Tag: hak asasi

  • Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    Pulihkan Hak-Hak Warga Korban Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS – Sudah sembilan tahun warga korban luapan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menderita. Mereka tidak hanya kehilangan rumah, tanah, dan kampung halaman, tetapi juga hak-hak asasi sebagai manusia ataupun warga negara. Pemerintah wajib memulihkan hak itu dan tidak hanya fokus pada penanganan semburan lumpur.

    Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Muhammad Nurkhoiron mengatakan, sejak Januari lalu pihaknya melakukan riset penanganan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Pihaknya membuat kajian atas tanggung jawab negara dalam penyelesaian hak-hak para korban.

    “Kami melakukan audiensi dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Bupati Sidoarjo Syaiful Ilah dan pihak terkait lainnya. Hasil kajian sementara, penanganan terhadap korban lumpur sebatas penanggulangan semburan,” ujarnya.

    Hingga kini belum ada upaya konkret pemerintah untuk memulihkan hak warga korban lumpur seperti hak mendapatkan akses ekonomi berupa lapangan pekerjaan yang layak, pendidikan, kesehatan, kartu identitas, dan memulihkan kembali kehidupan sosial mereka. Dari tiga tahap pemulihan, yakni rehabilitasi, ganti rugi, dan rekonstruksi, belum satu pun yang terpenuhi.

    Pemerintah masih berkutat pada upaya pelunasan pembayaran ganti rugi terhadap warga korban lumpur. Itu pun hingga kini belum ada kejelasan kapan dana talangan sebesar Rp 781 miliar yang sudah dialokasikan dalam APBN itu dicairkan.

    “Dana talangan ini untuk membantu warga korban mendapatkan hak ganti rugi atas tanah dan rumah yang tenggelam oleh semburan lumpur. Hak ganti rugi ini merupakan kewajiban PT Lapindo Brantas, tetapi tidak kunjung dilunasi selama sembilan tahun,’ kata Nurkhoiron.

    Dia mengatakan, dari hasil audiensi dengan BPLS selaku ujung tombak penanganan korban lumpur, diperoleh fakta bahwa penanganan sebatas penanggulangan luapan dan pembuangan ke Kali Porong. Upaya pemulihan warga korban pada kondisi kehidupan mereka sebelum terkena bencana, sangat minim bahkan hampir tidak ada.

    “Kehadiran negara yang direpresentasikan melalui BPLS sebagai panitia ad hoc, masih dalam konteks fisik berupa pembangunan infrastruktur,” ujarnya.

    Sunarmi (42), warga korban lumpur Lapindo dari Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, mengatakan, selama ini kehidupannya sangat susah. Keluarganya harus berpindah rumah karena mengontrak. Tidak hanya itu, dia dan suaminya kehilangan pekerjaan sebagai buruh pabrik karena perusahaan tempatnya bekerja tenggelam oleh lumpur.

    “Kini kami mengojek di atas tanggul untuk bertahan hidup. Selama ini tidak ada perhatian dari perusahaan ataupun pemerintah untuk memulihkan kehidupan kami seperti sebelumnya. Bahkan, uang ganti rugi yang menjadi hak dasar kami juga tidak dibayar,” kata Sunarmi.

    Rabu (13/5), ratusan warga korban lumpur Lapindo akan kembali berunjuk rasa. Sasaran kali ini Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo. Tuntutannya masih sama, yakni pembayaran pelunasan ganti rugi yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc.

    Warga korban lumpur kini kebingungan karena tidak tahu harus bertanya atau mengadu ke mana untuk menanyakan perkembangan proses pencairan dana talangan. Tak ada pihak yang memberikan sosialisasi ataupun bisa dikonfirmasi. (NIK)

    Sumber: Harian Kompas, 13 Mei 2015, hlm. 22.

  • Negara Salah Kaprah dalam Mempertanggungjawabkan Pemulihan Korban Lumpur Lapindo

    Negara Salah Kaprah dalam Mempertanggungjawabkan Pemulihan Korban Lumpur Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    Saat ini pemerintah Jokowi telah membayarkan ganti rugi sebesar Rp. 781 milyar kepada korban semburan lumpur lapindo. Keputusan tersebut diambil setelah PT. Minarak Lapindo Jaya sepakat menjaminkan aset tanah korban yang sudah diganti sebesar Rp 3,03 triliun kepada pemerintah karena seharusnya perusahaan tersebut memberikan ganti rugi sebesar Rp 3,8 M. Pemerintah memberikan waktu 4 (empat) tahun bagi PT. Minarak Lapindo Jaya untuk mengganti dana talangan tersebut bila tidak sanggup melunasi talangan tersebut maka aset tanah korban yang sudah dimiliki perusahaan sebesar Rp 3,03 triliun diserahkan kepada pemerintah.

    Banyak pihak memandang bahwa rencana ini akan membawa terobosan penting dalam penuntasan kasus lumpur Lapindo. Namun demikian, KontraS menilai bahwa rencana ini tidak lebih dari sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset, tanpa diikuti dengan skema rencana pemulihan komprehensif atas praktik pelanggaran HAM yang dialami oleh warga Sidoarjo.

    Komnas HAM dalam laporan penyelidikannya berjudul “Laporan Tim Komnas HAM Lumpur Lapindo” yang diselesaikan pada 25 Oktober 2012 telah menemukan adanya praktik pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis dan meluas. Namun hasil paripurna lembaga tersebut menyimpulkan dengan tidak bulat atas adanya praktik pelanggaran HAM pada kasus lumpur lapindo. Padahal kuat adanya kejahatan kemanusian dengan cakupan korban dari berbagai kelas sosial, gender, umur, dan kelompok profesi.

    UU No. 39/1999 tentang HAM menjadi acuan utama dalam menemukan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) pelanggaran terhadap HAM dari korban lumpur Lapindo: hak atas hidup, hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak atas pengungsi, serta hak kelompok rentan (penyandang cacat, orang berusia lanjut, anak dan perempuan)

    Kunci temuan Komnas HAM pada kasus pelanggaran HAM berdimensi Ekosob dan Sipil-Politik ini memang tidak diindahkan oleh pemerintahan SBY yang sarat dengan kepentingan politik transaksional. Tapi kunci ini juga tidak disentuh oleh pemerintahan Jokowi untuk menghadirkan ruang pertanggungjawaban negara.

    Kegegabahan negara untuk menempuh pengambilalihan aset PT Minarak Lapindo Jaya, sesungguhnya telah menghilangkan aspek rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban. Berdasarkan beberapa temuan dari hasil penyelidikan Komnas HAM seharusnya negara segera menindaklanjuti dengan penegakan hukum melalui mekanisme perdata, pidana maupun administrasi diantaranya :

    • Adanya tindakan hukum ingkar janji (wansprestasi) sesuai pasal 1243 KUHPerdata yang dilakukan oleh pihak perusahaan PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo. Faktanya pelunasan pembayaran ganti rugi yang dilakukan sejak Juli 2007 kembali dijanjikan pada bulan Desember 2012 namun hingga saat ini tidak ada kejelasan pembayarannya.
    • Adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata terkait perbuatan yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas Inc selaku operator dilapangan. Faktanya berdasarkan hasil riset Neal Adams Service dan dikuatkan laporan BPK disebutkan adanya ketidakmampuan teknis pelaksanaan pengeboran di lapangan. Sehingga korban bisa menuntut ganti rugi baik materiil/immaterial karena kelalaian yang mengakibatkan timbulnya korban dan kerugian.
    • Penyalahgunaan penggunaan tata ruang dalam kegiatan eksplorasi tambang, sebagaimana Pasal 69 Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007. Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun 2006 tentang RTRW 2006-2020 ditetapkan bahwa Kabupaten Sidoarjo difokuskan untuk pengembangan kawasan pemukiman dan perindustrian. Kemudian dikuatkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No. 16 Tahun 2003 tentang RTRW Sidoarjo 2003-2013 menjelaskan wilayah kecamatan Porong, Sidoarjo sebagai kawasan pertanian, pemukiman dan perindustrian
    • Tindakan perusahaan PT Lapindo Brantas Inc yang melakukan pengeboran dan berdampak pada perusakan lingkungan, Negara wajib mengaudit aspek lingkungan hidup secara menyeluruh sebagai bentuk pertanggungjawaban bisnis sebagaimana dimandatkan dalam pasal 48 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

     

    Kelimabelas hak yang terlanggar dan terbukanya celah keperdataan serta kepidanaan, sesungguhnya membuka ruang tanggung jawab negara dalam mendorong mekanisme pemulihan efektif (effective remedies) sesuai dengan komitmen Indonesia sebagai pelaku negara pihak dalam 2 instrumen utama hukum HAM internasional: Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pemulihan efektif  harus dapat menyentuh 3 (tiga) pondasi utama sebagaimana yang juga tercantum di dalam konsep Guiding Principles on Business and Human Rights (2011): (1) negara harus mengambil langkah-langkah progresif untuk memastikan, baik melalui mekanisme judisial, administratif, atau cara-cara yang sesuai dengan otoritas jurisdiksinya untuk memberikan pemulihan kepada para korban, (2) negara harus memastikan tidak ada upaya yang bisa mengurangi hak dari para korban untuk mendapatkan pemulihan, (3) negara harus menyediakan upaya non-judisial sebagai mekanisme komplementer dari sistem judisial yang bisa menjamin pemenuhan pemulihan. Ketiga hal ini harus dijalankan dalam atmosfer legitimasi, ketersediaan akses, transparansi, kesetaraan, pemenuhan hak komprehensif, dan sumber pembelajaran agar kasus serupa tidak terjadi di masa depan.

    KontraS memandang penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM, harus diikuti dengan upaya advokasi yang melibatkan seluruh lembaga-lembaga negara dalam upaya pemulihan hak-hak korban lumpur Lapindo. Termasuk kapasitas kepala negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo melalui jajaran pemerintahan untuk:

    1. Kementerian Keuangan menghentikan risiko kompensasi dari uang negara yang menggunakan pendekatan bisnis untuk melakukan pembelian aset PT Minarak Lapindo.
    2. Kapolri menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparatnya untuk melakukan penyelidikan berdasarkan hasil laporan Komnas HAM dan membuka perkara pidana yang telah di-SP3 oleh Polda Jatim.
    3. Jaksa Agung harus menempuh proses hukum secara perdata terkait adanya tindakan wansprestasi dan perbuatan melawan hukum atas tindakan PT Lapindo Brantas Inc yang melalaikan kewajiban hukum dan berdampak kerugian pada korban.
    4. Membentuk Tim Percepatan Pemulihan melalui mekanisme non judisial yang terdiri dari Kemensos, Kemenkes, Kemenakertrans, Kemendikbud yang berkoordinasi dengan LPSK, guna mendorong kemampuan warga Sidoarjo untuk hidup normal kembali.
    5. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan POLRI untuk mengusut kejahatan pidana pada penyalahgunaan tata ruang yang mencederai UU No 26 Tahun 2007 dan RTRW Sidoarjo 2003-2013.
    6. Menkoinfo dan Komisi Informasi Publik membuka akses informasi atas kejahatan yang sesungguhnya terjadi pada kasus lumpur Lapindo melalui mekanisme yang tersedia dengan melibatkan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel.
    7. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan audit lingkungan hidup secara menyeluruh atas tindakan perusahaan yang merugikan korban lumpur lapindo
    8. BPK segera melakukan koordinasi kepada kementrian terkait, utamanya Kementerian ESDM atas temuan adanya penyalahgunaan tindakan non procedural pengeboran di Sidoarjo yang berakibat pada timbulnya korban dan kerugian.

     

    Jakarta, 9 Januari 2015

    Badan Pekerja  

    Haris Azhar, MA

    Koordinator KontraS

    Sumber: http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1986

    Versi PDF [unduh]

  • WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    RANAHBERITA- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta pemerintahan baru yang dipimpin Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla menuntaskan kasus lumpur lapindo di Jawa Timur secara lebih komprehensif.

    “Jangan hanya dipandang sebagai kewajiban mengganti lahan yang tertimbun lumpur, lebih kompleks dari itu, sehingga perlu penuntasan menyeluruh,” kata Direktur Walhi Jawa Timur Ony Mahardika di Jakarta, Jumat (3/10/2014).

    Ia mengatakan penyelesaian persoalan yang dihadapi korban Lapindo harus tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    Dalam hal ini, korban lumpur Lapindo adalah pengungsi internal yang membutuhkan jaminan atas terselenggaranya kebutuhan sesuai dengan kondisi mereka.

    Jaminan tersebut antara lain hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, kebebasan bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah Indonesia dan lainnya.

    “Kami merekomendasikan pemerintahan yang baru untuk secara komprehensif, memperhatikan usaha pemulihan hak-hak korban Lapindo,” ujarnya.

    Upaya pertama yang paling mendesak adalah mengambil alih sisa pembayaran kepada korban, kemudian ditagihkan kembali kepada Lapindo.

    Proses pemenuhan ganti rugi tersebut menurutnya bukan sekedar membayar berkas-berkas surat tanah warga, namun perlu pemetaan kelompok-kelompok korban Lapindo.

    Artinya korban-korban yang ada dalam skema “cash and carry” dengan cicilan, “cash and resettlement”, yang menolak cicilan maupun yang menuntut skema lain selain jual beli harus segera dituntaskan demi keadilan bagi semua korban Lapindo.

    Selain ganti rugi, pemulihan lingkungan dan jaminan kesehatan juga harus direalisasikan sebab usaha menutup semburan lumpur bukanlah prioritas dalam mitigasi bencana lumpur Lapindo tapi pengendalian luapan lumpur di permukaan.

    Pembuangan lumpur melalui kali atau kalan porong dan juga saluran air lainnya membuat pencemaran sistem air bawah tanah di sekitar semburan sampai Selat Madura akan terus meningkat.

    Jaminan pendidikan menurut Ony juga harus diperhatikan sebab sekitar 63 institusi pendidikan yang tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo, belum satupun yang ditangani pemerintah.

    Berikutnya pemulihan sosial dan budaya warga korban lumpur Lapindo terkait pemindahan paksa korban dari kampung halaman mereka yang terendam lumpur ke hunian baru.

    “Masalah ini kerap luput dari perhatian publik dan media massa. Melekatkan diri ke lingkungan baru, apalagi dilakukan dengan paksaan akan menambah beban bagi pemulihan krisis sosial, ekonomi, psikologis,” katanya menjelaskan.

    Termasuk pemulihan ekonomi juga mendesak dilakukan sebab sebanyak 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja terpaksa tutup karena bencana lumpur Lapindo.

    Tidak kalah penting menurut Ony adalah administrasi kependudukan. Sebab tidak adanya daftar pemilih tetap saat Pemilu 2014 bagi korban Lapindo menjadi salah satu masalah yang memperlambat pemenuhan hak-hak korban Lapindo. (Ant/Ed1)

    Sumber: http://ranahberita.com/30885/walhi-minta-jokowi-jk-tuntaskan-penyelesaian-kasus-lumpur-lapindo