Tag: media alternatif

  • Indymedia amplifies voice of minorities

    By Luh De Suriyani

    More than 20 independent community-media (indymedia) activists from across the country gathered on Oct. 21-22 in Pulau Serangan, Bali, to discuss how their movement could promote the aspirations of those ignored by mainstream media.

    The participants included web-based media such as Desantara from Depok, West Java; Angkringan from Yogyakarta; and E-Tabloid from Aceh as well as community radio stations like Primadona FM from North Lombok and Horasuta FM from North Sumatra.

    The discussions included issues surrounding the lesbian, gay, bisexual and transgender (LGBT) community; the economy; public services; pluralism, and human rights.

    Rere Krisdianto from Kanal News Room explained how victims of the Lapindo mud flow in Sidoarjo, East Java, could obtain information from the multi-platform media.

    “Mainstream media outlets broadcast issues that are irrelevant and tend to be similar, such as whether or not the victims have received compensation,” he said.

    Rere claimed that Kanal provided in depth and comprehensive information about the Lapindo incident and they championed the victims’ rights.

    Kanal, through korbanlumpur.info, offers news, feature articles, opinion pieces, pictures and via Twitter — @korbanlapindo and Facebook it links to stories from mainstream media.

    Kanal also established a community radio station to reach those without Internet access. The name of the radio station — Kanal Besuki Timur — was the name of one of the villages that is no longer in the area because of the affects of the mud. Kanal has also established a SMS service and to mark the four-year commemoration of the tragedy in 2010, Kanal launched a book that contained feature stories and poetry by local children.

    Meanwhile, Amron Risdianto from Angkringan shared information about his community’s MK160 program, which mobilized people in Timbulharjo village in Bantul, Yogyakarta, to utilize SMS to exchange information.

    Citizens send SMS — topics included environment, healthcare, budget allocation, etc. — to a server and the community forward them to the whole village. They also produce a bulletin that compiles all these messages, with prizes on offer.

    “SMS technology combined with a database of the residents resulted in relative information and effective distribution,” Amron said.

    Although the tariff for sending a SMS is higher than using the Internet, people are more familiar with SMS technology.

    COMBINE Resource Institution and ICT Watch, the event organizer, said that a media bottleneck was apparent in Indonesia: although the number of media establishments had increased, they were owned by only a few.

    The organizers said that this threatened the diversity of news content.

    “We need alternative sources of information to ensure the voices of the real people are heard,” Imung Yuniardi, a comittee, said.

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/bali-daily/2013-10-23/indymedia-amplifies-voice-minorities.html

  • Tak Lelah Membuat ‘Grisingan’ Pemerintah

    korbanlumpur.info – Hari masih sore. Bau manis legit dari Pabrik Gula Candi baru saja lenyap. Tiba-tiba, hidung langsung disergap bau asing. Awalnya tipis. Makin dekat ke Porong, bau itu kian pekat. Tak bersahabat. Asap putih njlirit ke langit, persis hantu yang berebut keluar kala maghrib.

    Asap itu memang bukan asap biasa. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), udara di daerah sekitar semburan memiliki kandungan unsur beracun 2000 kali di atas normal. Penelitian tentang ini sudah hampir rampung dan tak lama lagi akan dirilis. Inilah udara yang dihirup warga korban lumpur tiap hari. Tanpa kesadaran, tanpa peringatan.

    “Padahal mereka yang bekerja di pabrik atau instalasi yang diyakini berdampak buruk bagi kesehatan, jam kerjanya lebih pendek daripada karyawan di bagian atau lokasi yang lebih aman. Selain itu, mereka juga mendapat extra pudding dan asupan gizi yang lebih baik, seperti susu atau sari kacang hijau.

    Namun apa yang didapat korban lumpur? Asap beracun itu mereka hirup tiap hari tanpa tahu kandunganya. Tanpa paham bahayanya. “Pemerintah yang mengerti akan hal ini tak pernah memberi penjelasan,”” keluh Winarko.

    Jarinya terus lincah mengetik tuts-tuts laptop. Meng-up load berita ke situs para korban lumpur, juga mengetik laporan dari warga yang nyaris tak putus-putus.

    Ya, hingga lewat isya, posko yang persis bersebelahan dengan Makam Kelurahan Gedang terus beraktivitas. Selasa malam, malam terakhir sebelum pencoblosan, tak ada jagongan bertema pemilihan gubernur (pilgub) yang dilakukan warga. Mereka lebih sibuk membahas nasib diri dan perjuangannya dalam mengejar hak-hak yang terampas.

    Irsyad, misalnya. Malam itu ia menceritakan sebuah rapat warga di desanya yang berakhir ricuh. Salah satu warga menyatakan bahwa Desa Besuki Timur sebenarnya akan masuk dalam peta desa terdampak. Namun, hal ini gagal karena ada dua warga peserta pertemuan nasional para korban Lapindo di Jakarta memberi ide berbeda. Dua orang itu meminta bahwa Desa Besuki Timur tidak masuk dalam peta terdampak.

    Irsyad yang merasa dikambinghitamkan, langsung berdiri. Ia meminta agar langsung sebut nama, siapa orang yang menggagalkan masuknya Besuki Timur dalam peta desa terdampak. Sebab, dirinyalah yang mengikuti pertemuan di Jakarta itu. “Namun, saya tidak melakukan penggagalan itu. Saya sedang dijadikan kambing hitam,” kata Irsyad dalam laporannya yang didokumentasikan di Posko Bersama Korban Lapindo, Selasa (22/7) malam.

    Belum lama Irsyad berbagi masalahnya, datang lagi warga dari desa lain. Mereka diterima Paring, salah satu aktivis di posko tersebut. Kepada mereka Paring menjelaskan tentang kampanye penyadaran dan advokasi yang sedang digalang ia dan kawan-kawannya. Satu sudah berjalan, yakni situs informasi korban Lapindo yang beralamat di http://www.korbanlumpur.info. Dua lagi masih digagas: radio komunitas dan buletin untuk korban.

    Di rumah dengan 4 kamar itu, ide-ide pemberdayaan ditelurkan. Tak ada televisi, tak ada intervensi dari berita-berita pilgub yang mereka benci. Tak ada kursi, semua lesehan di lantai yang hanya sebagian tertutup karpet tipis. Tak ada makanan, karena lapar adalah tanggungan sendiri-sendiri. Namun, diskusi yang muncul begitu hidup. Termasuk, rencana memberi warga –dimulai dari para aktivisnya —alamat e-mail untuk bisa berhubungan dengan pihak luar.

    ““Dengan punya e-mail, punya situs, kita bisa berhubungan dengan pihak-pihak lain, termasuk di luar negeri, yang mau membantu kita. Murah dan cepat”,” urai Paring.

    Negara Durhaka

    Merasa hampir mentok di dalam negeri, para aktivis warga ini memang mengalihkan upaya mereka ke luar negeri. Tentu ini bukan kesimpulan serta merta. Kasus penyelidikan pembunuhan aktivis HAM, Munir SH, membuka mata mereka.

    ““Kalau saja tak ada tekanan asing, sudah pasti penyelidikan kasus pembunuhan Munir sudah berhenti sejak lama,”” kata Winarko. “”Karena jaringan Munir kuat di luar negeri, pressure mereka pun terasa. Tiap kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melawat ke luar negeri, kasus Munir selalu ditanya. Pasti grisingan (risih), kan? Karena itu kasus ini masih diselidiki,” lanjutnya.

    Ya, menjadikan pemerintah grisingan adalah target antara. Grisingan bila kasus lumpur Lapindo tak segera tertangani dengan baik. Grisingan bila pemerintah dituding takluk pada kekuatan tertentu dan melupakan penderitaan rakyatnya.

    “Kami sebenarnya tidak ingin mempermalukan pemerintah. Ibaratnya, kami adalah anak, sedang pemerintah adalah ayah kami. Kalau saja ayah kami peduli pada kami, buat apa kami mengadu kepada tetangga?” Winarko memberi analogi.

    Tak Yakin Media Massa

    Pemberdayaan masyarakat kini menjadi target utama para aktivis warga korban lumpur Lapindo ini. Mereka yakin pemberdayaan akan membuat perjuangan mereka lebih terarah dan dapat bertahan –bahkan menang—dari serbuan banyak pihak yang kian tak bersahabat.

    “Salah satunya, jujur saja, media massa,” kata Winarko. “Kami lihat makin lama media massa, baik cetak maupun elektronik tak lagi menyuarakan nasib kami. Rata-rata mereka sudah terbeli. Yang belum terbeli pun (Winarko menyebut nama dua media massa cetak) hanya berani menulis dalam koridor “netral”.

    Padahal, dalam menyikapi kasus seperti lumpur Lapindo yang dampaknya demikian luar biasa, media tak boleh netral. “Mereka harus berpihak. Dan, tak ada pilihan waras lain kecuali berpihak kepada korban,” tegas Winarko.

    Hari, salah satu korban lumpur, mendukung pendapat Winarko. “”Moncong senjata laras panjang tentara pernah ditempelkan ke kepala saya. Seorang fotografer (Hari menyebut nama sebuah stasiun televisi) berhasil mengambil gambar itu. Namun, berita itu tak pernah muncul. Bagaimana kami bisa percaya kepada media massa?,”” keluhnya.

    Sialnya, Hari masih punya banyak stok cerita lainnya. Salah satunya, bagaimana sebuah stasiun televisi nasional begitu tega memelintir liputan. “”Gambar yang muncul di televisi adalah gambar saya dan kawan-kawan yang sedang demo. Namun, beritanya tentang penghijauan. Apa maksudnya, coba?,”” ujar Hari, geram.

    Maka, ketika media massa mainstream dianggap para korban Lapindo tak bisa lagi dipercaya, jawabannya hanya satu: membuat media sendiri. Dan, mereka serius mempersiapkannya.

    ““Jadi kalau ada yang bertanya mengapa pilgub sama sekali tak berarti di sini, Anda sudah tahu jawabannya. Media massa saja susah kami percaya, apalagi para cagub itu?,”” seru Hari. (*)