Tag: walhi

  • KOMNAS HAM Rekomendasikan Pemulihan Hak Korban Lapindo

     

    Korbanlumpur.info – Sidoarjo, 21 Juli 2017

    Emir Firdaus selaku wakil ketua DPRD Kabuoaten Sidoarjo memberikan sambutan mengawali dialog hasil audit HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM. Ia berharap hasil audit HAM dalam kasus Lapindo bisa memberikan gambaran yang jelas atas persoalan Lapindo karena sampai saat ini masih banyak persoalan yang belum diselesaikan. Ia juga mengharap terjadi dialog antara warga, baik dalam peta terdampak maupun di luar peta, yang sudah selesai pemenuhan ganti rugi maupun yang belum.

    Nur Khoiron, wakil ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berterimakasih atas fasilitasi DPRD Kabupaten Sidoarjo sehingga Komnas HAM bisa melakukan dialog dengan warga korban lumpur Lapindo. Ia dan tim diberi mandat oleh sidang paripurna Komnas HAM untuk melakukan kajian atau audit atas pengelolaan permasalahan lumpur Lapindo sejak 2006 hingga 2017. Melalui surat mandat paripurna 2015 ia diberi tugas memeriksa semua model kehadiran negara dalam penyelesaian kasus lumpur Lapindo.

    Apapun bentuk bencana, baik disebabkan oleh kejadian alam maupun hal lainnya, ada situasi hilang atau terganggunya hak korban. Dalam kasus lumpur Lapindo juga terjadi hal yang sama dan itu perlu dipulihkan atau reparasi. Ia berharap tim Komnas HAM saat ini adalah tim terakhir untuk merespon pengaduan kasus Lapindo. Sebelumnya telah banyak tim-tim yang dibentuk guna merespon pengaduan warga korban.

    “Setiap korban berhak diberi upaya pemulihan, dalam HAM, upaya ini dikenal sebagai reparasi. Modelnya bisa rehabilitasi, ganti rugi, dan sebagainya,” kata Khoiron.

    Komnas HAM Ham diberi mandat oleh undang-undang sebagai lembaga independen yang tidak masuk dalam kelembagaan eksekutif maupun yudikatif, namun ia bisa berdiri pada keduanya untuk pemenuhan hak asasi manusia.

    Pembelajaran selama selama tahun dalam pengelolaan lumpur Lapindo bisa menjadi rujukan agar tidak membuat kesalahan yang sama dalam pengelolaan bencana serupa. Ia berharap ada masukan dari warga atas bagian rekomendasi laporan agar bisa lebih kuat.

    Hasil Audit HAM
    Dalam penyampaian isi laporan, Khoiron memaparkan bahwa Komnas HAM adalah satu-satunya lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk memantau pemenuhan HAM di Indonesia. Ia juga bertugas memberikan penyuluhan HAM. Kewenangan lain adalah melakukan mediasi atas kasus-kasus yang menimbulkan dampak terhadap terpenuhinya HAM masyarakat.

    Ia dan tim diberi tugas sidang paripurna untuk memeriksa kehadiran negara dan perusahaan dalam melakukan pemulihan korban. Ia mengulangi dan menegaskan,”kejadian bencana selalu memberi dampak mengurangi atau menghilangkan hak-hak warga”.

    Saat ini laporan akhir masih dalam proses penyempurnaan sehingga belum bisa dibagikan. Ia kemudian menyampaikan ringkasan lima bab laporan yang terdiri: pertama, latar belakang kenapa ada tugas memeriksa pemenuhan HAM dalam kasus Lapindo oleh Komnas saat ini maupun tim-tim sebelumnya.

    Komnas pernah memeriksa kasus Lapindo sesuai UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM berkaitan kemungkinan terjadinya pelanggaran berat HAM. Komnas melakukan penyelidikan dan hasilnya disampaikan dalam sidang paripurna. Sayangnya dugaan pelanggaran berat HAM yang disampaikan oleh tim penyelidik belum bisa diterima dalam sidang paripurna Komnas HAM.

    Namun, setelah keputusan sidang paripurna ternyata masih ada pengaduan-pengaduan warga. Komnas kemudian melakukan pemeriksaan sehingga bisa merumuskan pembelajaran penting agar tidak terjadi pengulangan tindakan pelanggaran HAM yang sama dalam kasus serupa dimasa mendatang.

    Pada bab dua, ia paparkan prinsip-prinsip HAM yang mrndasari mengapa negara wajib melakukan pemulihan dan pemenuhan HAM korban bencana. Bab ini juga memaparkan kenapa perusahaan juga punya kewajiban dalam perlindungan, pemulihan, dan pemenuhan HAM karena dalam UU biasanya hanya menyebutkan aktor utama hanya negara. Dalam perkembangannya, norma HAM secara internasional telah mewajibkan perusahaan untuk melakukan perlindungan HAM.

    Dalam praktiknya memang didapati kesulitan jika aktor pelanggar HAM bukan negara, namun Komnas HAM telah menemukan landasan-landasan agar perusahaan juga berkewajiban melakukan pemenuhan HAM seperti negara.

    Bab tiga memaparkan bagaimana tanggjawab negara dan perusahaan dalam pemenuhan HAM korban Lapindo secara runut sejak awal dibentuk Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo hingga dana talangan di era presdien Joko Widodo. Pada beberapa bagian disebutkan masih belum jelasnya status penyebab semburan lumpur dan masih menjadi perdebatan hingga saat ini cukup menyulitkan pemulihan korban.

    Badan ad hoc BPLS dibentuk melalui perpres sejak 2007. Mekanisme yang dijalankan dalam penanganan korban yang diatur dalam kebijakan publik ternyata menggunakan landasan hukum perdata melalui mekanisme jual beli. Ini menjadi problem dalam pemulihan HAM korban hingga saat ini.

    Ada temuan-temuan proses pemulihan yang tidak dilakukan oleh negara maupun perusahaan. Misalnya ada banyak hak-hak korban Lapindo yang belum berkaitan dengan pulihnya lingkungan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan hak dasar lainny . Dalam ranah HAM meski telah dilakukan pemulihan-pun ada hal yang masih perlu diukur yang dalam HAM dikenal sebagai satisfaction. Istilah ini berkaitan dengan terpenuhi atau tidaknya kepuasan korban atas pulih atau tidaknya hak mereka.

    BPLS memang membuat definisi kasus lumpur Lapindo sebagai bencana geologi, namun definisi ini tidak ada landasan hukum dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tanpa landasan regulasi dalam pengelolaan bencana, pemenuhan HAM ternyata dilakukan melalui asset based, sehingga korban yang diidentifikasi hanya berdasar kepemilikan aset dan bukan individual yang memiliki hak dasar melekat sebagai manusia. Dalam kasus Lapindo, warga yang tidak memiliki aset tidak bisa ditangani pemulihan HAM-nya. Bahkan jika memeriksa kasus Lapindo lebih mendalam, pemulihan hak-hak dasar seperti lingkungan yang baik, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi tidak bisa diperoleh oleh korban.

    Pada bab empat, Komnas HAM telah menganalisis, tidak ada mekanisme landasan hukum yang digunakan menjadi rujukan dalam penegakan hukum terhadap usaha bisnis yang telah membawa dampak pelanggaran HAM. Dalam kasus Lapindo, negara juga tidak melakukan seruan untuk upaya-upaya bantuan kemanusiaan selama sebelas tahun semburan lumpur. Dalam kasus lapindo, negara dan perusahaan tidak memiliki data persebaran korban. Ini menjadi indikator tidak dilakukannya upaya pemulihan HAM korban Lapindo.Pemerintah dan perusahaan dinilai gagal menghentikan semburan lumpur. Tidak ada data terkini karena tidak dilakukan upaya penghentian maupun pencari-tahuan informasi mengenai lumpur Lapindo, dampak, dan para korbannya. Sehingga nampak bahwa korban Lapindo belum pulih hak-haknya sebagai manusia.

    Bab terakhir yang dipaparkan berkaitan dengan rekomendasi. Rangkuman rekomendasi terdiri kepada presiden, menteri pu, bnpb, pemerintah daerah, penegak hukum, legislatif.

    Salah satu rekomendasi Komnas HAM kepada Presiden republik Indonesia adalah untuk mengevaluasi model pemulihan hak korban melalui mekanisme jual beli karena ada dampak-dampak lanjutan bagi korban Lapindo.

    UUPLH 32/2009 bisa menjadi landasan dalam pembangunan yang berdampak pada lingkungan yang bisa memberikan ruang bagi negara untuk melindungi HAM warga sejak masa awal perencanaan kegiatan usaha. UU No 39/1999 tentang HAM juga menjadi landasan bagi pemenuhan hak anak, hak perempuan, dan hak atas lingkungan yang baik sehingga komnas merekomendasi agar dilakukan inventarisasi data terhadap korban bencana.

    Rekomendasi kepada pemerintahan daerah salah satunya adalah merumuskan rencana tata ruang wilayah (RTRW) agar pengelolaan wilayah bencana kedepan bisa lebih jelas. Yang lain, Komnas HAM juga memberikan rekomendasi agar proses ganti rugi fasilitas sosial dan fasilitas umum bisa dilakukan agar korban bisa memulihkan kehidupan sosial mereka.

    Sebagi penutup pemaparan, Khoiron meminta masukan dan komentar atas rekomendasi yang dibuat agar lebih mengena dan bisa ditindaklanjuti dalam pemulihan HAM korban lapindo oleh para pihak.

    Dialog
    Dimoderasi oleh ketua pansus lumpur lapindo, Mahmud, dialog dimulai dengan penyampaian Sungkono, korban Lapindo dan juga anggota DPR RI. Ia menyampaikan ada dinamika Perpres yang semakin tidak menguntungkan posisi warga. Misalnya penggantian kerugian warga didasarkan peta terdampak yang bisa berubah sewaktu-waktu. Penanganan sangat lambat terhadap korban yang sejak masa awal menjadi korban, salah satunya adalah para warga yang memiliki usaha di dekat lokasi semburan dan lahannya terbenam lumpur. Padahal dalam Perpres warga korban disebutkan secara jelas sebagai warga yang memiliki aset tanah dan bangunan di lokasi terdampak. Untuk itu ia meminta agar proses pemulihan awal bisa disegerakan penggantian aset warga korban Lapindo. Keputusan MK seharusnya bisa menjadi landasan pemenuhan hak-hak semua warga korban Lapindo. Rapat komisi DPR selalu merekomendasi kepada pemerintah untuk melakukan itu, namun tidak pernah terealisasi.

    Ketua Pusat Penanganan Lumpur Sidoarjo (PPLS) Dwi Sugiyanto menyampaikan perlu ada penajaman rekomendasi terutama penanganan dalam PAT. Misal kepada presiden bisa direkomendasi dilakukan pemenuhan ganti rugi kepada keseluruhan korban, termasuk kepada pengusaha yang menjadi korban. Memang negara sudah berusaha dengan mengalokasikan dana antisipasi 773M pada tahun 2015, namun ini belum semua korban bisa terpenuhi.

    Ia juga menyampaikan, pendanaan akan sangat mempengaruhi proses pengelolaan lumpur Lapindo dalam PAT terutama berkaitan dengan pemulihan infrastruktur. Untuk memudahkan PPLS menjalankan tugasnya, maka persoalan ganti rugi mestinya sudah diselesaikan.

    Seismik 3 Dimensi sudah diupayakan dilakukan, namun ini belum disetujui kementerian keuangan karena dilihat sebagai upaya mencari tahu potensi migas saja, padahal seismik ditujukan untuk mitigasi bencana.

    Dalam upaya meningkatkan kenyamanan warga maka pemulihan infrastruktur perlu dilakukan serius. Upaya konkrit pengendalian lumpur adalah dengan pengelolaan volume lumpur dengan pengendalian infrastruktur yang terstruktur. Elevasi lumpur terus menurun menandakan adanya penurunan muka tanah secara m=enyeluruh di kawasan sekitar semburan.

    Untuk fasos dan fasum, PPLS memprioritaskan penggantian tanah-tanah waqaf yang landasan aturannya bisa menggunakan peraturan yang sudah ada. Pengamanan aset bisa dilakukan melalui upaya penyelesaian administratif aset warga, misalnya memfasilitasi proses sertifikasi aset warga.

    Sungkono menyela, ia menyampaikan agar ada rekomendasi yang lebih konkrit pada penyelesaian ganti rugi korban lumpur Lapindo keseluruhan warga tanpa membedakan status sebagai pengusaha atau bukan karena sudah ada putusan MK yang menjadi landasan.

    Anggota DPRD lain yang juga menjadi korban Lapindo dari Desa Jatirejo, H Maksum memberikan masukan agar komnas HAM bisa lebih memerinci dan medetailkan model penyelesaian pemenuhan ham korban lapindo, naik korban dalam PAT dan diluar PAT. Ia menceritakan pada saat awal memang ada opsi ganti rugi, ada opsi cash and carry (tunai), resettlement (relokasi), dan juga ada yang tidak jual aset. Di desa Jatirejo misalnya warga tidak tahu apa dasar keputusan harga lahan yang diputuskan pemerintah dan perusahaan. Padahal sebelum ada semburan lumpur harga tanah di Jatirejo sudah lebih dari harga yang ditentukan dalam ganti rugi yang hanya sebesar 120 ribu per meter persegi untuk tanah sawah. Banyak juga aset-aset tanah waqaf yang digunakan kegiatan pendidikan yang belum terealisasi ganti rugi hingga saat ini.

    Ritonga, ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo(GPKLL) merekomendasi agar komnas merekomendasi pemerintah tidak melakukan dikotomi warga pengusaha dalam mendapatkan ganti rugi. Ia mengusulkan agar DPR RI tidak mengesahkan APBN jika masih terjadi dikotomi pemberian ganti rugi. Demikian juga kepada DPRD Sidoarjo agar tidak mengesahkan APBD Sidoarjo.

    Sementara itu perwakilan nadhir musholla dan masjid di Porong menyampaikan bahwa baru dalam kasus penanganan Lapindo ada istilah tanah banci. Misalnya ada yang secara sertifikat tanah kering namun dalam realisasinya digunakan utk pertanian karen BPLS melandasakan pada peruntukan aktual, sehingga ini menjadi sengketa bertahun-tahun. Sebisa mungkin penanganan pemulihan aset-aset tanah kolektif warga bisa dikembalikan kepada warga secepatnya. Ini berkaitan dengan kepercayaan iman bahwa pemulihan tanah waqaf adalah kewajiban penerima waqaf agar tidak berdosa.

    Korban Lapindo lainnya, Supari menceritakan, ada banyak yang tidak bisa memulihkan diri paska semburan Lapindo meski telah menerima ganti rugi. Ini seharusnya diperhatikan oleh pemerintah agar bisa ditangani karena penggantian aset tidak bisa seluruhnya bisa menjadi dasar penilaian pemulihan korban. Masih ada banyak warga yang tidak bisa membangun kembali rumah, tidak mendapat pekerjaan, pendidikan dan juga berkaitan dengan kesehatan. Tidak banyak pihak yang memiliki kepedulian untuk melihat hal-hal seperti ini. Yang selalu dilihat oleh publik adalah warga korban sudah menerima ganti rugi dan masalahnya selesai.

    Djuwito, dari Renokenongo juga menyampaikan memang ada banyak korban Lapindo yang belum pulih dan ketinggalan dalam penyelesaian ganti rugi. Keputusan MK bisa mejadi dasar pelaksanaan ganti rugi terhadap warga yang belum diganti.

    Yang menarik ada pernyataan Jon Subianto, dari Gedang, yang mengharap Komnas HAM bekerja karena panggilan dan rasa kemanusiaan. Ia mencontohkan dirinya yaang istrinya sakit-sakitan sehingga ia sampai disarankan untuk kawin lagi. Penting disampaikan kepada Presiden agar penanganan korban lapindo harus konprehensif seperti masalah kesehatan dan lingkungan. Hal serupa disampaikan pula oleh Ikhwan dari Glagaharum. Ia pernah mendapati di desa Glagaharum terjadi warga meninggal dalam jumlah banyak dan beruntun. Perlu ada jaminan kesehatan yang diprioritaskan bagi korban lumpur Lapindo sehingga bisa berobat diwilayah manapun dan mendapat jaminan pembiayaan dan penanganan medis.

    Kepala BPBD Sidoarjo, Dwijo, menyampaikan agar rekomendasi Komnas HAM ditajamkan mengenai penyelesaian fasum dan fasos sehingga lebih ada landasan bagi para pihak untuk menyelesaikannya. Sementara ketua Pansus lumpur Lapindo, Mahmud, mengharap rekomendasi terkait tata ruang bisa ditajamkan karena belum ada rekomendasi berdasar geologi sejauh mana radius aman bagi kegiatan pembangunan. Ini penting untuk pengelolaan pembangunan kedepan.

    Khoiron menyambut baik kesluruhan masukan para pihak. Laporan akhir akan dilakukan paling akhir Agustus yang hasilnya bisa diunduh pada website Komnas HAM dan untuk korban lapindo jika menginginkan bentuk cetak bisa diupayakan untuk mendapatkannya.

    Pertemuan Warga
    Sehari sebelumnya (20/7) tim Komnas HAM juga melakukan dialog dengan korban Lapindo di Pasuruan. Mereka mendapat banyak masukan terkait situasi pemulihan hak-hak korban Lapindo. Irsyad menyampaikan setidaknya rekomendasi Komnas HAM agar tidak terjadi hal serupa lumpur Lapindo dikemudian hari bisa dibuat rekomendasi tegas yang melarang kegiatan industri migas di dekat permukiman warga.

    Dewan Nasional Walhi, B Catur Nusantara yang juga hadir dalam dialog memberikan masukan kepada Komnas HAM agar merekomendasi pemulihan lingkungan kepada para pihak pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Ia juga berharap rekomendasi Komnas HAM kepada seluruh jajaran pemerintah daerah untuk segera melakukan segala upaya untuk proses pemulihan korban Lapindo. Upaya ini bisa dimulai dengan melakukan inventarisasi sebaran seluruh korban dan status pemulihan kehidupan mereka saat ini.

    “Upaya pemulihan lingkungan harus dilakukan sebagai bentuk pemenuhan dan pemenuhan hak korban Lapindo dan warga yang tinggal di sekitar area semburan.  Dalam berbagai penelitian telah diketahui sebagian wilayah ini mengandung logam berat timbal dan kadmium dalam jumlah tinggi yang bisa mempengaruhi kesehatan warga. Lingkungan yang pulih bisa menjadi faktor utama untuk memulihkan kesehatan dan perekonomian warga,” terangnya. (c)

  • WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    RANAHBERITA- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta pemerintahan baru yang dipimpin Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla menuntaskan kasus lumpur lapindo di Jawa Timur secara lebih komprehensif.

    “Jangan hanya dipandang sebagai kewajiban mengganti lahan yang tertimbun lumpur, lebih kompleks dari itu, sehingga perlu penuntasan menyeluruh,” kata Direktur Walhi Jawa Timur Ony Mahardika di Jakarta, Jumat (3/10/2014).

    Ia mengatakan penyelesaian persoalan yang dihadapi korban Lapindo harus tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    Dalam hal ini, korban lumpur Lapindo adalah pengungsi internal yang membutuhkan jaminan atas terselenggaranya kebutuhan sesuai dengan kondisi mereka.

    Jaminan tersebut antara lain hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, kebebasan bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah Indonesia dan lainnya.

    “Kami merekomendasikan pemerintahan yang baru untuk secara komprehensif, memperhatikan usaha pemulihan hak-hak korban Lapindo,” ujarnya.

    Upaya pertama yang paling mendesak adalah mengambil alih sisa pembayaran kepada korban, kemudian ditagihkan kembali kepada Lapindo.

    Proses pemenuhan ganti rugi tersebut menurutnya bukan sekedar membayar berkas-berkas surat tanah warga, namun perlu pemetaan kelompok-kelompok korban Lapindo.

    Artinya korban-korban yang ada dalam skema “cash and carry” dengan cicilan, “cash and resettlement”, yang menolak cicilan maupun yang menuntut skema lain selain jual beli harus segera dituntaskan demi keadilan bagi semua korban Lapindo.

    Selain ganti rugi, pemulihan lingkungan dan jaminan kesehatan juga harus direalisasikan sebab usaha menutup semburan lumpur bukanlah prioritas dalam mitigasi bencana lumpur Lapindo tapi pengendalian luapan lumpur di permukaan.

    Pembuangan lumpur melalui kali atau kalan porong dan juga saluran air lainnya membuat pencemaran sistem air bawah tanah di sekitar semburan sampai Selat Madura akan terus meningkat.

    Jaminan pendidikan menurut Ony juga harus diperhatikan sebab sekitar 63 institusi pendidikan yang tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo, belum satupun yang ditangani pemerintah.

    Berikutnya pemulihan sosial dan budaya warga korban lumpur Lapindo terkait pemindahan paksa korban dari kampung halaman mereka yang terendam lumpur ke hunian baru.

    “Masalah ini kerap luput dari perhatian publik dan media massa. Melekatkan diri ke lingkungan baru, apalagi dilakukan dengan paksaan akan menambah beban bagi pemulihan krisis sosial, ekonomi, psikologis,” katanya menjelaskan.

    Termasuk pemulihan ekonomi juga mendesak dilakukan sebab sebanyak 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja terpaksa tutup karena bencana lumpur Lapindo.

    Tidak kalah penting menurut Ony adalah administrasi kependudukan. Sebab tidak adanya daftar pemilih tetap saat Pemilu 2014 bagi korban Lapindo menjadi salah satu masalah yang memperlambat pemenuhan hak-hak korban Lapindo. (Ant/Ed1)

    Sumber: http://ranahberita.com/30885/walhi-minta-jokowi-jk-tuntaskan-penyelesaian-kasus-lumpur-lapindo

  • Walhi Anugerahkan Penghargaan Kepada Komunitas Pejuang Lingkungan

    Rabu, 15 Oktober 2008 | 21:28 WIB | TEMPOInteraktif

    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menganugerahkan lima penghargaan kepada komunitas pejuang
    lingkungan.

    “Penghargaan diberikan bagi komunitas yang dinilai mampu mempertahankan lingkungan hidup dan sumber kehidupan rakyat,” ujar Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Berry Nahdian Forqan saat memperingati hari ulang tahun Walhi ke-28 di Perpustakaan Nasional Jakarta, (15/10).

    Peghargaan pertama diberikan atas perjuangan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Lingkungan Bojong, Bogor terhadap rencana pembangunan pabrik pembuangan sampah. Kegigihan mereka dinilai mampu menangkal potensi pencemaran tanah, air dan udara.

    Penghargaan juga diberikan kepada Ikatan Nelayan Saijaan (INSAN) Kotabaru, Kalimantan Selatan. Komunitas yang berdiri sejak 2003 itu dinilai militan melakukan perlawanan atas pembuangan limbah batuan di perairan Tanjung Pemancingan oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.

    Penghargaan ketiga diserahkan kepada anggota komunitas Sistem Hutan Kerakyatan, Pesawaran Bina Lestari, Lampung. Mereka dinilai berhasil melakukan swakelola ekosistem lingkungan hidup meski kerap menjadi korban kekerasan aparat.

    Penghargaan bagi komunitas keempat diberikan kepada Solidaritas Nelayan Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis, Riau. Komunitas nelayan ini dinilai berhasil mengelola lingkungan secara berkelanjutan.

    Penghargaan terakhir diberikan kepada Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang, Teluk Rinondoran, Sulawesi Utara yang tegas melawan potensi pengrusakan alam yang dilakukan oleh perusahaan tambang emas, PT Meares Soputan Mining.

    Penghargaan tertinggi Walhi berikan kepada masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur yang menjadi korban semburan lumpur Lapindo. “Hak hidup masyarakat wajib dilindungi,” ujarnya.

    Menurut Berry, sejumlah kerusakan alam cenderung disebabkan oleh praktek eksploitasi perusahaan multi koorporat. Eksploitasi sumber daya alam yag mereka lakukan merupakan faktor dominan yang memicu terjadinya musibah ketidakadilan ekologis.

    “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Tapi tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan seorang yang rakus,” ujarnya.

    RIKY FERDIANTO

  • Pembuangan Lumpur Lapindo Ke Laut Tak Menyelesaikan Masalah

    korbanlumpur.info – Kalangan pemerhati lingkungan dan banyak pihak menolak rencana pemerintah yang berencana mengalirkan lumpur Lapindo ke laut melaui kanal buatan. Seperti dalam pertemuan dengan Ketua Tim Ad Hoc Pelanggaran HAM lumpur Lapindo, Syafrudin Ngulma Simeulue di ruang pleno Komnas HAM hari ini (17/9).

    Seperti diketahui, pemerintah berencana membuang langsung lumpur Lapindo ke laut tanpa melalui Kali Porong setelah meyakini lumpur Lapindo tak bisa dihentikan. rencananya akan dibuat kanal selebar 200 meter dengan ketinggian kanal 15 meter yang panjangnya  14,6 kilometer.

    Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Berry Nahdian Furqan mengatakan pembuangan lumpur Lapindo itu akan membuat paparan lumpur akan semakin meluas. “Selat madura itu arus lautnya bergerak,  jadi lumpur akan menyebar ke daerah yang lebih luas. Ini harus ditolak,” kata dia. Jika pemerintah masih memaksa pembuangan itu, menurutnya Pemerintah sudah bisa dikategorikan sebagai penjahat lingkungan. Karena upaya pemerintah itu akan merusak lingkungan.

    Sementara sudut pandang lain dikemukakan Mustiko Saleh. Menurut ahli pengeboran yang mantan wakil Direktur Pertamina ini langkah pemerintah itu adalah usaha yang mubazir, alias sia-sia. Sebab menurut dia lumpur lapindo itu bukan lumpur homogen, melainkan campuran air dan partikel yang digerus dari dalam bumi. “Air dan partikel itu akan pisah, jadi airnya akan mengalir dan partikelnya akan mengendap. Coba lihat Sungai Porong, endapannya itu tidak terbawa air,” ungkapnya. Ia menambahkan kalau di Kali Porong saja lumpur tidak jalan apalagi di kanal yang tidak punya air.

    Mustiko juga menjelaskan usaha pemerintah itu tidak menyelesaikan masalah, selama sumber lumpur tidak ditutup. Menurutnya ada tiga alternatif yang bisa untuk menutup lumpur yaitu penyuntikan lumpur berat, mengeluarkan air dan meledakkan lapisan tanah. “Berdasarkan pengalaman saya dan temen-teman di Drilling Engineer Club, semburan seperti ini bisa ditutup,” ujar dia. Ia juga menyesalkan pernyataan pemerintah yang mengatakan lumpur Lapindo sudah tak dapat diatasi. [navy]

  • Two Years On, a Mud Volcano Still Rages and Bewilders

    As a disastrous mud eruption on Indonesia’s Java Island marks its second anniversary, the unprecedented event continues to stir debate about whether it resulted from an exploratory gas well drilling accident or a distant earthquake and how long it will last. The mud volcano, nicknamed Lusi, has been disgorging mud at a rate of up to 150,000 cubic meters per day. Officials are struggling to contain the effluent within dikes that are regularly breached and built anew farther out.

    In November 2006, ground deformation near the volcano ruptured a natural gas pipeline, killing 13 people. Lusi’s mud has engulfed 750 hectares, destroying the homes of more than 30,000 people as well as factories and farms. “Sadly, it’s not about simple technical problems anymore. It’s more [about] economic and social and political problems,” says Satria Bijaksana, a geophysicist at Institut Teknologi Bandung.

    Lapindo Brantas, the oil and gas exploration company that operated the ill-starred gas well, and the government have promised compensation to landowners, but it has been slow in coming. Hundreds of families are still living in temporary shelters. In two separate cases, Indonesian courts have ruled the eruption a natural disaster, absolving Lapindo Brantas of liability.

    Ivan Valentina Agung, a lawyer for Walhi, an Indonesian environmental group that filed one of the suits, says the group is appealing to a higher court in hopes of getting Lapindo Brantas to take responsibility for environmental rehabilitation.

    For scientists, Lusi is an intriguing specimen. A flurry of papers refines previous work on the eruption’s dynamics and offers insights into the evolution of mud volcanoes. “This is a great opportunity. Nobody knows how other mud volcanoes looked when they were first appearing,” says Adriano Mazzini, a geologist at the University of Oslo.

    There is general agreement on the sequence of events. On 27 May 2006 at 5:54 a.m. local time, a magnitude-6.3 earthquake struck near Yogyakarta, in central Java. Between 5 and 8 a.m. the following day, Lapindo Brantas’s gas well, which was being drilled 250 kilometers to the east near the town of Sidoarjo, began to flood. Workers shut the well’s blowout preventer to keep the fluid from gushing out the top. They noted that pressure inside the well rose rapidly before gradually subsiding. Early in the morning of 29 May, mud began burbling out of the ground about 150 meters away.

    In a February 2007 article in GSA Today, Richard Davies, a geologist at the University of Durham, U.K., and colleagues claimed that the drillers penetrated a porous limestone formation about 2800 meters below the surface, inadvertently tapping into a highly pressurized aquifer. The borehole’s casing didn’t extend deep enough to protect rock from cracking under the pressure when the blowout preventer was shut, he concluded. Water then channeled its way to the surface, bringing mud with it (Science, 2 February 2007, p. 586).

    That’s not how Mazzini and his colleagues see it. In the 30 September 2007 issue of Earth and Planetary Science Letters, they argued that the region’s geological structures, pressurized hydrocarbon deposits, common in the region, and a seismic fault created conditions “perfect for a mud volcano.” The only thing missing was a trigger, Mazzini says. The drilling might have contributed, he says, but he believes a more important factor was that the Yogyakarta earthquake reactivated the fault. At roughly the same time Lusi broke, mud also erupted from eight fissures along a 100-kilometer stretch of the fault line. “I don’t think this is a coincidence,” he says.

    Global Positioning System (GPS) data and an obvious kink in a rail line show that ground along the fault has shifted up to half a meter since the Yogyakarta earthquake. But Michael Manga, a geologist at the University of California, Berkeley, who has studied how earthquakes trigger distant volcanic eruptions, contends that the quake was too small and too far away from the fault to influence it. In recent decades, he says, “there were many earthquakes that were both closer and bigger and by any measure more likely to have triggered an eruption.”

    In a paper published online on 5 June in Earth and Planetary Science Letters, Manga, Davies, and colleagues suggest that the fault is likely to be shifting in response to the movement of vast amounts of material to the surface. The mechanism is not clear. Co-author Rudi Rubiandini, a petroleum engineer at the Institut Teknologi Bandung, says the analysis “makes every other reason [for the eruption] impossible.” Most earth scientists agree that the well must have had some effect, says James Mori, a seismologist at Kyoto University in Japan. But he says researchers can’t determine whether the volcano would have formed without the drilling.

    While sympathizing with Lusi’s victims, geologists say they relish the rare opportunity to study a mud volcano’s birth and evolution. GPS and satellite-based interferometric synthetic aperture radar data indicate that the surface near the volcano’s vent is collapsing into a funnel shape, characteristic of sand draining from the top bulb of an hourglass. Davies and colleagues concluded in a paper published online on 21 May in Environmental Geology that between June 2006 and September 2007, the funnel’s center sank at about 4 centimeters per day, which in 3 years would produce a sag of 44 meters. They also report that areas outside the funnel are rising, probably due to movement of the fault.

    Scientists are puzzling over other phenomena as well. Since March 2007, the flow has periodically stopped for hours or days only to resume with its previous vigor. The likely explanation, Davies says, is that the weight of mud at the surface is collapsing the vent deep underground. Pressure backs up until it breaks through the blockage. In addition, there have been 88 minieruptions of water and methane where the ground is subsiding. Rubiandini believes the subsidence is cracking open pressurized gas pockets. And along the fault, geysers of water have suddenly shot up in the middle of yards, rice paddies, and even within factories, probably due to the rearrangement of subsurface plumbing.

    “The volcano is taking on a life of its own,” Davies says. How long this will go on, he says, is anybody’s guess.

    Unstoppable

    The mud volcano Lusi is unique in its longevity and the volume of material ejected. It may also be setting records for the number or failed attempts to plug it. Immediately after the 29 May 2006 eruption, Lapindo Brantas., the company whose exploratory drilling, some claim, triggered the eruption, pumped concrete into the well to try to stop the gush of hot, salty water from a subsurface aquifer. When that failed, the company brought in a consultant from Houston, Texas, who directed the drilling of two relief wells intended to intercept the original borehole and pump in high density drilling mud to plug the leak. This effort was abandoned when the wells were short of their target, also, reportedly, because Lapindo ran out of money.

    In February 2007, following a proposal from geophysicist Satria Bijaksana and two colleagues from Institut Teknologi Bandung, Lapindo Brantas started dropping into the vent clusters of concrete balls, 20 centimeters and 40 centimeters in diameter, roped together with steel cables. The objective, Bijaksana says, was “to reduce the sheer volume of mud coming out of the vent to a manageable level.” This effort was abandoned after 398 of a planned 1000 clusters had been dropped; a government agency that took over management of the disaster concluded that the balls were having little effect.

    The only hope of plugging Lusi is to drill another relief well to plug the original well at a point below where it was breached, says Rudi Rubiandini, a petroleum engineer at Institut Teknologi Bandung. He estimates that the well would cost $70 t0 $100 million. But that is unlikely to happen, he says: “Our government now thinks this is a natural disaster and impossible to kill.”

    Dennis Normile

  • Activists criticize environmental rating

    A government environmental report praising some of the country’s biggest polluters will lead to further deterioration of the environmental situation, according to green groups.

    Furthermore, they said they suspected the Proper (environmental performance rating of companies) rating system was designed to help the polluters improve their image and silence critics.

    “Many of the companies in the report are not eligible for green credits,” Indonesian Environmental Forum (Walhi) executive director Berry Furqan told The Jakarta Post on Tuesday.

    “The assessment shows the government lacks the will to take serious action to improve the environment and force companies to uphold better management of the environment.”

    The Proper system gives companies a rating of gold (the highest), green, blue, minus blue, red, minus red and black (the lowest), depending on their performance against government environmental management standards. The assessment is not mandatory.

    Walhi particularly questioned the minus ratings, which it claimed were created so polluters could avoid receiving the worst rating.

    “If the government wants to enforce the law, there is no need to use minus blue or minus red. It is not fair,” Berry said.

    Walhi plans to file an official protest with the environment ministry over the report. The ministry announced the Proper rating of 516 companies last week based on the companies’ air and water pollution control, environmental impact analysis (Amdal) and implementation of corporate social responsibility.

    Green ratings were awarded to 46 companies that surpassed the environmental standards set by the government. They included PT Holcim Indonesia, PT Riau Andalan Pulp and Paper Mill, PT Toba Pulp Lestari, Tbk, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Chandra Asri, PT Unilever Indonesia, PT Semen Gresik and PT Indah Kiat Pulp and Paper.

    The blue rating went to 180 companies that complied with the government’s environmental standards, including PT Lapindo Brantas in Sidoarjo, ConocoPhillips Indonesia Ltd, PT Medco EP, PT Pertamina and PT Lippo Cikarang.

    The blue minus rating was given to 161 companies including PT Dow Chemical Indonesia, PT Freeport Indonesia, PT Aneka Tambang, PT International Nickel Indonesia and PT Indo Lampung Perkasa.

    Network for Mining Advocacy (Jatam) coordinator Siti Maimunah said the Proper rating was of greater benefit to companies than to the environment or to communities living near the companies’ operational areas.

    “The Proper program has prompted the companies to manipulate data,” she said.

    The government assessed companies only by their managerial performance and the documents they submitted, she added.

    A member of the Proper team, Gempur Adnan, denied allegations the minus ratings were made to accommodate the interests of big companies. “To meet the minus blue rating is not that easy for companies. They must work hard to improve their environmental management,” he said.

    He also denied there were any backroom deals with companies, saying the process was completely transparent and came under the review of an independent team consisting of activists and media.

    Adianto P. Simamora, The Jakarta Post