharga. Tidak hanya dibutuhkan suatu keberdayaan dan keberanian, namun juga kerelaan; yang semua itu seolah-olah tak dimiliki Lapindo dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka sebagai pihak yang sudah menerima pemberian para warga itu.

Dalam kalender tahunan masyarakat Indonesia, terdapat momentum budaya yang selalu terulang, salah satunya adalah Lebaran. Berdasarkan catatan saya, pasca lumpur Lapindo menyembur pada 29 Mei 2006, Lebaran telah menjadi momentum unik untuk melontarkan janji-janjinya pada warga. Tidak hanya Lebaran saja, kampanye pemilihan umum, presiden dan juga kepala daerah telah menjadi ajang untuk mengumbar janji tentang pelunasan ganti rugi. Strategi semacam ini rupanya telah menular pada pengurus negara ini, dengan lontaran janji pejabat pemerintah yang akan melunasi pembayaran sebelum Lebaran 2015.

Seperti sudah banyak disampaikan dalam kesempatan lain, pelunasan ganti rugi aset hanyalah salah satu persoalan yang harus segera dituntaskan. Yang perlu kita ingat, menurut prediksi para geolog lumpur masih akan terus menyembur secara masif sampai puluhan tahun. Artinya, apa yang terjadi sampai saat ini belum separuh dari apa yang akan terjadi.

Sekarang, menjelang 9 tahun lumpur Lapindo menyembur, pemerintah, lagi-lagi, hanya bisa sebatas memberikan janji menyelesaikan persoalan ganti rugi yang tak kunjung tuntas. Padahal, di luar itu masih banyak persoalan sosial-ekologis yang muncul akibat semburan lumpur Lapindo. Jika hanya sampai itu kapasitas pengurus negara republik ini, maka sudah layak dan pantas bagi kita untuk terus mempertanyakan wujud “kehadiran negara” dalam kasus ini. (*)

Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

Translate »