Tag: logam berat

  • KOMNAS HAM Rekomendasikan Pemulihan Hak Korban Lapindo

     

    Korbanlumpur.info – Sidoarjo, 21 Juli 2017

    Emir Firdaus selaku wakil ketua DPRD Kabuoaten Sidoarjo memberikan sambutan mengawali dialog hasil audit HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM. Ia berharap hasil audit HAM dalam kasus Lapindo bisa memberikan gambaran yang jelas atas persoalan Lapindo karena sampai saat ini masih banyak persoalan yang belum diselesaikan. Ia juga mengharap terjadi dialog antara warga, baik dalam peta terdampak maupun di luar peta, yang sudah selesai pemenuhan ganti rugi maupun yang belum.

    Nur Khoiron, wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berterimakasih atas fasilitasi DPRD Kabupaten Sidoarjo sehingga Komnas HAM bisa melakukan dialog dengan warga korban lumpur Lapindo. Ia dan tim diberi mandat oleh sidang paripurna Komnas HAM untuk melakukan kajian atau audit atas pengelolaan permasalahan lumpur Lapindo sejak 2006 hingga 2017. Melalui surat mandat paripurna 2015 ia diberi tugas memeriksa semua model kehadiran negara dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo.

    Apapun bentuk bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam maupun hal lainnya, ada situasi hilang atau terganggunya hak korban. Dalam kasus lumpur Lapindo juga terjadi hal yang sama dan itu perlu dipulihkan atau reparasi. Ia berharap tim Komnas HAM saat ini adalah tim terakhir untuk merespon pengaduan kasus Lapindo. Sebelumnya telah banyak tim-tim yang dibentuk guna merespon pengaduan warga korban.

    “Setiap korban berhak diberi upaya pemulihan, dalam HAM, upaya ini dikenal sebagai reparasi. Modelnya bisa rehabilitasi, ganti rugi, dan sebagainya,” kata Khoiron.

    Komnas HAM Ham diberi mandat oleh undang-undang sebagai lembaga independen yang tidak masuk dalam kelembagaan eksekutif maupun yudikatif, namun ia bisa berdiri pada keduanya untuk pemenuhan hak asasi manusia.

    Pembelajaran selama selama tahun dalam pengelolaan lumpur Lapindo bisa menjadi rujukan agar tidak membuat kesalahan yang sama dalam pengelolaan bencana serupa. Ia berharap ada masukan dari warga atas bagian rekomendasi laporan agar bisa lebih kuat.

    Hasil Audit HAM
    Dalam penyampaian isi laporan, Khoiron memaparkan bahwa Komnas HAM adalah satu-satunya lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk memantau pemenuhan HAM di Indonesia. Ia juga bertugas memberikan penyuluhan HAM. Kewenangan lain adalah melakukan mediasi atas kasus-kasus yang menimbulkan dampak terhadap terpenuhinya HAM masyarakat.

    Ia dan tim diberi tugas sidang paripurna untuk memeriksa kehadiran negara dan perusahaan dalam melakukan pemulihan korban. Ia mengulangi dan menegaskan,”kejadian bencana selalu memberi dampak mengurangi atau menghilangkan hak-hak warga”.

    Saat ini laporan akhir masih dalam proses penyempurnaan sehingga belum bisa dibagikan. Ia kemudian menyampaikan ringkasan lima bab laporan yang terdiri: pertama, latar belakang kenapa ada tugas memeriksa pemenuhan HAM dalam kasus Lapindo oleh Komnas saat ini maupun tim-tim sebelumnya.

    Komnas pernah memeriksa kasus Lapindo sesuai UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM berkaitan kemungkinan terjadinya pelanggaran berat HAM. Komnas melakukan penyelidikan dan hasilnya disampaikan dalam sidang paripurna. Sayangnya dugaan pelanggaran berat HAM yang disampaikan oleh tim penyelidik belum bisa diterima dalam sidang paripurna Komnas HAM.

    Namun, setelah keputusan sidang paripurna ternyata masih ada pengaduan-pengaduan warga. Komnas kemudian melakukan pemeriksaan sehingga bisa merumuskan pembelajaran penting agar tidak terjadi pengulangan tindakan pelanggaran HAM yang sama dalam kasus serupa dimasa mendatang.

    Pada bab dua, ia paparkan prinsip-prinsip HAM yang mrndasari mengapa negara wajib melakukan pemulihan dan pemenuhan HAM korban bencana. Bab ini juga memaparkan kenapa perusahaan juga punya kewajiban dalam perlindungan, pemulihan, dan pemenuhan HAM karena dalam UU biasanya hanya menyebutkan aktor utama hanya negara. Dalam perkembangannya, norma HAM secara internasional telah mewajibkan perusahaan untuk melakukan perlindungan HAM.

    Dalam praktiknya memang didapati kesulitan jika aktor pelanggar HAM bukan negara, namun Komnas HAM telah menemukan landasan-landasan agar perusahaan juga berkewajiban melakukan pemenuhan HAM seperti negara.

    Bab tiga memaparkan bagaimana tanggjawab negara dan perusahaan dalam pemenuhan HAM korban Lapindo secara runut sejak awal dibentuk Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo hingga dana talangan di era presdien Joko Widodo. Pada beberapa bagian disebutkan masih belum jelasnya status penyebab semburan lumpur dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini cukup menyulitkan pemulihan korban.

    Badan ad hoc BPLS dibentuk melalui perpres sejak 2007. Mekanisme yang dijalankan dalam penanganan korban yang diatur dalam kebijakan publik ternyata menggunakan landasan hukum perdata melalui mekanisme jual beli. Ini menjadi problem dalam pemulihan HAM korban hingga saat ini.

    Ada temuan-temuan proses pemulihan yang tidak dilakukan oleh negara maupun perusahaan. Misalnya ada banyak hak-hak korban Lapindo yang belum berkaitan dengan pulihnya lingkungan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan hak dasar lainny . Dalam ranah HAM meski telah dilakukan pemulihan-pun ada hal yang masih perlu diukur yang dalam HAM dikenal sebagai satisfaction. Istilah ini berkaitan dengan terpenuhi atau tidaknya kepuasan korban atas pulih atau tidaknya hak mereka.

    BPLS memang membuat definisi kasus lumpur Lapindo sebagai bencana geologi, namun definisi ini tidak ada landasan hukum dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tanpa landasan regulasi dalam pengelolaan bencana, pemenuhan HAM ternyata dilakukan melalui asset based, sehingga korban yang diidentifikasi hanya berdasar kepemilikan aset dan bukan individual yang memiliki hak dasar melekat sebagai manusia. Dalam kasus Lapindo, warga yang tidak memiliki aset tidak bisa ditangani pemulihan HAM-nya. Bahkan jika memeriksa kasus Lapindo lebih mendalam, pemulihan hak-hak dasar seperti lingkungan yang baik, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi tidak bisa diperoleh oleh korban.

    Pada bab empat, Komnas HAM telah menganalisis, tidak ada mekanisme landasan hukum yang digunakan menjadi rujukan dalam penegakan hukum terhadap usaha bisnis yang telah membawa dampak pelanggaran HAM. Dalam kasus Lapindo, negara juga tidak melakukan seruan untuk upaya-upaya bantuan kemanusiaan selama sebelas tahun semburan lumpur. Dalam kasus lapindo, negara dan perusahaan tidak memiliki data persebaran korban. Ini menjadi indikator tidak dilakukannya upaya pemulihan HAM korban Lapindo.Pemerintah dan perusahaan dinilai gagal menghentikan semburan lumpur. Tidak ada data terkini karena tidak dilakukan upaya penghentian maupun pencari-tahuan informasi mengenai lumpur Lapindo, dampak, dan para korbannya. Sehingga nampak bahwa korban Lapindo belum pulih hak-haknya sebagai manusia.

    Bab terakhir yang dipaparkan berkaitan dengan rekomendasi. Rangkuman rekomendasi terdiri kepada presiden, menteri pu, bnpb, pemerintah daerah, penegak hukum, legislatif.

    Salah satu rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden republik Indonesia adalah untuk mengevaluasi model pemulihan hak korban melalui mekanisme jual beli karena ada dampak-dampak lanjutan bagi korban Lapindo.

    UUPLH 32/2009 bisa menjadi landasan dalam pembangunan yang berdampak pada lingkungan yang bisa memberikan ruang bagi negara untuk melindungi HAM warga sejak masa awal perencanaan kegiatan usaha. UU No 39/1999 tentang HAM juga menjadi landasan bagi pemenuhan hak anak, hak perempuan, dan hak atas lingkungan yang baik sehingga komnas merekomendasi agar dilakukan inventarisasi data terhadap korban bencana.

    Rekomendasi kepada pemerintahan daerah salah satunya adalah merumuskan rencana tata ruang wilayah (RTRW) agar pengelolaan wilayah bencana kedepan bisa lebih jelas. Yang lain, Komnas HAM juga memberikan rekomendasi agar proses ganti rugi fasilitas sosial dan fasilitas umum bisa dilakukan agar korban bisa memulihkan kehidupan sosial mereka.

    Sebagi penutup pemaparan, Khoiron meminta masukan dan komentar atas rekomendasi yang dibuat agar lebih mengena dan bisa ditindaklanjuti dalam pemulihan HAM korban lapindo oleh para pihak.

    Dialog
    Dimoderasi oleh ketua pansus lumpur lapindo, Mahmud, dialog dimulai dengan penyampaian Sungkono, korban Lapindo dan juga anggota DPR RI. Ia menyampaikan ada dinamika Perpres yang semakin tidak menguntungkan posisi warga. Misalnya penggantian kerugian warga didasarkan peta terdampak yang bisa berubah sewaktu-waktu. Penanganan sangat lambat terhadap korban yang sejak masa awal menjadi korban, salah satunya adalah para warga yang memiliki usaha di dekat lokasi semburan dan lahannya terbenam lumpur. Padahal dalam Perpres warga korban disebutkan secara jelas sebagai warga yang memiliki aset tanah dan bangunan di lokasi terdampak. Untuk itu ia meminta agar proses pemulihan awal bisa disegerakan penggantian aset warga korban Lapindo. Keputusan MK seharusnya bisa menjadi landasan pemenuhan hak-hak semua warga korban Lapindo. Rapat komisi DPR selalu merekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan itu, namun tidak pernah terealisasi.

    Ketua Pusat Penanganan Lumpur Sidoarjo (PPLS) Dwi Sugiyanto menyampaikan perlu ada penajaman rekomendasi terutama penanganan dalam PAT. Misal kepada presiden bisa direkomendasi dilakukan pemenuhan ganti rugi kepada keseluruhan korban, termasuk kepada pengusaha yang menjadi korban. Memang negara sudah berusaha dengan mengalokasikan dana antisipasi 773M pada tahun 2015, namun ini belum semua korban bisa terpenuhi.

    Ia juga menyampaikan, pendanaan akan sangat mempengaruhi proses pengelolaan lumpur Lapindo dalam PAT terutama berkaitan dengan pemulihan infrastruktur. Untuk memudahkan PPLS menjalankan tugasnya, maka persoalan ganti rugi mestinya sudah diselesaikan.

    Seismik 3 Dimensi sudah diupayakan dilakukan, namun ini belum disetujui kementerian keuangan karena dilihat sebagai upaya mencari tahu potensi migas saja, padahal seismik ditujukan untuk mitigasi bencana.

    Dalam upaya meningkatkan kenyamanan warga maka pemulihan infrastruktur perlu dilakukan serius. Upaya konkrit pengendalian lumpur adalah dengan pengelolaan volume lumpur dengan pengendalian infrastruktur yang terstruktur. Elevasi lumpur terus menurun menandakan adanya penurunan muka tanah secara m=enyeluruh di kawasan sekitar semburan.

    Untuk fasos dan fasum, PPLS memprioritaskan penggantian tanah-tanah waqaf yang landasan aturannya bisa menggunakan peraturan yang sudah ada. Pengamanan aset bisa dilakukan melalui upaya penyelesaian administratif aset warga, misalnya memfasilitasi proses sertifikasi aset warga.

    Sungkono menyela, ia menyampaikan agar ada rekomendasi yang lebih konkrit pada penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo keseluruhan warga tanpa membedakan status sebagai pengusaha atau bukan karena sudah ada putusan MK yang menjadi landasan.

    Anggota DPRD lain yang juga menjadi korban Lapindo dari Desa Jatirejo, H Maksum memberikan masukan agar komnas HAM bisa lebih memerinci dan medetailkan model penyelesaian pemenuhan ham korban lapindo, naik korban dalam PAT dan diluar PAT. Ia menceritakan pada saat awal memang ada opsi ganti rugi, ada opsi cash and carry (tunai), resettlement (relokasi), dan juga ada yang tidak jual aset. Di desa Jatirejo misalnya warga tidak tahu apa dasar keputusan harga lahan yang diputuskan pemerintah dan perusahaan. Padahal sebelum ada semburan lumpur harga tanah di Jatirejo sudah lebih dari harga yang ditentukan dalam ganti rugi yang hanya sebesar 120 ribu per meter persegi untuk tanah sawah. Banyak juga aset-aset tanah waqaf yang digunakan kegiatan pendidikan yang belum terealisasi ganti rugi hingga saat ini.

    Ritonga, ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo(GPKLL) merekomendasi agar komnas merekomendasi pemerintah tidak melakukan dikotomi warga pengusaha dalam mendapatkan ganti rugi. Ia mengusulkan agar DPR RI tidak mengesahkan APBN jika masih terjadi dikotomi pemberian ganti rugi. Demikian juga kepada DPRD Sidoarjo agar tidak mengesahkan APBD Sidoarjo.

    Sementara itu perwakilan nadhir musholla dan masjid di Porong menyampaikan bahwa baru dalam kasus penanganan Lapindo ada istilah tanah banci. Misalnya ada yang secara sertifikat tanah kering namun dalam realisasinya digunakan utk pertanian karen BPLS melandasakan pada peruntukan aktual, sehingga ini menjadi sengketa bertahun-tahun. Sebisa mungkin penanganan pemulihan aset-aset tanah kolektif warga bisa dikembalikan kepada warga secepatnya. Ini berkaitan dengan kepercayaan iman bahwa pemulihan tanah waqaf adalah kewajiban penerima waqaf agar tidak berdosa.

    Korban Lapindo lainnya, Supari menceritakan, ada banyak yang tidak bisa memulihkan diri paska semburan Lapindo meski telah menerima ganti rugi. Ini seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar bisa ditangani karena penggantian aset tidak bisa seluruhnya bisa menjadi dasar penilaian pemulihan korban. Masih ada banyak warga yang tidak bisa membangun kembali rumah, tidak mendapat pekerjaan, pendidikan dan juga berkaitan dengan kesehatan. Tidak banyak pihak yang memiliki kepedulian untuk melihat hal-hal seperti ini. Yang selalu dilihat oleh publik adalah warga korban sudah menerima ganti rugi dan masalahnya selesai.

    Djuwito, dari Renokenongo juga menyampaikan memang ada banyak korban Lapindo yang belum pulih dan ketinggalan dalam penyelesaian ganti rugi. Keputusan MK bisa mejadi dasar pelaksanaan ganti rugi terhadap warga yang belum diganti.

    Yang menarik ada pernyataan Jon Subianto, dari Gedang, yang mengharap Komnas HAM bekerja karena panggilan dan rasa kemanusiaan. Ia mencontohkan dirinya yaang istrinya sakit-sakitan sehingga ia sampai disarankan untuk kawin lagi. Penting disampaikan kepada Presiden agar penanganan korban lapindo harus konprehensif seperti masalah kesehatan dan lingkungan. Hal serupa disampaikan pula oleh Ikhwan dari Glagaharum. Ia pernah mendapati di desa Glagaharum terjadi warga meninggal dalam jumlah banyak dan beruntun. Perlu ada jaminan kesehatan yang diprioritaskan bagi korban lumpur Lapindo sehingga bisa berobat diwilayah manapun dan mendapat jaminan pembiayaan dan penanganan medis.

    Kepala BPBD Sidoarjo, Dwijo, menyampaikan agar rekomendasi Komnas HAM ditajamkan mengenai penyelesaian fasum dan fasos sehingga lebih ada landasan bagi para pihak untuk menyelesaikannya. Sementara ketua Pansus lumpur Lapindo, Mahmud, mengharap rekomendasi terkait tata ruang bisa ditajamkan karena belum ada rekomendasi berdasar geologi sejauh mana radius aman bagi kegiatan pembangunan. Ini penting untuk pengelolaan pembangunan kedepan.

    Khoiron menyambut baik kesluruhan masukan para pihak. Laporan akhir akan dilakukan paling akhir Agustus yang hasilnya bisa diunduh pada website Komnas HAM dan untuk korban lapindo jika menginginkan bentuk cetak bisa diupayakan untuk mendapatkannya.

    Pertemuan Warga
    Sehari sebelumnya (20/7) tim Komnas HAM juga melakukan dialog dengan korban Lapindo di Pasuruan. Mereka mendapat banyak masukan terkait situasi pemulihan hak-hak korban Lapindo. Irsyad menyampaikan setidaknya rekomendasi Komnas HAM agar tidak terjadi hal serupa lumpur Lapindo dikemudian hari bisa dibuat rekomendasi tegas yang melarang kegiatan industri migas di dekat permukiman warga.

    Dewan Nasional Walhi, B Catur Nusantara yang juga hadir dalam dialog memberikan masukan kepada Komnas HAM agar merekomendasi pemulihan lingkungan kepada para pihak pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Ia juga berharap rekomendasi Komnas HAM kepada seluruh jajaran pemerintah daerah untuk segera melakukan segala upaya untuk proses pemulihan korban Lapindo. Upaya ini bisa dimulai dengan melakukan inventarisasi sebaran seluruh korban dan status pemulihan kehidupan mereka saat ini.

    “Upaya pemulihan lingkungan harus dilakukan sebagai bentuk pemenuhan dan pemenuhan hak korban Lapindo dan warga yang tinggal di sekitar area semburan.  Dalam berbagai penelitian telah diketahui sebagian wilayah ini mengandung logam berat timbal dan kadmium dalam jumlah tinggi yang bisa mempengaruhi kesehatan warga. Lingkungan yang pulih bisa menjadi faktor utama untuk memulihkan kesehatan dan perekonomian warga,” terangnya. (c)

  • Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Pada tahun 2007 BPK menghasilkan sebuah dokumen penting dalam kasus lumpur Lapindo. Lembaga ini melakukan audit kinerja atas kejadian semburan lumpur Lapindo. Temuan-temuan dan rekomendasinya sangat penting, namun tidak pernah dijadikan pijakan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan lumpur Lapindo.

    BPK menemukan fakta-fakta bahwa Lapindo Brantas Inc. (LBI) tidak mampu menangani masalah di Sumur Banjarpanji 1 berupa rekahan pada formasi yang menyebabkan lumpur menyembur ke permukaan. Bahkan, pada bahan presentasi untuk Pertemuan Intosai-WGEA di Tanzania pada Juni 2007, Anwar Nasution menyampaikan bahwa kejadian lumpur Lapindo merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia.

    BPK juga menemukan bahwa regulasi dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam di Indonesia saat ini tidak melindungi warga dan lingkungan. Utamanya pada kawasan-kawasan padat huni, tidak ada kekhususan pengelolaan sektor ini. Ditambah pula lemahnya pengawasan yang dilakukan lembaga negara dalam proses eksplorasi dan eksploitasi.

    Resiko semburan lumpur Lapindo semakin tinggi karena: LBI tidak menggunakan perusahaan kontraktor yang telah memiliki reputasi dalam pengeboran; penggunaan alat yang tidak sesuai standar; serta, kualifikasi tenaga teknis yang kurang atau tidak bisa dikontrol dengan baik oleh pemerintah.

    Setahun setelah kejadian semburan lumpur Lapindo itu, BPK juga menyimpulkan bahwa pemerintah sangat kurang dalam merespon kejadian semburan dan cenderung lambat. Akibatnya warga semakin kesulitan dalam menemukan lokasi yang lebih aman dan juga percepatan pemulihan ekonomi mereka. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan perlindungan atas properti warga dan juga tidak pernah dilakukannya assesmen resiko dalam desain penanganan lumpur Lapindo. Pengelolaan dilakukan seadanya, tanpa pemahaman mendasar bagaimana lumpur Lapindo telah berdampak dalam berbagai dimensi kehidupan warga dan butuh penanganan yang khusus.

    Ketiadaan laporan yang konsisten para periset maupun pengurus negara terkait kandungan berbahaya lumpur dan air yang dikeluarkan lumpur Lapindo menambah ketidakjelasan bagaimana penanganan keluhan warga atas tercemarnya air sumur, kawasan pertanian, tambak, kawasan laut, dan juga permukiman.

    Rekomendasi BPK agar pemerintah segera melakukan riset mendalam dampak kandungan bahan berbahaya lumpur sepertinya tidak pernah dilakukan serius. Ini terlihat laporan penanganan lingkungan yang ditampilkan BPLS dalam situsnya (www.bpls.go.id) hanya berisi sebaran gelembung gas dan penurunan muka tanah. Padahal, Tarzan Purnomo (2014) menunjukkan logam berat telah menyebar di kawasan pertambakan dan sungai di wilayah timur area semburan lumpur Lapindo. Lumpur tidak saja mencemari air namun sudah mengkontaminasi tubuh ikan. Penelitian-penelitian serupa yang telah dihasilkan sejak 2007 menunjukkan kandungan logam berat mencemari kawasan di sekitar semburan Lapindo.

    Purnomo memeriksa kawasan tertentu secara periodik selama tiga kali. Di Renokenongo memeriksa kolam ikan, di Gempolsari memeriksa sungai, di Tegalsari memeriksa kolam tandon, dan kolam biasa di Permisan. Penelitian ini menunjukkan jumlah kandungan logam berat yang jauh melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 45/2002 dan Kepmen LH No. 51/2004. Pemeriksaan kandungan Cadmium (Cd) pada air menunjukkan jumlah 0.018 – 0.080 part per million (ppm). Padahal, ambang batas keamanan hanya pada level 0.01 ppm. Hal yang sama juga ditemukan pada kandungan Timbal (Pb) yang ditemukan sejumlah 0.013-0.074 ppm. Padahal, ambang bakunya hanya pada level 0.03 ppm.

    Yang mengejutkan adalah temuan kandungan logam berat Cd dan Pb pada tubuh ikan. Jumlah Cd ditemukan 0.037-1.542 ppm, padahal ia tak boleh lebih dari 0.001 ppm sebagai ambang batas keamanan. Demikian halnya Pb ditemukan ribuan kali lipat melebihi ambang batas 0.008 ppm dengan temuan sejumlah 0.179-1.367 ppm. Logam berat dalam dosis tinggi bersifat karsinogenik pemicu kanker dalam waktu panjang. Hasil penelitian ini sepertinya juga konsisten dengan temuan sebelumnya pada tahun 2009.

    Riset Walhi yang memeriksa kandungan logam berat dalam air dan lumpur Lapindo di puluhan titik area semburan lumpur Lapindo dan sungai Porong pada 2008 juga menemukan hal serupa. Jumlah Cd dan Pb juga ribuan kali diatas ambang baku.

    tabel kandungan logam berat

    Diduga kuat ada korelasi erat antara pemburukkan kualitas lingkungan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Misal, peningkatan jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong tercatat sejumlah 24.719 (pada 2005) menjadi 52.543 (2009). Kenaikan lebih dari dua kali lipat juga terjadi pada penyakit Gastrytis yang berjumlah 22.189 (tahun 2009) dari jumlah semula 7.416 warga (tahun 2005).

    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bekerjasama dengan Walhi Jatim pernah memeriksa 20 warga korban Lapindo yang tinggal di wilayah semburan lumpur Lapindo pada 2010. Dari seluruh warga yang diperiksa itu, 75% mengalami kelainan pada pemeriksaan lengkap Haematologi.

    grafik kesehatan

    Rekomendasi agar dilakukan revisi atas kebijakan monitoring eksplorasi dan eksploitasi migas juga tidak dilakukan oleh pemerintah. Di kawasan di sekitar semburan lumpur Lapindo, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM masih mengijinkan LBI untuk mendalamkan sumur pengeboran mereka di Desa Kalidawir yang jaraknya kurang dari tiga kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo ke arah Timur.

    Menyusun kebijakan pengelolaan bencana yang tidak hanya berbasis bencana alam juga lambat dikerjakan. BPK menyarankan adanya pembangunan kebijakan komperehensif atas bencana dan perlu dilakukan penguatan kapasitas institusi pengelola bencana berdasar pengalaman bencana alam dan bencana buatan manusia, seperti lumpur Lapindo. Sayang, wacana penanganan bencana industri sepertinya baru akan dibahas beberapa tahun lagi.

    Pemerintah pimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sepertinya berniat untuk memperbaiki karut marut persoalan lumpur Lapindo. Jokowi menjanjikan akan menalangi kompensasi untuk korban Lapindo yang mestinya menjadi beban LBI, melalui Minarak Lapindo Jaya (MLJ) juru bayar LBI untuk jual beli aset dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang tak kunjung selesai. Sayang, hingga menjelang 9 (sembilan) tahun usia semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015 nanti, janji itu belum ada realisasinya.

    Niat Jokowi itu pun sepertinya hanya solusi parsial atas dampak semburan lumpur Lapindo. Kerusakan yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo sepertinya akan menapaki waktu yang panjang untuk bisa dipulihkan. Jika pemerintah tidak melakukan kajian mendalam yang bisa menghasilkan gambaran krisis sosial-ekologis yang terjadi akibat semburan itu, maka penyelesaiannya juga hanya menyentuh permukaan saja. Kerusakan lingkungan, relasi sosial yang hancur, pendidikan anak-anak yang terancam, kesehatan yang tidak terjamin, dan sumber ekonomi yang hilang, bila tidak ditelusuri mendalam niscaya akan semakin memperpanjang umur krisis di wilayah bagian selatan Sidoarjo ini.

    Berbagai dokumen temuan atas dampak semburan mestinya menjadi bahan untuk dibaca ulang agar memahami situasi. Pemerintahan Jokowi harus melakukan kajian kebutuhan yang mendalam dan melibatkan warga untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi tindakan dan upaya pemulihan sosial-ekologis di sekitar lumpur Lapindo.

    Semua institusi negara mesti terlibat dalam upaya pemulihan korban Lapindo. Tidak bisa lagi krisis multi dimensi yang dihasilkan lumpur Lapindo ditangani badan khusus BPLS yang hanya menangani “wilayah terdampak” dan tindakan-tindakan terbatas seperti saat ini.

    Bambang Catur Nusantara, Badan Pengurus Jatam dan editor korbanlumpur.info

    Pustaka Acuan

    Purnomo, Tarzan (2014) Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackishwater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud, Proceeding of International Conference on Research Implementation and Education of Mathematichs and Sciences 2014, Yogyakarta State University, 18-20 May.

  • Walhi: Lapindo Belum Layak Jadi Geopark

    KBR, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menolak rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan banjir lumpur panas  Lapindo sebagai kawasan geopark.

    Geopark dikenal sebagai kawasan terpadu dengan warisan geologi guna mempromosikan pembangunan masyarakat setempat secara berkelanjutan.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Bambang Catur, kawasan Lapindo belum layak untuk dijadikan geopark karena masih perlu kajian lebih lanjut. Lokasi itu, kata dia, berbahaya bagi manusia.

    “Penelitian terakhir menyebutkan kandungan logam berat di ikan di sekitar Lapindo cukup tinggi, misalkan kandungan timah hingga 100 kali lipat. Ini berkorelasi dengan data kesehatan 2005-2009, warga dengan gangguan kesehatan saluran pernafasan cukup tinggi dari 23 ribu jadi 52 ribu, naik dua kali lipat selama 4 tahun,” jelas Bambang Catur dalam perbincangan dalam Sarapan Pagi KBR, Selasa (30/12).

    Karenanya, ia berharap Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) membuat kajian tersendiri soal ini guna memastikan keamanan lingkungan di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.

    “Saya tidak membaca BPLS melakukan kajian-kajian. Penetapaan apa pun yang penting landasan-landasannya. Kalau nyatanya kawasan itu berbahaya bagi manusia, bagaimana mungkin kita mengundang anak-anak dalam kandungan lumpur yang berbahaya itu,” ujar Bambang.

    Soal rencana pembuatan geopark di kawasan lapindo sebelumnya diungkap Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono. Menurut Basuki, rencana itu bagian dari edukasi bagi masyarakat. Terlebih lagi di dalam lumpur terkandung mineral yang mungkin dapat dimanfaatkan.

    Anto Sidharta

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3375674_4262.html