Tag: win hendrarso

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Timnas)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Timnas)

    Oleh: Anton Novenanto

    (Bagian 2 dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya klik di sini)

    SELAMA INI, PUBLIK menganggap bahwa negara tidak banyak berperan dalam penanganan awal semburan lumpur. Salah satu argumen yang kerap direpetisi adalah seputar pembiayaan penanganan awal dibebankan pada anggaran belanja Lapindo sehingga negara tidak bisa banyak berbuat untuk mengatasi semburan (Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008). Bila mayoritas publik mengatakan bahwa pembebanan anggaran semacam itu sebagai ‘hukuman’, saya melihat bahwa keputusan itu sebagai pemberian keistimewaan pada Lapindo untuk bebas melakukan apapun, bahkan, jika perlu, mengorbankan rakyat sipil. Kecenderungan semacam ini semakin memperkuat argumen yang hendak disampaikan melalui tulisan ini: negara hadir demi melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak sesukanya –sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan.

    Dua pertanyaan terlontar: pertama, bagaimana Lapindo bisa mendapatkan keistimewaan tersebut? Kedua, mengingat keistimewaan tersebut bagaimanakah negara memainkan perannya dalam kasus Lapindo? Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, kita perlu menelusuri proses penanganan awal semburan lumpur Lapindo yang berada di bawah koordinasi Tim Nasional Penanganan Semburan Lumpur di Sidoarjo (selanjutnya, ‘Timnas’). Timnas yang dibentuk 8 September 2006 memang hanya bertugas selama tujuh bulan, namun tim yang diketuai Basuki Hadimuljono (sekarang Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) itu telah meletakkan pondasi dasar bagi proses pemindahan paksa warga di 15 desa/kelurahan di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Sidoarjo.

    ***

    PADA 12 JUNI 2006, Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, membentuk tim terpadu untuk menangani luapan lumpur Lapindo (BPK 2007, 70). Tim diketuai Bupati Sidoarjo dan terbagi menjadi tiga tim koordinatif, a.l., Koordinasi Pengendalian Situasi yang berada di bawah wewenang Dandim 0816 Sidoarjo, Koordinasi Teknis ditangani oleh Lapindo dan BP Migas, dan Koordinasi Rehabilitasi Sosial dan Kehumasan menjadi tanggung jawab Wakil Bupati Sidoarjo, Saiful Illah (KomnasHAM 2012, 65).

    Dua hari setelah itu, pada 14 Juni 2006, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membentuk tim khusus yang diketuai Rudi Rubiandini dari Jurusan Teknik Perminyakan, ITB, untuk menginvestigasi insiden tersebut (Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008, 65). Pada awal September 2006, tim mengumumkan bahwa hasil investigasi menemukan bahwa semburan lumpur terjadi akibat kelalaian Lapindo yang tidak memasang selubung pengaman sesuai rencana ketika mengebor Sumur Banjar Panji 1 (Tim Walhi 2008, 2). Dengan kata lain, pemerintah (c.q. tim investigasi) menyatakan bahwa semburan lumpur adalah bencana buatan manusia, akibat kecelakaan industrial.

    Selang beberapa hari setelah itu, pada 8 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 (Keppres 13/2006) tentang Timnas. Timnas direncanakan bertugas selama 6 (enam) bulan, namun menjelang habis masa kerjanya belum tampak tanda-tanda lumpur akan berhenti sehingga pada 8 Maret 2007 keluar Keppres 5/2007 tentang Perpanjangan Masa Tugas Timnas yang diperpanjang selama 1 (satu) bulan. Kerja Timnas berakhir pada 8 April 2007 berbarengan dengan penerbitan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang menggantikan Timnas.

    Terlepas dari kontroversi yang melingkupinya –terkait status keputusan presiden yang berada di luar struktur hukum formal di Indonesia (Gustomy 2012, 75–78; Batubara and Utomo 2012, 165–168), Keppres 13/2006 adalah peraturan pertama yang dikeluarkan pemerintah pusat dalam rangka mengatasi lumpur Lapindo dan Timnas adalah lembaga mitigasi pertama yang dibentuk khusus untuk menangani semburan lumpur Lapindo. Sekalipun hanya bekerja selama tujuh bulan, Timnas telah meletakkan pondasi dasar bagi pembangunan bencana yang akan dilanjutkan oleh BPLS sampai sekarang.

    Keppres 13/2006 melanjutkan kesimpulan tim investigasi, bahwa semburan lumpur terkait dengan kegiatan industri migas (kecelakaan teknologi). Hal ini dapat dilacak dari peraturan perundangan yang melatarbelakanginya, yaitu UU Migas No. 22/2001, PP No. 19/1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan, PP No. 11/1979 tentang Keselamatan Kerja pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi, dan PP No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi jo PP No. 34/2005. Melihat komposisi semacam ini, agenda kerja utama Timnas terkait dengan kegiatan industri migas, bukan mitigasi bencana. Timnas bekerja di bawah supervisi Menteri ESDM, yang memang representasi presiden yang mengurus industri migas di republik ini –sementara BPLS berada di bawah Menteri PU).

    Timnas dibentuk untuk melaksanakan tiga tugas, yaitu menutup semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial (Butir Ketiga). Dan, untuk melakukan ketiga tugas itu segala biaya yang diperlukan Timnas dibebankan pada anggaran Lapindo (Butir Keenam). Klausul terkait pembiayaan ini sangat problematis. Sekilas, publik akan melihat politik anggaran semacam ini adalah sesuatu yang ‘baik’ karena publik meyakini semburan bersumber dari ulah Lapindo sehingga wajar bila Lapindo harus menanggung seluruh biaya penanganannya. Akan tetapi, politik anggaran semacam ini membuat seluruh tindakan penanganan awal semburan lumpur sangat tergantung pada keputusan jajaran direksi Lapindo (bdk. Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008; Tim Walhi 2008). Lebih-lebih, BPK (2007, 73) menyebutkan bahwa Lapindo tidak pernah serius membiayai usaha penanganan awal tersebut, sehingga dapat disimpulkan kegagalan menutup semburan perlu dilihat dari kacamata politik-ekonomi sebuah perusahaan yang tidak mau menderita kerugian.

     ***

    LUMPUR PANAS YANG terus meluap adalah faktor alam yang memaksa pindahnya puluhan ribu penduduk, tetapi luapan itu tidak akan terus terjadi bila saja Lapindo tidak lalai dalam mengebor dan usaha menutup semburan berhasil dilakukan. Untuk menutup semburan satu teknik telah diusahakan: mengebor ‘sumur pertolongan’ (relief well), yaitu sumur yang dibor untuk memotong sumur utama ketika terjadi ledakan bawah tanah (blowout), seperti yang dialami oleh Sumur Banjar Panji 1. Pengeboran dilakukan dari titik yang berbeda di sekitar sumur utama dan diikuti dengan injeksi cairan khusus untuk menghentikan kebocoran yang ada. Teknik ini dikenalkan pada 1930an di Texas, Amerika Serikat.

    Agak sedikit berbeda, ahli pengeboran Lapindo mengklaim bahwa sebelum mengebor sumur pertolongan telah dilakukan dua metode lain: mengebor ulang Sumur Banjar Panji 1 (snubbing unit) dan mengebor lubang lain secara miring untuk memotong Sumur Banjar Panji 1 (sidetracking well) (Istadi et al. 2009). Namun, seperti dibahas sebelumnya (bagian 1) pengeboran ulang sumur utama, yang dilakukan pada 2 Juni 2006, merupakan kesalahan fatal (Adams 2006, 57); sementara itu, pengeboran miring perlu dilihat sepaket dengan teknik sumur pertolongan karena tindakan tersebut dilakukan untuk memperoleh data awal sebelum mulai mengebor sumur pertolongan (Rubiandini 2007). Laporan pemeriksaan BPK (2007, 59–60) menyebutkan bahwa telah dilakukan pengeboran tiga sumur pertolongan dan tiga sumur observasi sebagai rangkaian usaha menutup semburan lumpur Lapindo yang dipimpin oleh William Abel, konsultan pengeboran dari Houston, Texas, AS. Dalam wawancara pada bulan September 2006, Abel sangat yakin bahwa teknik itu akan berhasil, katanya, ‘Dalam sejarah pengeboran, belum pernah ada blowout yang gagal diatasi’ (dikutip dalam Normile 2006). Sayangnya, kali ini dia harus keliru, usaha itu gagal.

    Kegagalan menutup semburan berdampak pada meluasnya luapan lumpur panas dan memaksa puluhan ribu warga untuk pindah dari hunian mereka. Volume semburan lumpur mencapai 70.000-150.000 m3/hari dengan suhu mencapai 70o Celcius (Davies et al. 2007). Dalam waktu tiga minggu saja, lumpur sudah mengubur area padat penduduk seluas 90 hektar dan memaksa lebih dari 2.000 penduduk mengungsi. Hanya jeda seminggu setelah itu, area yang terbenam lumpur mencapai 145 hektar dan semakin banyak orang yang harus pergi dari rumah mereka. Pada bulan September 2006, area yang terendam mencapai 240 hektar. Di akhir 2006, luasan wilayah terdampak berlipat ganda, menjadi 450 hektar, menyusul ledakan pipa gas bawah tanah milik Pertamina yang meruntuhkan tanggul di Timur Laut, pada 22 November, dan mengakibatkan lumpur menggenangi kompleks perumahan padat huni, Perumahan Tanggulangin Asri Sejahtera (PerumTAS).

    Luas area yang tergenang lumpur terus melebar seiring dengan kegagalan upaya menutup pusat semburan. Kini, untuk menahan meluasnya lumpur telah dibangun tanggul semipermanen sepanjang mencapai 8 (delapan) kilometer di sekeliling semburan utama mengelilingi wilayah seluas mencapai 800 hektar. Sekalipun usaha membendung dan membuang sebagian lumpur ke Selat Madura, melalui Kali/Kanal Porong sudah dilakukan,[i] luapan lumpur tak kunjung surut. Selain persoalan lumpur, dampak ekologis lain yang kasat mata adalah deformasi (penurunan/kenaikan) dan pergeseran (yang mengakibatkan keretakan) permukaan tanah, semburan-semburan kecil gas yang mudah terbakar, serta degradasi kualitas air tanah dan udara.

    Dampak kolateral tersebut telah menyebabkan wilayah di luar tanggul lumpur menjadi kawasan tak layak huni dan oleh karenanya para penduduknya harus mengungsi ke tempat lain. Estimasi saya, berdasarkan foto peta satelit yang disediakan GoogleEarth, wilayah terdampak langsung itu mencapai lebih dari 1.500 hektar, yang mencakup 15 desa/kelurahan di 3 (tiga) kecamatan. Kelimabelas desa/kelurahan itu antara lain: Desa Gempolsari, Desa Kedungbendo, Desa Kalitengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin; Desa Renokenongo, Desa Glagaharum, Kelurahan Siring, Kelurahan Gedang, Kelurahan Jatirejo, Kelurahan Mindi, dan Kelurahan Porong di Kecamatan Porong; serta Desa Kedungcangkring, Desa Pejarakan, dan Desa Besuki di Kecamatan Jabon. Pada dua tahun pertama, jumlah penduduk yang harus pindah diperkirakan mencapai 39.000 jiwa. Jumlah ini belum termasuk korban tambahan pasca terbitnya Perpres 68/2011 (sekitar 3.000 jiwa), Perpres 37/2012 dan Perpres 33/2013 (belum ada estimasi jumlah korban berdasarkan kedua perpres terakhir tersebut). Pemerintah tidak pernah merilis berapa jumlah resmi penduduk yang harus meninggalkan rumah mereka akibat lumpur Lapindo, sejak 2006 sampai sekarang.

    Tidak ada angka resmi dari pemerintah yang menyebutkan luasan wilayah yang harus dikosongkan akibat semburan lumpur Lapindo. Menurut prediksi para geolog, lumpur dari perut bumi akan keluar secara masif sampai 30 tahun sejak pertama kali menyembur, dan masih akan terus menyembur dalam volume yang lebih kecil sampai ratusan tahun ke depan (Davies et al. 2011). Sayang, pemerintah belum pernah merilis ke publik prediksi jangka panjang perluasan dampak lumpur Lapindo.

    Pada 13 Desember 2006, Timnas menyatakan pengeboran sumur pertolongan harus dihentikan karena permukaan tanah tidak stabil sehingga dapat membahayakan para awak (Hadimuljono 2007, 63–65). Alasan itu bisa jadi benar, tapi Rudi Rubiandini, ketua tim investigasi yang juga bertanggung jawab untuk menutup semburan, berpendapat bahwa tidak berlanjutnya usaha menutup semburan juga disebabkan ihwal non-teknis, yaitu ketidakseriusan untuk menutup semburan yang indikasinya dapat dilihat dari ketidaksesuaian usaha dengan kaidah keilmuwan (KomnasHAM 2012, 64; Mudhoffir 2013, 26). BPK pun menemukan persoalan administrasi keuangan sebagai kendala utama kegagalan menutup semburan karena di awal Timnas dan/atau Lapindo tidak memperkirakan biaya total yang akan dikeluarkan untuk mengebor sumur pertolongan itu, yang mencapai Rp 237,91 milyar. Tentang penutupan semburan, BPK berpendapat:

    Penyusunan anggaran dan kegiatan oleh Timnas tidak didasarkan pada kemampuan penyandang dana [Lapindo, AN], hal ini menunjukkan tidak adanya kejelasan likuiditas dana yang tersedia. Semua alternatif penanganan tidak akan efektif berjalan jika terhalang keterbatasan dana dan hanya dilaksanakan setengah jalan. (BPK 2007, 75)

    Keppres 13/2006 memang tidak mengatur secara jelas tentang kewenangan Timnas untuk memaksa Lapindo melakukan seluruh pembayaran tepat waktu. Akan tetapi, itu bukan berarti negara tidak berperan dalam urusan menutup semburan. Justru, negara (c.q. Presiden) adalah aktor utama yang memerintahkan pembiayaan penutupan semburan tersebut pada Lapindo. Ditambah lagi, negara (c.q. Timnas) merupakan aktor yang melegitimasi penghentian usaha penutupan semburan tersebut dan dengan demikian negara berperan penting memunculkan biaya lain yang lebih jauh besar.

    ***

    DALAM PEMBAHASANNYA TENTANG ‘bencana pembangunan’, Oliver-Smith (2010) tidak berbicara tentang faktor bahaya lingkungan yang tak terduga, tiba-tiba, apalagi alamiah. Dia justru sedang membahas proses yang dilakukan secara terencana atas nama kemajuan dan kepentingan umum, atau yang kerap disebut ‘pembangunan’. Menurutnya, pada satu sisi, pembangunan dilakukan untuk menghadirkan infrastruktur baru demi pencapaian kemajuan suatu bangsa; namun, pada sisi lain, pada hakikatnya pembangunan adalah ‘penghancuran dan pencabutan manusia dari hunian dan komunitasnya’ (Oliver-Smith 2010, 3). ‘Pemindahan paksa’ menjadi kata kunci dalam pembahasan Oliver-Smith tentang bencana pembangunan dan menurutnya proses itu tidak terjadi secara tiba-tiba; sebuah proses yang juga terjadi dalam kasus Lapindo.

    Secara kasat mata, lumpur Lapindo memang faktor alam utama bagi terjadinya pemindahan paksa bagi puluhan ribu warga di sekitar semburan. Namun, seperti telah dibahas sebelumnya, faktor manusia menjadi kunci utama bagi munculnya semburan. Kondisi itu diperparah dengan dihentikannya usaha menutup semburan oleh, lagi-lagi, manusia. Faktor manusia kembali menjadi penting dalam menentukan siapa yang harus pindah dan siapa yang harus bertahan melalui proses, yang disebut James Scott (1998, 3), ‘pemetaan’. Pemetaan bukan hanya sekadar menghadirkan gambar bumi dalam selembar kertas tapi menunjukkan kuasa negara dalam memprioritaskan modifikasi lingkungan dan manusia yang tinggal di atasnya (bdk. Crampton 2001; Elden 2010).

    Dalam kasus Lapindo, perkembangan wilayah yang terbenam lumpur dapat ditelusuri dari proyek penanggulan yang mengikuti skala prioritas yang dibuat pemerintah atas dasar, lagi-lagi, ‘kepentingan umum’. Pada bulan-bulan awal semburan, prioritas pemerintah adalah melindungi ruas jalan tol Porong-Gempol yang merupakan tulang punggung perekonomian Jawa Timur. Segala proyek penanggulan lumpur kemudian ditujukan agar lumpur tidak meluap sampai jalan tol, kalaupun hal itu terjadi pemerintah akan mengusahakan agar jalan tol dapat segera digunakan lagi dengan segala caranya. Salah satunya adalah membangun tanggul yang menghalangi laju lumpur menuju jalan tol. Tidak jelas kapan upaya penanggulan secara resmi dilakukan. Mengacu catatan BPLS, pada masa sebelum Timnas dibentuk proyek penanggulangan dilakukan oleh satuan militer Kodam V Brawijaya dengan menggunakan uang dari Lapindo (Karyadi, Soegiarto, and Harnanto 2012).[ii]

    Negara tidak hanya sudah berperan aktif dalam proyek penanggulan awal, tapi juga sebagai aktor yang menentukan nilai tukar dan mekanisme kompensasi yang diberikan pada korban Lapindo. Mengacu sebuah studi, nilai kompensasi bagi korban Lapindo datang dari Saiful Illah, Wakil Bupati kala itu (sekarang, Bupati Sidoarjo), sekitar bulan September 2006 (Karib 2012, 67–68). Konteks pada waktu itu adalah pemerintah membutuhkan sebidang tanah di Desa Jatirejo untuk membangun tanggul di sisi Barat semburan. Tujuannya adalah menahan luapan lumpur ke rel kereta api dan jalan raya Porong. Saiful, didampingi aparat militer, menemui 12 (duabelas) warga Jatirejo dan meminta mereka untuk menjual tanah dan rumahnya untuk kepentingan bersama. Dia menawarkan uang sejumlah Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan dan Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah pekarangan. Saiful berargumen harga tersebut jauh di atas harga tanah ‘normal’ sebelum lumpur menyembur yang berkisar antara Rp 75.000 dan Rp 150.000 per meter persegi. Para warga yang berada di bawah tekanan psikologis tidak memiliki opsi lain kecuali menerimanya. Informasi tentang harga tersebut menyebar cepat di kalangan korban yang lain yang pada saat itu juga sedang menuntut Lapindo untuk mengompensasi kerugian mereka tapi masih belum ada kepastian tentang mekanisme dan nilai kompensasi. Belakangan, nilai yang ditawarkan Saiful dan mekanisme ‘jual beli aset’ semacam itulah yang diterapkan juga sebagai acuan penentuan dan pemberian kompensasi kepada seluruh korban Lapindo.

    ***

    TIMNAS YANG DIBENTUK belakangan semakin membuktikan kehadiran negara dalam proses pemindahan warga secara paksa dari hunian mereka. Dari beberapa dokumen yang ada, terlihat jelas bagaimana Timnas telah menjadi perantara bagi warga dan Lapindo dalam rangka negosiasi nilai kompensasi dan mekanismenya. Salah satunya adalah Surat Pernyataan yang ditandatangani Ketua Pelaksana Timnas Basuki Hadimuljono di atas meterai Rp 6.000 pada tanggal 13 November 2006. Di dalam surat itu tertulis bahwa Basuki, atas nama Timnas, bersedia memfasilitasi dan meneruskan permintaan ganti rugi dengan cara cash and carry korban Lapindo kepada Lapindo. Tidak hanya itu, tertulis juga bahwa ‘proses verifikasi data, negosiasi ganti rugi tanah dan bangunan, serta realisasi pembayaran tersebut akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Maret 2007’. Turut membubuhkan tanda tangan dalam surat itu adalah Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Pada 27 November 2006, Timnas melayangkan surat resmi kepada pimpinan Lapindo terkait penyelesaian dampak sosial-ekonomi akibat lumpur Lapindo. Surat itu berisi empat butir: 1) masyarakat menghendaki ganti rugi dengan cara tunai (cash and carry); 2) masyarakat menghendaki pernyataan kesanggupan dari Lapindo untuk penanggulangan masalah sosial-ekonomi; 3) ganti rugi dihitung berdasarkan nilai berikut: Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan (termasuk bangunan tingkat); dan, 4) ganti rugi tanah sawah ditentukan sebesar Rp 120.000 per meter persegi. Surat itu ditandatangani oleh Basuki, dan dengan mengetahui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan Ketua DPRD Sidoarjo Arly Fauzi. Dari selembar surat itu, kita dapat melihat bagaimana representasi negara hadir untuk menuntut Lapindo untuk mengompensasi kerugian sosial-ekonomi yang diderita warga. Relasi kuasa yang terjadi bukan antara warga dan Lapindo, melainkan antara negara (c.q., Timnas, Bupati, DPRD Sidoarjo) dengan Lapindo.

    Surat itu mendapatkan balasan pada 4 Desember 2006 ketika Lapindo melayangkan surat kepada Timnas, u.p. Basuki Hadimuljono. Dalam surat itu, Lapindo menyatakan kesanggupannya untuk memberi warga kompensasi atas kerugian yang diderita mereka sebagai bentuk ‘kepedulian sosial dan tanggung jawab moral’ perusahaan.[iii] Nilai yang disepakati sama dengan yang ditulis dalam surat Timnas, sementara mekanisme yang disanggupi oleh Lapindo adalah ‘jual beli’, yang berarti terjadi perpindahan kepemilikan atas aset dari warga ke Lapindo. Yang menarik adalah surat yang ditandatangani oleh Manajer Umum Lapindo Imam Agustino itu diarahkan kepada Timnas (sebagai lembaga representasi negara) dan bukan kepada warga. Surat itu ditembuskan kepada lembaga negara yang lain, a.l., Presiden, Wakil Presiden, Ketua dan Anggota Tim Pengarah Timnas, Bupati Sidoarjo, dan Ketua DPRD Sidoarjo –tidak disebutkan sama sekali bahwa surat itu sedang ditujukan pada warga– sehingga semakin jelas bagaimana sebenarnya negara telah hadir dalam kasus Lapindo ini.

    Hal lain yang tak kalah menarik adalah jika kita melihat Peta Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006 yang menjadi lampiran surat Lapindo itu (lihat Peta 1). Peta yang dibuat oleh Lapindo dan disetujui oleh Basuki Hadimuljono itu menentukan wilayah mana saja yang akan dibeli Lapindo dan mana yang tidak. Di peta itu juga Basuki menambahkan suatu wilayah yang ditandainya dengan huruf “A” sebagai wilayah yang juga harus dibeli oleh Lapindo. Sekalipun hanya selembar kertas, peta itu memiliki efek kuasa yang menentukan pemindahan paksa para penduduk yang tinggal di atas wilayah yang akan dibeli oleh Lapindo. Mengingat peta itu disetujui oleh negara (c.q. Timnas), kita harus berpikir ulang tentang asumsi umum negara absen dalam proses pemindahan penduduk secara paksa terkait kasus Lapindo.

    Peta 4 Desember 2006
    Peta 4 Desember 2006

    Peta adalah politik. Peta telah menjadi instrumen paling efektif dalam proses pemindahan paksa korban Lapindo. Peta 4 Desember 2006 tidak mencantumkan wilayah yang baru terkena dampak luapan lumpur Lapindo pasca meledaknya pipa gas bawah tanah Pertamina pada 22 November 2006 malam. Ledakan yang mengakibatkan belasan orang meninggal dunia itu juga menyebabkan runtuhnya tanggul sisi Utara dan membuat lumpur meluber ke perumahan padat huni PerumTAS. Gelombang kedua pengungsi pun datang, jumlah korban pun melonjak pesat. Para korban baru ini menuntut agar tanah dan bangunan mereka yang terbenam lumpur Lapindo juga harus dimasukkan ke dalam peta area terdampak sehingga mereka juga mendapatkan kompensasi atas kerugian yang mereka derita.

    Pada tanggal 22 Maret 2007, peta baru dirilis (lihat Peta 2). Kali ini semakin terlihat bagaimana peran negara dalam proses pemindahan paksa. Peta itu dibuat oleh Timnas dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pelaksana Timnas Basuki Hadimuljono. Kali ini, semakin banyak representasi negara yang turut menyetujuinya, a.l., Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Ketua DPRD Jawa Timur Fatur Rosyid, Ketua Pansus Lumpur di DPRD Jawa Timur Y. A. Widodo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, dan Ketua DPRD Sidoarjo Arly Fauzi. Dengan demikian, Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang kemudian menjadi acuan bagi Perpres 14/2007, dilegitimasi oleh 6 (enam) aparatus negara yang menunjukkan bagaimana kuasa negara hadir dalam kasus Lapindo.

    Peta 22 Maret 2007
    Peta Area Terdampak 22 Maret 2007

    Timnas hanya bertugas selama tujuh bulan. Pada 8 April 2007, Timnas digantikan oleh BPLS melalui penerbitan Perpres 14/2007. Kita memang bisa saja menilai Timnas bekerja dalam segala keterbatasannya karena seluruh pembiayaan mengikuti anggaran Lapindo, namun Timnas juga telah meletakkan pondasi dasar bagi sebuah rencana pemindahan penduduk secara paksa melalui penerbitan peta area terdampak. Pola semacam ini berlanjut pada masa kerja BPLS, hingga kini. Dari uraian bagian ini, kita dapat menyaksikan bagaimana negara hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi terjadinya pemindahan penduduk secara paksa. Pada bagian selanjutnya, kita akan terus menelusuri peran negara dalam melegitimasi perluasan bencana pembangunan itu. (bersambung)

    [i] Dampak dari pembuangan itu adalah percepatan sedimentasi di sepanjang Kanal Porong dan terbentuknya pulau baru seluas sekitar 45 hektar di muara, hanya dalam kurun kurang dari 9 (sembilan) tahun.

    [ii] Biaya pembangunan dan pemeliharaan tanggul menjadi beban Lapindo secara legitim sejak 8 September 2006 (Keppres 13/2006) sampai 23 September 2009 (Perpres 40/2009, yang menandai peralihan tanggung jawab keuangan atas tanggul kepada APBN). Ini berarti selama lebih dari tiga tahun Lapindo dengan leluasa mengendalikan proyek penanggulan. Laporan Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) menyebutkan bahwa Lapindo telah mengeluarkan dana sebesar Rp 1,35 Trilyun untuk penanganan luapan lumpur (Richard 2011, 96).

    [iii] Sampai saat ini dasar hukum kesanggupan Lapindo untuk ‘membeli’ tanah dan bangunan warga tidak pernah dilontarkan secara jelas dan terjadi inkonsistensi dari perwakilan Lapindo dalam menyatakan alasan pembelian itu (‘perintah Ibunda Bakrie’, ‘tanggung jawab sosial perusahaan’, ‘mengikuti Perpres 14/2007’, ‘murni transaksi jual beli’, ‘sedekah’, dsb.). Berdasarkan analisis atas konteks historis kemunculan surat Lapindo tersebut, saya membuat dugaan sederhana. Surat itu dirilis pada masa Timnas, yang berarti dasar hukum bagi seluruh keputusan seharusnya mengacu pada peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu seputar kegiatan industri migas. Ini berarti dasar keputusan jual beli aset warga dilakukan dalam logika perusahaan migas yang sedang memberi kompensasi, yang memang diatur dalam peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu PP No. 35/2004 khususnya Bab VII (Pasal 62 – Pasal 71). PP No. 35/2004 mengatur tentang penggunaan tanah dalam kegiatan industri migas. Disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah ‘wajib mengizinkan Kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan’ (Pasal 62 Ayat 2). Untuk kebutuhan itu, ada beberapa cara yang bisa diterapkan, yaitu: ‘jual beli, tukar menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain’ (Pasal 63 Ayat 2) dengan ‘memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak terakhir’ (Pasal 65 Ayat 1). Status tanah tersebut ‘menjadi milik negara’ (Pasal 67 Ayat 1) dan kontraktor berhak membangun fasilitas mereka di atas tanah tersebut (Pasal 69 Ayat 2), yang koheren dengan UU Pokok Agraria No. 5/1960 (Pasal 26 & Pasal 27). Jadi, keputusan Lapindo membeli tanah dan bangunan warga dilandaskan pada logika perusahaan migas yang sedang mencari lahan untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi. Dugaan saya ini mungkin sedikit berbeda dengan pendapat yang selama ini bergulir yang membahas proses jual beli itu hanya mengacu pada UU Pokok Agraria No. 5/1960 (lih. Kurniawan 2012; Putro and Yonekura 2014). Yang patut dicatat, sekalipun UU Pokok Agraria adalah peraturan perundangan tertinggi tentang persoalan pertanahan di Indonesia, UU tersebut tidak pernah dijadikan sebagai landasan hukum bagi peraturan presiden terkait penanganan lumpur Lapindo.

  • Normalisasi Sungai, BPLS Diberi Waktu Dua Minggu

    SIDOARJO, KOMPAS – Bupati Sidoarjo Win Hendrarso memberi batas waktu dua minggu kepada Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS Jawa Timur untuk merampungkan normalisasi Sungai Porong. Bupati mengusulkan pembuatan celah di tengah-tengah endapan sungai dan penambahan mesin pengeruk lumpur Lapindo di Sungai Porong.

    Win menjelaskan, endapan lumpur Lapindo di Sungai Porong semakin parah dan sangat mengkhawatirkan. Apalagi, sekarang sudah mendekati musim hujan. Beberapa titik tanggul sungai bukan mustahil jebol karena tidak mampu menampung aliran air Sungai Porong yang tidak lancar akibat endapan lumpur.

    ”Saya berharap BPLS dapat segera merampungkan normalisasi Sungai Porong itu. Jika tidak, dikhawatirkan terjadi luapan air sungai di musim hujan nanti,” kata Win, Rabu (8/10) di Sidoarjo, Jatim.

    Win juga mengimbau agar mesin pengeruk lumpur di Sungai Porong ditambah. Lima mesin pengeruk yang beroperasi saat ini masih kurang seiring dengan semakin dekatnya musim hujan. ”BPLS sepatutnya menambah jumlah mesin pengeruk lumpur menjadi 12 unit,” ujarnya.

    Senin lalu Win meninjau endapan lumpur Lapindo Brantas di Sungai Porong yang berada di Desa Bulang, Kecamatan Prambon, Sidoarjo. Lokasi tersebut dinilai paling rawan saat musim hujan nanti. Tahun lalu, selisih permukaan air sungai dengan tanggul sekitar 15 sentimeter. Tahun ini, diprediksi terjadi luapan air sungai saat musim hujan dan hal itu bakal merendam ratusan hektar sawah di desa tersebut.

    Masih berlanjut

    Tentang pembuangan lumpur Lapindo ke Sungai Porong, hingga kemarin hal itu masih berlanjut. Dalam waktu dekat bahkan akan ada penambahan pipa pembuangan lumpur ke sungai itu. Rencananya, pipa tersebut dipasang dari titik tanggul nomor 42 menuju Sungai Porong melewati Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    Menurut anggota staf Humas BPLS, Akhmad Kusairi, selain ada penambahan pipa pembuangan lumpur, akan ada penambahan tujuh mesin pemompa lumpur sehingga total mesin jadi 19 unit.

    Pipa yang dipasang, katanya, berdiameter 60 sentimeter dengan debit 0,6 meter kubik lumpur per detik. ”Penambahan pipa pembuangan lumpur ini bertujuan mengurangi debit pembuangan lumpur ke kolam penampungan lumpur yang saat ini nyaris penuh. Selain itu, untuk mencegah timbulnya wilayah terdampak baru sebagai akibat jebolnya tanggul jika tak mampu menampung lumpur,” kata Kusairi.

    Masih terkait lumpur Lapindo, kemarin 211 keluarga pengungsi korban lumpur di Dusun Besuk, Desa Besuki, tepatnya di sisi barat Jalan Tol Porong-Gempol, berbenah untuk pindah. Pasalnya, tempat pengungsian yang selama ini mereka tempati akan dilalui pipa pembuangan lumpur menuju Sungai Porong. (APO)

    © Kompas

  • ”Mari Temukan Solusi, Jangan Ciptakan Masalah”

    Wawancara dengan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso

    Penyediaan rumah di kawasan perumahan Kahuripan Nirwana Village bagi korban lumpur Lapindo adalah salah satu solusi atas masalah yang ditimbulkan dari semburan lumpur. PT Minarak Lapindo Jaya dan warga menyepakati konsep cash and restlement.

    Tapi permasalahan tidak segera selesai. Warga yang telah menerima kunci, jangankan menghuni, melihat rumahnya pun mengalami kesulitan. Belakangan diketahui, pembangunan perumahan Kahuripan menyembunyikan banyak masalah, termasuk izin mendirikan bangunan (IMB), serta site-plan.

    Bahkan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, yang sudah dua tahun dipusingkan oleh masalah lumpur, harus menyindir perusahaan di bawah naungan Bakrie Group itu agar segera membereskan semua persoalan. Hal itu pula yang dikatakannya saat diwawancarai wartawan Tempo, Fajar WH dan Rohman Taufik. Berikut petikannya:

    Apa tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berkaitan dengan pembangunan komplek perumahan Kahuripan Nirwana Village?

    Pembangunan kawasan perumahan itu saat ini sedang direalisasi. Tanggung jawab saya sebagai bupati adalah memfasilitasinya berupa perizinan yang dibutuhkan PT Minarak Lapindo Jaya yang membangun kawasan, serta warga korban lumpur yang membeli rumah di situ. Tentunya itu sesuai proporsi kewenangan saya.

    Pembangunan perumahan itu terkesan dadakan. Apakah memang sudah lama merencanakannya di daerah Jati?

    Lahan sekitar 1.200 hektare yang izinnya sudah kami keluarkan ada di daerah Sukodono. Bahkan PT Minarak sempat melaunching- nya. Sebanyak 1.031 warga juga sudah mendaftar untuk membelinya. Tapi setelah dilihat, ternyata masih berupa tanah kosong. Hal itulah yang membuat warga berdemonstrasi. Lha, saat kami mengeluarkan izin di Sukodono, ternyata PT Minarak juga mencari dan membeli tanah lain. Rencana di Sukodono tidak diteruskan.

    Pada perkembangannya, ada pemikiran baru. Kebetulan, di daerah Jati ada beberapa pengembang. Tapi, mungkin akibat persoalan lumpur, pasar perumahan menjadi turun, sehingga mereka tidak berani melakukan pembangunan. Lahan itulah yang di-take over.

    Berapa luas lahan yang diambil alih, dan bagaimana perizinannya?

    Ada beberapa lahan developer yang diambil alih. Setelah itu, barulah PT Minarak mengusulkan agar izinnya diproses. Tapi rupanya, sambil mengajukan usul perizinan, mereka diam-diam melakukan pembangunan.

    Apakah boleh membangun sebelum mengantongi izin?

    Kalau berdasarkan peraturan, memang tidak boleh melakukan pembangunan sebelum ada izin. Tapi karena perlu terobosan agar para korban bisa mendapatkan rumah, ya hal itu tidak bisa dihindari. Developer yang dulu ada di situ sebenarnya sudah punya izin, tapi izinnya sudah mati.

    Pada saat perumahan di kawasan Kahuripan mulai dibangun, berarti Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tidak diberi tahu?

    Pada awalnya, kami terus terang saja, memang tidak diberitahu. Tapi dari berbagai pertemuan, mereka mengakui kesahannya. Mereka beralasan perlu secepatnnya membangun. Pengurusan izin dilakukan sambil jalan. Izin lokasi sudah kami keluarkan. Sekarang sedang dalam proses kelengkapan izin site-plan dan IMB. Tapi memang dalam soal ini ketentuan tidak bisa diterapkan sebagaimana mestinya, melainkan bagaimana sebaiknya. Berarti harus ada kompromi. Proses pembangunan berjalan, tapi proses perizinan juga berjalan. Karena kompromi ini pula 3.500 warga yang tergabung dalam GKLL akhirnya setuju, lalu muncullah konsep cash and resetlement.

    IMB diurus belakangan, apa tidak menyalahi prosedur?

    Kalau dari sisi regulasi, hal itu memang tidak boleh. Kalau saya berpikir pakai kacamata kuda, pasti saya hentikan. Tapi saya harus melihatnya tidak melulu soal regulasi. Kalau pembangunan perumahan di Kahuripan saya hentikan, pasti akan timbul mata rantai persoalan yang panjang. Saya tidak ingin Sidoarjo tidak kondusif. Menyelesaikan masalah sosial harus dengan arif dan bijak. Prinsip saya, mari temukan solusi, jangan bikin masalah. Warga tidak perlu khawatir. Sembari pembangunan dilakukan, kami meminta agar PT Minarak menyelesaikan proses perizinan yang belum lengkap.

    Apakah ini tidak mengorbankan masyarakat yang memiliki lahan sebelumnya?

    Lahan 1.500 hektare yang dipakai PT Minarak di Jati itu semula milik empat developer. Semua tanah sudah diganti rugi. Jadi, secara prinsip, kami tidak ingin memindahkan masalah.

    Kalau memang tidak ada masalah, mengapa Anda menyindir PT Minarak di hadapan Menteri Sosial saat peresmian perumahan Kahuripan?

    Meskipun izin lokasi sudah beres, tapi karena izin yang lainnya belum, saya menyampaikan sindiran. Ikan kakap ikan sepat, berkas lengkap izin cepat. Udang galah disambel terasi, ada masalah cari solusi.

    Apakah itu berarti PT Minarak bandel dalam soal izin sehingga harus disindir?

    Saya selalu mencoba melakukan semua pendekatan. Tidak hanya terhadap PT Minarak atau PT Lapindo. Mungkin bupati yang paling sering didemo adalah saya. Tapi banyak ilmu yang justru saya dapatkan. Saat penetapan harga ganti rugi akan dilakukan, situasinya seperti perang. Polisi, tentara, bahkan kendaraan tank memenuhi pendopo, karena ada kabar bahwa 10 ribuan orang akan membakar pendopo.

    Pintu pendopo justru saya perintahkan dibuka. Saya minta karpet merah digelar di pendopo. Saya persilakan warga masuk karena bagi saya mereka adalah tamu agung bupati. Warga malah berteriak, ”hidup bupati! Hidup bupati! Pihak Lapindo saya datangkan, dan saya mempertemukan mereka dengan utusan warga. Akhirnya harga ganti rugi berhasil disepakati.

  • Bupati Sidoarjo: “Saya Tidak Tahu Apa itu Cash and Resettlement”

    Sidoarjo, SuaraPorong – Pola Cash and Resettlement (CnR) yang digulirkan oleh Lapindo ternyata tidak dikenal oleh pemerintah. Pasalnya, dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban Lapindo, yang dijadikan acuan adalah skema yang ada dalam Peraturan Presiden 14/2007, yaitu skema Cash and Carry (CnC) dengan pola pembayaran 20-80 persen.

    “Saya tidak tahu apa itu Cash and Resettlement,” tegas Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso.

    Hal itu terungkap dalam pertemuan antara perwakilan korban Lapindo dengan Bupati, BPLS dan BPN di pendopo tadi siang. Sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang ada, seharusnya mekanisme pembayaran itu adalah dengan CnC. “Warga sudah memegang kumpulan dokumen yang tepat, ada tanda tangan saya, Pak Mensos, semua pihak, semua lengkap semua komitmen pada penyelesaian menurut Perpres.”

    Bupati menambahkan, seharusnya skema CnC yang sesuai Perpres itu yang dijadikan acuan untuk penyelesaian pembayaran. Tetapi karena Minarak cenderung untuk memilih CnR, Bupati meminta agar untuk warga yang menolak tawaran ini juga harus difasilitasi. Dan karena urusan wilayah di dalam Peta Terdampak adalah tanggung jawab BPLS, Bupati meminta BPLS bersikap tegas dan mendorong penyelesaian masalah ini.

    Terkait dengan proses perumusan skema CnR sendiri, Bupati mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak tahu menahu. Demikian juga pihak terkait lainnya yaitu dari BPLS maupun BPN. Hal ini menimbulkan keraguan di warga tentang bagaimana seandainya Minarak Lapindo Jaya nantinya ternyata mengingkari kesepakatan, tidak akan ada dasar hukum dan tidak ada lembaga pemerintahan yang akan membantu.

    Pendapat senada disampaikan oleh Deputi Sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Soetjahjono Soejitno. Sesuai dengan Perpres, ditegaskan bahwa dalam penyelesaian masalah sosial lumpur Lapindo, BPLS berpegang kepada Perpres. Sedangkan terkait pendapat Lapindo yang dijadikan dasar CnR yaitu tidak bisanya tanah non sertifikat untuk di Akta Jual-Beli (AJB),

    BPLS mengacu pada pendapat BPN selaku lembaga yang berwenang dalam masalah pertanahan. “Kami sami’na wa atho’na”, terang Soejitno.

    Penjelasan Bupati itu kontan mendapat sambutan positif dari warga korban Lumpur Lapindo. Sumitro, korban dari Perumtas, mengaku menghargai kepedulian yang ditunjukkan oleh Bupati terhadap nasib korban. Meski begitu, Sumitro mengingatkan agar Bupati tetap konsisten dan berkomitmen memperjuangkan nasib semua korban Lapindo.