Tag: Lumpur Panas.

  • Batal Dibayar 20%, Pengungsi Pasar Baru Tutup Tanggul

    “Kami hanya ingin bersilaturahmi dan mengenang saat-saat kami masih di desa ini, sekaligus meminta kejelasan kapan 20%nya akan dibayar?” tutur Sunoko, warga Renokenongo. “Kami hanya hanya dapat kertas, tulisan surat bukti pembayaran (Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) yang ditandatangani 16 September 2008). Katanya uang akan cair 2 minggu lagi. Namun setelah kami cek lagi rekening kami masih kosong. ”

    Data soal berapa jumlah warga Renokenongo yang belum dibayar 20% simpang siur. Menurut warga ada sekitar 1000 kepala keluarga belum mendapatkan pembayaran. Namun menurut Ahmad Zulkarnaen, humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, ada 495 berkas permohonan pembayaran yang masuk bulan Agustus 2008. Yang jelas semua berkas ini belum dibayar.

    Pihak BPLS yang kami mintai konfirmasi mengenai hal ini menyatakan telah melakukan pendekatan terhadap warga untuk menyelesaikan masalah ini, “warga Renokenongo pada bulan Juli 2008 telah kami mintai data aset untuk selanjutnya kami verifikasi dan diserahkan ke fihak PT Minarak Lapindo Jaya,” ujar Zulkarnain selaku Humas BPLS.

    Warga selanjutnya menyerahkan berkas mereka pada pertengahan Agustus untuk dilakukan verifikasi oleh pihak BPLS. Ada sebanyak 495 berkas warga yang diterima oleh pihak BPLS. Proses verifikasi sendiri berjalan hingga pertengahan september 2008. Tanggal 16 september 2008 terjadi Ikatan jual beli antara warga dan pihak PT MLJ. “ Proses pembayaran sendiri harusnya dilakukan paling lambat 10 hari setelah terjadinya ikatan jual beli terjadi. Kami telah menghimbau kepada warga bahwa dalam ketika proses pembayaran sedang berlangsung penanggulan juga akan tetap dilaksanakan. Tapi setelah lebih dari satu bulan warga tidak dibayar juga, akhirnya mereka melakukan penutupan tanggul.” Lanjut Zulkarnain.

    PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar dari PT Lapindo Brantas menyatakan, terlambatnya proses pembayaran diakibatkan oleh terjadinya krisis keuangan global yang berdampak pada perusahaan induk mereka. Pernyataan itu dikeluarkan oleh PT MLJ ketika dimintai konfirmasi oleh pihak BPLS mengenai keterlambatan proses pembayaran ini. “Kami ini orang kecil pak, gak ngerti sama krisis global-krisis global yang dibilang sama orang-orang itu. Kami hanya ingin hak kami yang 20 % dibayar dulu, biar bisa dingin hati warga ini.” Ujar Darto, 50 tahun, salah seorang warga yang ikut aksi penutupan tanggul.

    Sebelumnya warga juga mendapat pernyataan akan mendapatkan tambahan jatah hidup untuk satu bulan ketika proses pembayaran telah lewat dari waktu yang ditentukan. “Tapi sampai satu setengah bulan waktunya sudah lewat kami tetap tidak dapat apa-apa sama sekali. Itu yang ngomong pak Suliyono, orang BPLS juga” lanjut Darto. Menurut Zulkarnain ketika kami konfirmasi, seharusnya memang ada pemberian tambahan jatah hidup selama satu bulan ketika terjadi keterlambatan proses pembayaran. “Aturannya memang PT MLJ memberikan tambahan jadup ketika pembayaran 20% itu belum juga terbayar dua minggu setelah terjadi ikatan jual beli. Di pasar baru porong sendiri ada sekitar 2000 jiwa yang tinggal. Jadi PT MLJ harus mengeluarkan dana sekitar 600 jutaan untuk membayar jadup untuk satu bulan.” Ujar Zulkarnain.

    Warga sendiri bertekad untuk tetap menduduki tanggul hingga uang pembayaran sebesar 20 persen itu cair. “Kami kurang apa lagi, Pak? kami sudah nurut banget. Ditawarkan resettlement, kami ikut. dilarang demo, kami gak ikut-ikut demo. Tapi sekarang kami ditipu lagi, kami selama ini merasa tidak diperlakukan secara manusiawi. Mana keadilan sosial bagi warga indonesia itu?”ungkap Darto.
    Warga tidak akan membiarkan penanggulan dilanjutkan hingga ada kejelasan mengenani pembayaran 20 persen kapan akan dibayarkan, “saya ini sudah 55 tahun, sudah bau tanah. Tapi sebelum saya mati, saya musti berjuang mempertahankan hak-hak kami. Kalau seperti ini terus, sampai mati pun saya tidak akan terima. Arwah saya akan datangi Si Bakrie itu, saya mintai dia pertanggungjawaban,” tandas Darto. [mas]
     

  • Sekolah Khalid bin Walid Akhirnya Pindah

    korbanlumpur.info – Sampai Jumat (24/10) kondisi sekolah Khalid bin Walid kian tak berkutik. Banjir air asin dari pusat semburan lumpur Lapindo, yang dua hari sebelumnya menyebabkan sekolah ini terpaksa diliburkan, kian meninggi dan menutup keseluruan akses jalan ke Renokenongo dari arah timur dan bikin sekolah ini memperpanjang liburnya.

    “Senin baru bisa masuk,”  tutur Tri Ari Wilujeng, guru biologi Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid.

    Setelah luapan lumpur ini, dua tahun lalu, sekolah ini berjalan dengan tidak normal. Siswa-siswanya menjadi sulit dikontrol kedatangannya ke sekolah.

    “Hari ini anak ini yang datang besok orang lain. Saya jadi kesulitan mengingat siswa saya,” tutur Sudiono Akhmad  Rofiq, guru sosiologi MA dan juga korban lumpur Lapindo dari desa Glagaharum RT 04/01.

    Hal ini dimaklumi oleh Rofiq karena memang kebanyakan siswa dari keluarga para korban yang mengungsi ke berbagai tempat di Sidoarjo sampai Pasuruan dan ini menjadi kesulitan tersendiri bagi para siswa karena musti mengeluarkan biaya tambahan untuk datang ke sekolah.

    Rofiq tahu betul banyak korban yang kehilangan pekerjaan dan ganti rugi dari Lapindo juga tak kunjung jelas juntrungannya.

    Tak hanya itu, karena tiga kali kena banjir lumpur dan air asin, buku-buku pelajaran milik sekolah ini juga dititipkan ke beberapa rumah guru untuk pengamanan. Ini tentu saja menyulitkan proses belajar-mengajar siswa-siswa Khalid bin Walid dari TK sampai tingkat Aliyah yang jumlahnya mencapai 300 lebih siswa.

    Meski tiga kali kebanjiran, sejak luapan lumpur, sekolah ini tetap bertahan menempati sekolah mereka karena tak ada peringatan atau inisiatif baik dari pemerintah atau Lapindo untuk memindah sekolah ini. Alasannya, karena sekolah ini swasta.

    “Tak ada perintah untuk pindah. Yang disuruh pindah  hanya sekolah negeri,” tutur Rofiq.

    Peringatan untuk pindah tak juga datang hingga desa Renokenongo ditanggul, sekira seminggu lalu, dan karena tidak ada harapan lagi banjir air asin akan surut sebab tanggul di sebelah barat tanggul cincin pusat semburan lumpur yang jebol tidak diperbaiki dengan layak oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Akhirnya pimpinan sekolah ini berinisiatif sendiri untuk pindah ke desa sebelah timur mereka; Glagaharum. Mereka mencari tempat sendiri tanpa bantuan dari pemerintah ataupun Lapindo.

    Tempat baru mereka adalah sebuah gudang bekas milik toko bangunan Sakinah kepunyaan Christina, istri mantan lurah Glagaharum. Toko bangunan ini bangkrut setelah luapan lumpur karena di Glagaharum tak ada lagi yang membangun rumah setelah luapan lumpur.

    “Sejak pagi kami mengangkut meja-kursi ke Glagaharum,” tutur Toni Budiawan, kepala Tata Usaha Madrasah Tsanawiyah (MTs) Khalid bin Walid, “Masih ada dua lemari buku yang tertinggal di dalam.”

    Tempat baru ini buruk sekali karena kotor dan berdebu, meja-kursi sekolah di tata berantakan tak ada sekat  masing-masing kelas. Sementara ruang guru ditempatkan dibekas ruang kecil bekas menyimpan semen.

    “Hanya itu yang bisa saya berikan,” tutur Christina. [mam]