Tag: media massa

  • Kasus Hambalang Tidak Separah Lapindo

    Kasus Hambalang Tidak Separah Lapindo

    Oleh: Ndhy rezha

    siaga ogoh-ogoh Bakrie

    Korupsi kasus korupsi! Mungkin inilah kasus kejahatan yang paling mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat baik itu pers maupun para pakar hukum dan politik di negara ini, terlebih yang terlibat di dalamnya adalah nama-nama besar yang sangat dikenal oleh masyarakat kita.

    Seperti halnya dengan apa yang menimpa Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Angelina Sondakh. Ketiga politisi Partai Demokrat ini terlibat dalam kasus yang sama hingga cacian dan makian masyarakat tak pelak lagi membanjiri setiap ruang yang terisi oleh nama mereka bertiga.

    Namun benarkah kasus Hambalang pantas untuk mendapat perhatian yang lebih ketimbang kasus-kasus kejahatan lainnya? Ada hal yang unik ketika media mengangkat kasus korupsi yang melibatkan nama-nama besar. Media seolah menyatukan antara pandangan atas kerugian material dan sisi moralitas. Artinya pandangan atas rusaknya moral dari para koruptor dihitung berdasar pada jumlah kerugian yang diakibatkan kasus korupsi yang dilakukan.

    Meskipun mencuri tetap mencuri seberapa pun besar nilai dari barang yang diambil, namun hal ini wajar-wajar saja, bila ditilik dari pandangan masyarakat tentang kasus-kasus kejahatan lainnya semacam pembunuhan yang ‘level’ kerusakan moralnya dinilai dari alasan melakukan pembunuhan, jumlah korban hingga bagaimana cara pelaku menghabisi korban.

    Jika kita telah setuju dengan pandangan seperti ini maka ada kasus yang lebih tidak bermoral daripada kasus Hambalang sebab kerugian yang dihasilkan tidak terhitung jumlahnya bahkan sisi kemanusiaan dan lingkungan seolah terabaikan.

    Namun mengapa kasus ini bak tenggelam ke dalam lumpur panas yang keluar tanpa henti?

    Lapindo, saya sempat berpikir bila ini adalah kejahatan paling fenomenal yang pernah terjadi namun tidak ada pelaku yang dinilai bertanggung jawab atas perkara ini. Awalnya saya berpikir bila kasus ini telah selesai, padahal faktanya kasus Lapindo tidak pernah dimejahijaukan, meskipun telah ada beberapa nama yang ditetapkan sebagai tersangka, namun kasus ini seolah lenyap bak ditenggelamkan oleh lumpur. Bagaimana bisa kasus sebesar ini tenggelam begitu saja?

    Bila kerugian negara akibat kasus Hambalang yang ditaksir mencapai 463 milliar berdasarkan pada laporan BPK yang disampaikan oleh ketuanya Hadi Purnomo pada 4 september 2013 lalu, maka nilai tersebut hanya secuil bahkan setitik dari tingkat kerusakan lingkungan dan kerugian akibat genangan lumpur lapindo yang menenggelamkan lebih dari 16 desa di Sidoarjo, Jawa Timur.

    463 Milliar vs kerusakan lahan pertanian seluas 198 ha, lebih dari 1.873 orang yang kehilangan mata pencaharian dan lebih dari 8.000 jiwa kehilangan tempat tinggal akibat dampak dari lumpur ini. Belum lagi kerugian-kerugian materil dan nonmateril lain yang tidak terhitung nilainya.

    Tuntutan atas penuntasan kasus Hambalang tidak lain merupakan bagian dari skenario untuk mendiskreditkan pemerintah. Momentum Hambalang digunakan untuk semakin memperburuk citra pemerintah di mata publik, faktanya kasus korupsi yang selalu dikaitkan dengan sosok presiden SBY ini seolah menjadi masalah yang paling menarik perhatian di tengah masalah besar lain yang seolah terabaikan.

    Seperti kita ketahui bersama, kasus Lumpur Lapindo bermula pada 29 mei 2006 silam. Kesalahan pengeboran di kawasan sumur gas milik Lapindo Brantas inc menyebabkan semburan lumpur dengan volume 100.000 meter kubik setiap harinya, hingga membentuk sebuah danau lumpur yang menutupi lebih dari 198 ha lahan warga dari 16 desa. Namun pemberitaan kasus ini seolah ragu-ragu hingga pada 2007 pasca pengumuman ganti rugi oleh pihak Lapindo Brantas atas kerugian yang diakibatkan aktivitas mereka, kasus Lapindo sangat jarang dipublikasikan.

    Padahal kasus ini belum sekalipun dibawa ke persidangan. Masalah yang selalu diangkat justru lebih diberatkan pada ganti rugi lahan yang seolah melupakan sisi kerusakan lingkungan akibat dampak dari bencana tersebut. Bahkan ketika proses ‘ganti rugi’ yang juga bermasalah pemberitaan atas Lapindo masih saja ‘kikir’ sebab hanya beberapa kali tayang dan kemudian kembali lenyap begitu saja. Bandingkan dengan pemberitaan atas kasus korupsi?

    Media seolah mengabaikan ‘asas praduga tak bersalah’ dari para petinggi negara maupun parpol yang dianggap terlibat dalam kasus korupsi. Pemberitaan atas kasus korupsi seolah membuat seorang terduga menjadi terpidana. Permainan psikologi ini telah dilakukan beberapa media dengan sangat alot sejak kasus korupsi mulai merebak di kalangan petinggi parpol negara ini.

    Bandingkan dengan kasus penyelewengan pajak yang menyeret nama Gayus Tambunan. Sosok Gayus sangat fenomenal sebab meski di dalam penjara ia masih bisa melakukan suap kepada beberapa sipir penjara untuk pergi berlibur keluar negeri dan bahkan menonton tenis di Bali dengan memakai wig dan kacamata untuk menyamarkan wajahnya dari pengamatan.

    Untuk catatan: Gayus terlibat dalam kasus penyelewengan pajak yang melibatkan beberapa nama perusahaan besar termaksud perusahaan milik salah satu petinggi parpol yang juga ikut menonton tenis di bali pada waktu bersamaan saat Gayus juga berada di sana. Namun hal ini tidak pernah diselidiki dengan seksama, ketika Gayus tertangkap kembali semua berakhir tidak ada alasan mengapa Gayus berada di Bali. Apa memang ia hoby tennis?

    Lalu apa hubungan antara Gayus, Hambalang, dan Lapindo? Secara teknis opini kita tentang ketiga kasus ini dibentuk oleh satu media! Media yang selalu kita anggap terpercaya sebab berhasil melakukan distorsi sosial atas pandangan kita terhadap kinerja pemerintah.

    Sumber: http://www.siaga.co/news/2014/01/15/kasus-hambalang-tidak-separah-lapindo/

     

  • Kemerdekaan Pers dan Lumpur Lapindo

    Bukan rahasia lagi jika dalam kasus semburan lumpur Lapindo itu muncul fenomena yang sebenarnya tidak baru, yaitu ‘jual-beli’ informasi. Jika dalam dunia hukum ada fenomena mafia peradilan yang melibatkan polisi, jaksa, hakim serta advokat (pengacara) selaku makelar kodok, tampaknya dalam dunia jurnalistik juga ada mafia jurnalistik. Ada kawan wartawan yang bisa menjelaskan konspirasi antara pihak Lapindo Brantas Inc. dengan para jurnalis. Ia memetakan kelompok konspirasi itu ada tiga, yaitu: konspirasi dengan jurnalis secara pribadi, konspirasi dengan perusahaan media dan konspirasi dengan redaksi media. Wallahu’alam.

    Sudah berbulan-bulan ini tampaknya media (pers) seolah enggan memberitakan keadaan riil para korban lumpur Lapindo. Yang lebih banyak menjadi bahan berita adalah perundingan antara para pengurus Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dengan PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Pers juga sudah enggan mengulas tentang peran pemerintah ketika MLJ tapi kini berbalik arah ‘membangkang’ Perpres No. 14 Tahun 2007 dengan kemunculan skema penyelesaian sosial cash and resettlement, yang dengan sendirinya melanggar klausul cash and carry perjanjian ikatan jual-beli (PIJB) antara MLJ dengan korban lumpur Lapindo.

    Tetapi justru yang sering muncul di beberapa media adalah berita advertorial atau advertorial terselubung dengan judul yang sama, yaitu: “Sidoarjo Bangkit.” Dalam advertorial – baik yang terang-terangan maupun terselubung – itu isinya sama: mengulas bahwa seolah-olah skema relokasi ke Kahuripan Nirwana Village (KNV) adalah ‘masa depan’ yang baik. Pers tidak memuat informasi yang benar tentang keluhan para korban lumpur Lapindo sendiri, baik yang ‘terpaksa’ menerima skema cash and resettlement maupun yang menolak. Pers hanya mengutip komentar para petinggi MLJ, menteri, aparat dan pengurus GKLL, memuji model cash and resettlement sebagai cara terbaik. Pers tidak menampilkan kritikan atas ‘pembangkangan’ Lapindo dan MLJ tersebut.

    Idealisme pers

    Hal menyedihkan semacam itu tidak saja terjadi dalam kasus lumpur Lapindo. Dalam perpolitikan misalnya juga terjadi di mana dengan dalih profesionalisme pers ada para jurnalis jebolan dari berbagai perusahaan media yang bergabung membuat media baru yang khusus menjadi corong salah satu calon gubernur. Mereka berdalih bahwa yang mereka jual adalah jasa profesi sebagai jurnalis.

    Menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik (pasal 1 angka 1). Dalam penjelasan pasal 3 ayat (2) dijelaskan: Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Lantas bagaimana cara melaksanakan prinsip ekonomi dengan kewajiban sosialnya?

    Saya coba korelasikan hal itu dengan kewajaran atau kepatutan yang menjadi asas hukum. Apakah wajar dan patut misalnya perusahaan pers menerima iklan yang sifatnya subyektif dari pihak Lapindo untuk menjalankan prinsip ekonomi korporasi pers, padahal Lapindo sedang berkonflik dengan masyarakat? Pers bisa menjadi kikuk dalam memberitakan kondisi riil masyarakat korban secara utuh. Atau, menurut beberapa kawan jurnalis, ada perusahaan pers yang ‘menghantam’ Lapindo dengan berita yang khusus meliput derita korban lumpur Lapindo, yang tujuannya untuk memperoleh harga iklan yang tinggi?

    Baik pers, aktivis LSM atau NGO, seharusnya tidak menjadi omnivora yang ‘memakan segala’ tanpa memasang ukuran idealisme. Ada contoh, sebuah lembaga bantuan hukum yang menetapkan etika tak tertulis, di mana advokat yang bergabung di dalamnya dilarang membela pengusaha melawan buruh, pemerintah melawan warga, tuan tanah melawan petani, korporasi melawan masyarakat, tidak boleh membela tersangka/terdakwa kasus korupsi. Hal itu untuk menghindari konflik kepentingan, sebab misi lembaga hukum diprioritaskan membantu kaum lemah. Sedangkan kaum kuat ekonomi lebih leluasa untuk menyewa advokat komersiil.

    Arah bisnis media, dalam persaingan yang semakin ketat, tampaknya mulai menanggalkan baju idealisme. Pers mengarah pada korporasisasi, di mana pelaksanaan kewajiban sosialnya berubah menjadi semacam praktik corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan korporasi pada umumnya.

    Berita yang disajikan dalam beberapa hal menjadi alat tawar-menawar, meski dalam beberapa hal masih ada yang dimaksudkan untuk kontrol sosial. Tetapi dengan masuknya pebisnis bermasalah ke ruang ekonomi pers, maka kontrol sosialnya menjadi disparatif. Pers akan cenderung melunak dengan para pemasang iklan yang berkonflik dengan masyarakat, tapi bisa lebih garang kepada ‘penguasa’ yang tidak memasang iklan. Itu jelas tidak adil.

    Kemerdekaan pers

    Dalam era demokrasi yang semakin menguat, kemerdekaan pers tak lagi diancam oleh penguasa represif, tapi oleh kekuatan ekonomi hitam. Ketika ada hakim yang memukulkan palu hukuman kepada pers atas gugatan korporasi atau suatu pihak dengan tuduhan pencemaran nama baik, bisa jadi itu disebabkan pengaruh uang korporasi itu (baca: suap) kepada penegak hukum, bukan karena tekanan kekuasaan politik.

    Tangan-tangan kekuasaan ekonomi itulah yang mengancam memasung kemerdekaan pers, sebab dengan iming-iming uang maka ada para jurnalis yang mengorbankan idealisme dan independensinnya. Kinerja pers dalam memberitakan kasus lumpur Lapindo hanya merupakan salah satu contoh isu ketidakmerdekaan pers yang merebak luas. Isu itu bukan semata dugaan eksternal pers, tapi juga atas ‘kesaksian’ para jurnalis yang masih bisa mempertahankan idealisme mereka.

    Masyarakat mempunyai hak untuk disuguhi informasi yang adil dan obyektif. Memang sulit mengukur keadilan dan obyektivitas itu, meski hal itu bisa saja dibawa ke ranah hukum. Tetapi hukum yang masih terjangkit virus korupsi juga belum dapat menjamin terwujudnya keadilan. Namun dengan semakin menguatnya ‘rasan-rasan’ di masyarakat tentang ‘permainan pers’ dalam kasus lumpur Lapindo itu, maka Dewan Pers seharusnya mengambil inisitif untuk melakukan ‘pengintaian’ untuk mencari bukti-bukti tentang siapa saja jurnalis maupun perusahaan pers yang telah bermain.

    Kita tengah membangun martabat bangsa ini. Ketika kita mulai ramai membangun hukum agar lebih beradab, jangan sampai dunia pers kita terlupakan dan menjelma menjadi ‘perusahaan informasi’ yang tak lagi mengenal misi sosial dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (lihat pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999). Misi sosial itu bukanlah dengan menyumbang beras dan uang, tapi melakukan kontrol sosial yang fair.

    SUBAGYO, S.H.

  • Tak Lelah Membuat ‘Grisingan’ Pemerintah

    korbanlumpur.info – Hari masih sore. Bau manis legit dari Pabrik Gula Candi baru saja lenyap. Tiba-tiba, hidung langsung disergap bau asing. Awalnya tipis. Makin dekat ke Porong, bau itu kian pekat. Tak bersahabat. Asap putih njlirit ke langit, persis hantu yang berebut keluar kala maghrib.

    Asap itu memang bukan asap biasa. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), udara di daerah sekitar semburan memiliki kandungan unsur beracun 2000 kali di atas normal. Penelitian tentang ini sudah hampir rampung dan tak lama lagi akan dirilis. Inilah udara yang dihirup warga korban lumpur tiap hari. Tanpa kesadaran, tanpa peringatan.

    “Padahal mereka yang bekerja di pabrik atau instalasi yang diyakini berdampak buruk bagi kesehatan, jam kerjanya lebih pendek daripada karyawan di bagian atau lokasi yang lebih aman. Selain itu, mereka juga mendapat extra pudding dan asupan gizi yang lebih baik, seperti susu atau sari kacang hijau.

    Namun apa yang didapat korban lumpur? Asap beracun itu mereka hirup tiap hari tanpa tahu kandunganya. Tanpa paham bahayanya. “Pemerintah yang mengerti akan hal ini tak pernah memberi penjelasan,”” keluh Winarko.

    Jarinya terus lincah mengetik tuts-tuts laptop. Meng-up load berita ke situs para korban lumpur, juga mengetik laporan dari warga yang nyaris tak putus-putus.

    Ya, hingga lewat isya, posko yang persis bersebelahan dengan Makam Kelurahan Gedang terus beraktivitas. Selasa malam, malam terakhir sebelum pencoblosan, tak ada jagongan bertema pemilihan gubernur (pilgub) yang dilakukan warga. Mereka lebih sibuk membahas nasib diri dan perjuangannya dalam mengejar hak-hak yang terampas.

    Irsyad, misalnya. Malam itu ia menceritakan sebuah rapat warga di desanya yang berakhir ricuh. Salah satu warga menyatakan bahwa Desa Besuki Timur sebenarnya akan masuk dalam peta desa terdampak. Namun, hal ini gagal karena ada dua warga peserta pertemuan nasional para korban Lapindo di Jakarta memberi ide berbeda. Dua orang itu meminta bahwa Desa Besuki Timur tidak masuk dalam peta terdampak.

    Irsyad yang merasa dikambinghitamkan, langsung berdiri. Ia meminta agar langsung sebut nama, siapa orang yang menggagalkan masuknya Besuki Timur dalam peta desa terdampak. Sebab, dirinyalah yang mengikuti pertemuan di Jakarta itu. “Namun, saya tidak melakukan penggagalan itu. Saya sedang dijadikan kambing hitam,” kata Irsyad dalam laporannya yang didokumentasikan di Posko Bersama Korban Lapindo, Selasa (22/7) malam.

    Belum lama Irsyad berbagi masalahnya, datang lagi warga dari desa lain. Mereka diterima Paring, salah satu aktivis di posko tersebut. Kepada mereka Paring menjelaskan tentang kampanye penyadaran dan advokasi yang sedang digalang ia dan kawan-kawannya. Satu sudah berjalan, yakni situs informasi korban Lapindo yang beralamat di http://www.korbanlumpur.info. Dua lagi masih digagas: radio komunitas dan buletin untuk korban.

    Di rumah dengan 4 kamar itu, ide-ide pemberdayaan ditelurkan. Tak ada televisi, tak ada intervensi dari berita-berita pilgub yang mereka benci. Tak ada kursi, semua lesehan di lantai yang hanya sebagian tertutup karpet tipis. Tak ada makanan, karena lapar adalah tanggungan sendiri-sendiri. Namun, diskusi yang muncul begitu hidup. Termasuk, rencana memberi warga –dimulai dari para aktivisnya —alamat e-mail untuk bisa berhubungan dengan pihak luar.

    ““Dengan punya e-mail, punya situs, kita bisa berhubungan dengan pihak-pihak lain, termasuk di luar negeri, yang mau membantu kita. Murah dan cepat”,” urai Paring.

    Negara Durhaka

    Merasa hampir mentok di dalam negeri, para aktivis warga ini memang mengalihkan upaya mereka ke luar negeri. Tentu ini bukan kesimpulan serta merta. Kasus penyelidikan pembunuhan aktivis HAM, Munir SH, membuka mata mereka.

    ““Kalau saja tak ada tekanan asing, sudah pasti penyelidikan kasus pembunuhan Munir sudah berhenti sejak lama,”” kata Winarko. “”Karena jaringan Munir kuat di luar negeri, pressure mereka pun terasa. Tiap kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melawat ke luar negeri, kasus Munir selalu ditanya. Pasti grisingan (risih), kan? Karena itu kasus ini masih diselidiki,” lanjutnya.

    Ya, menjadikan pemerintah grisingan adalah target antara. Grisingan bila kasus lumpur Lapindo tak segera tertangani dengan baik. Grisingan bila pemerintah dituding takluk pada kekuatan tertentu dan melupakan penderitaan rakyatnya.

    “Kami sebenarnya tidak ingin mempermalukan pemerintah. Ibaratnya, kami adalah anak, sedang pemerintah adalah ayah kami. Kalau saja ayah kami peduli pada kami, buat apa kami mengadu kepada tetangga?” Winarko memberi analogi.

    Tak Yakin Media Massa

    Pemberdayaan masyarakat kini menjadi target utama para aktivis warga korban lumpur Lapindo ini. Mereka yakin pemberdayaan akan membuat perjuangan mereka lebih terarah dan dapat bertahan –bahkan menang—dari serbuan banyak pihak yang kian tak bersahabat.

    “Salah satunya, jujur saja, media massa,” kata Winarko. “Kami lihat makin lama media massa, baik cetak maupun elektronik tak lagi menyuarakan nasib kami. Rata-rata mereka sudah terbeli. Yang belum terbeli pun (Winarko menyebut nama dua media massa cetak) hanya berani menulis dalam koridor “netral”.

    Padahal, dalam menyikapi kasus seperti lumpur Lapindo yang dampaknya demikian luar biasa, media tak boleh netral. “Mereka harus berpihak. Dan, tak ada pilihan waras lain kecuali berpihak kepada korban,” tegas Winarko.

    Hari, salah satu korban lumpur, mendukung pendapat Winarko. “”Moncong senjata laras panjang tentara pernah ditempelkan ke kepala saya. Seorang fotografer (Hari menyebut nama sebuah stasiun televisi) berhasil mengambil gambar itu. Namun, berita itu tak pernah muncul. Bagaimana kami bisa percaya kepada media massa?,”” keluhnya.

    Sialnya, Hari masih punya banyak stok cerita lainnya. Salah satunya, bagaimana sebuah stasiun televisi nasional begitu tega memelintir liputan. “”Gambar yang muncul di televisi adalah gambar saya dan kawan-kawan yang sedang demo. Namun, beritanya tentang penghijauan. Apa maksudnya, coba?,”” ujar Hari, geram.

    Maka, ketika media massa mainstream dianggap para korban Lapindo tak bisa lagi dipercaya, jawabannya hanya satu: membuat media sendiri. Dan, mereka serius mempersiapkannya.

    ““Jadi kalau ada yang bertanya mengapa pilgub sama sekali tak berarti di sini, Anda sudah tahu jawabannya. Media massa saja susah kami percaya, apalagi para cagub itu?,”” seru Hari. (*)