Tag: perpres

  • Perpres Ganti Rugi Korban Lumpur Sidoarjo Segera Terbit

    Perpres Ganti Rugi Korban Lumpur Sidoarjo Segera Terbit

    Jakarta, Kabar24.com – Pemerintah tengah mematangkan Peraturan Presiden terkait penyaluran ganti rugi bagi masyarakat korban luapan lumpur Sidoarjo di peta area terdampak (PAT) untuk memastikan penyaluran anggaran dapat dilakukan segera.

    Rildo Ananda Anwar, Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sekaligus Ketua Tim Teknis Percepatan Penyelesaian Pembayaran Ganti Rugi Korban Luapan Lumpur Sidoarjo mengatakan draft perpres sudah diajukan, ditargetkan awal pekan depan sudah disahkan.

    “Sejauh ini sudah kami bahas secara intensif dan masih akan ada beberapa pertemuan lanjutan lagi. Karena kalau Perpresnya sudah lebih detail, perjanjiannya akan menjadi lebih mudah,” katanya, Kamis (11/6/2015).

    Perpres tersebut dibutuhkan sebagai aturan pelaksana penyaluran dana ganti rugi seturut amanat UU No. 3/2015 tentang perubahan atas UU No. 27/2014 tentang APBN 2015. Proses perjanjian antara pemerintah dan Lapindo akan didasarkan pada ketentuan perpres tersebut.

    Menurutnya, bila semua berjalan lancar, proses pembayaran dapat segera dilakukan mulai 26 Juni 2015 mendatang.

    Penyaluran akan dilakukan langsung ke rekening korban untuk menghindari terjadinya manipulasi di lapangan oleh oknum tertentu.

    Sesuai dengan UU No. 3/2015 pasal 23B , untuk pelunasan pembayaran kepada masyarakat yang memiliki tanah dan bangunan di dalam PAT lumpur dialokasikan dana sebesar Rp 781,688 miliar.

    Dana tersebut merupakan dana talangan untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan korban lumpur di PAT yang tidak sanggup dibayar oleh Lapindo.

    Untuk itu, Lapindo menjaminkan tanah di PAT yang telah dibayarkan Lapindo dengan nilai Rp2,7 triliun berdasarkan hasil audit BPKP.

    Rildo mengatakan, sejauh ini masih dilakukan pembicaraan mendetail terkait perjanjian kontrak di Sekretariat Negara tentang kemungkinan menyesuaikan jaminan aset dan jangka waktu pengembalian dana pemerintah oleh Lapindo.

    “Bisa saja kita sesuaikan lagi waktunya yang ditetapkan empat tahun, bisa lebih singkat. Selain itu juga masalah aset, apakah bisa ada aset lain yang dijaminkan, itu lagi dibicarakan. Kalau itu selesai, kita akan segera ajukan kontraknya ke Pak Menteri untuk ditandatangani,” katanya.

    Rildo mengatakan tahun ini pemerintah akan menyalurkan anggaran Rp 781,688 miliar seturut ketentuan undang-undang, meskipun hasil audit BPKP menunjukkan kenaikan nilai hingga Rp 46 miliar.

    Rildo mengatakan, kelebihan nilai tersebut akan disalurkan di tahun depan, bersama dengan delapan warga yang baru mengajukan gugatan dan sekarang tengah diverifikasi. Menurutnya, ganti rugi terhadap dunia usaha yang terkena risiko pun akan dibahas lagi oleh pemerintah.

    “Untuk masalah pajak dan bunga terhadap Lapindo, biar nanti Menteri Keuangan dan Menteri PU-Pera yang ambil keputusan,” katanya.

    Emanuel Berkah

    http://kabar24.bisnis.com/read/20150611/15/442614/lumpur-lapindo-perpres-ganti-rugi-korban-lumpur-sidoarjo-segera-terbit

  • Penghancuran Terencana

    Penghancuran Terencana

    Selang beberapa tahun berlalu, terdapat banyak perubahan kondisi di sekitar semburan lumpur Lapindo. Tidak hanya lingkungan fisik, melainkan juga terjadi perubahan sosial dan budaya.

    Setelah masuk dalam skema Perpres, warga harus menjual tanah dan rumahnya. Kondisi ini secara otomatis pula memaksa mereka untuk meninggalkan kampung halaman dan mencari permukiman baru. Sebelum meninggalkan rumah dan tanahnya, biasanya warga menghancurkan bangunannya sebab sisa bangunan itu bisa dimanfaatkan dengan dijual atau dimanfaatkan lagi jika membangun rumah baru.

    Foto-foto ini hanyalah sekelumit cerita mengenai dampak lumpur Lapindo, sebuah bencana teknologi yang menyisakan kehancuran. Desa dan kampung kini menjadi wilayah mati. Desa tak berpenghuni. Sisa puing bangunan rumah yang telah dihancurkan. Kehancuran itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Kehancuran itu terjadi karena telah direncanakan. Inilah beberapa potret penghancuran terencana itu.

    Teks dan foto oleh Lutfi Amiruddin

    Versi PDF unduh di sini.

    “Go Away From Porong”

    Proses pembongkaran rumah di tepi Jalan Raya Porong di seberang tanggul penahan lumpur. Setelah “masuk peta” berdasarkan Perpres 68/2011 dan dibeli pemerintah dengan APBN, tanah dan bangunan yang berada dalam wilayah Kelurahan Siring Barat ini harus dibongkar. Tulisan “Go Away from Porong” terpampang pada salah satu dinding bangunan yang masih tersisa. Judul itu menyiratkan pula bahwa penghuni yang mendiami tanah itu harus pergi meninggalkannya. (Aperture priority, F/8, 1/640sec, ISO 400)

    Puing-Puing

    Ini bukanlah sawah yang sedang diairi, melainkan tanah bekas bangunan yang telah dibongkar. Genangan air berasal dari hujan yang turun pada pagi sebelum foto ini diambil. Dahulu lokasi tersebut merupakan permukiman warga. Namun, demi kelancaran penyelesaian bagi korban lumpur Lapindo melalui skema Perpres, semua warga harus rela tanah dan bangunannya dibeli, termasuk wilayah Kelurahan Siring Barat ini. Setelah tanah dan bangunan dibeli, maka bangunan dibongkar, dan hanya menyisakan puing-puingnya. (Aperture priority, F/8, 1/800 sec, ISO 400)

    Tanggul Protes

    Tanggul penahan lumpur tidak hanya berfungsi untuk menahan lumpur agar tidak meluap, tetapi juga dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat memampang spanduk protes. Protes biasanya ditujukan kepada pihak Lapindo yang belum melunasi cicilan jual beli rumah dan tanah berdasarkan Peta Area Terdampak 22 Maret 2007. Protes juga kerap berisi tuntutan pertanggungjawaban Lapindo atas kerusakan lingkungan di wilayah kecamatan Porong dan Jabon, Sidoarjo. Tanggul penahan lumpur bukan sekedar bangunan fisik, melainkan juga arena pertarungan berbagai macam opini. (Aperture priority, 1/8, 1/400 sec, ISO 400)

    Masih Bertahan

    Salah satu rumah di sebelah barat tanggul di Jalan Raya Porong ini masih bertahan. Meskipun sudah miring akibat penurunan tanah, sang pemilik menolak untuk menjualnya. Rumah ini bisa jadi akan menjadi rumah terakhir yang masih berdiri di antara rumah lain yang telah dirobohkan. Memang penyelesaian korban Lapindo dengan cara menjual aset berupa rumah dan tanah dirasakan oleh korban bukanlah cara yang adil. (Manual, f/22, 1/60 sec, ISO 400)

    Kampung Mati

    Dulu, lokasi ini adalah kampung, tempat warga hidup bertetangga. Rumah itu dulu ditempati oleh beberapa keluarga. Di rumah itu pula mereka hidup, membesarkan, dan mendidik anak-anak mereka. Namun, setelah “masuk peta” dan melalui proses jual beli, beberapa bangunan rumah hanya menunggu waktu untuk dihancurkan. Penghuninya pun harus pindah dan mencari permukiman baru. Kini, tidak ada lagi manusia yang mendiaminya. Yang tersisa hanyalah seonggok batu bata yang direkatkan oleh semen menunggu gilirannya untuk dihancurkan. Sebuah musholla pun menunggu untuk dihancurkan. Ruang sosial, tempat interaksi sosial, kini hanya menjadi puing-puing yang tak berguna. (Aperture priority, f/10, 1/400 sec, ISO 400)

    Jangan Dibongkar

    Salah satu dinding rumah warga yang belum dibongkar. Pemilik bangunan belum membongkar dinding rumah ini lantaran pihak Lapindo belum melunasi proses jual beli bangunan dan tanah. Mempertahankan sisa bangunan ini penting karena dapat digunakan sebagai bukti luas bangunan yang harus dibeli oleh pihak Lapindo. Meskipun telah enam tahun berlalu sejak Perpres 14/ 2007 ditetapkan, proses cicilan jual beli tanah antara PT Minarak Lapindo Jaya dengan korban belum juga terlunasi sepenuhnya. (Aperture priority, f/8, 1/100sec, ISO 400)