Pekerja Tambang Bergelut Tanah dan Lumpur Rawa


Oleh Laksana Agung Saputra

Terik matahari tepat di atas ubun-ubun. Di area pertambangan gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, sejumlah pekerja mengempaskan badan di atas tanah, memperpanjang mimpi akan bonus yang mandek empat hari belakangan.

Pekerja yang berjumlah 15 orang itu bukanlah karyawan PT Lapindo Brantas. Mereka adalah warga desa setempat yang direkrut perusahaan tersebut untuk membantu membersihkan lumpur dan tanah hasil galian. Paritan, demikian mereka menyebut profesi mereka yang akrab dengan lumpur dan tanah itu.

Sejak Senin (29/5) pagi kegiatan penambangan dihentikan. Pasalnya sejak gas dengan kandungan hidrogen sulfida bercampur lumpur menyembur keluar di tengah rawa, pihak perusahaan menghentikan kegiatan penambangan. Tujuannya agar lebih fokus dalam menangani persoalan tersebut sekaligus sebagai standard safety procedure (prosedur pengamanan standar).

Jadi, empat hari belakangan tidak ada lumpur dan tanah hasil penambangan. Artinya, tidak ada bonus untuk para paritan yang mayoritas telah berkeluarga itu.

“Kalau lagi tidak ada penambangan, kami tidak mendapat bonus. Padahal, besarnya bonus lumayan untuk tambah-tambah beli makanan buat anak dan istri,” ujar Jauri (40), seorang paritan.

Bonus yang dimaksud adalah ongkos tambahan yang diberikan PT Lapindo Brantas untuk setiap zak tanah dan drum lumpur yang dikumpulkan para paritan. Bonus untuk satu zak tanah adalah Rp 1.000 dan bonus untuk satu drum lumpur adalah Rp 5.000. Khusus untuk lumpur, perhitungan bonus dimulai di atas 200 drum.

Sebagai gambaran, apabila kegiatan penambangan normal, para paritan secara bersama-sama bisa mengumpulkan 15 drum – 20 drum lumpur dalam sehari. Hasilnya lalu dibagi rata. Jadi bila ada 20 drum, per orang bisa mendapat sekitar Rp 6.500. Bila ditambah dengan bonus zak tanah, bonus terkumpul bisa mencapai sekitar Rp 10.000 per hari. “Lumayan untuk tambahan penghasilan,” kata Tamiadi (40), paritan yang sudah bekerja selama 6 bulan.

Warga Desa Renokenongo

Para paritan menerima upah per 10 hari sekali. Adapun upahnya Rp 45.000 per hari. Makan sekali disediakan perusahaan.

Seluruh paritan yang berjumlah 45 orang merupakan warga Desa Renokenongo. Jumlah tersebut dibagi dalam tiga kelompok, masing- masing berjumlah 15 orang. Jadwal kerja setiap kelompok adalah dua hari masuk dan satu hari libur.

Para pekerja rata-rata merupakan mantan pekerja pabrik yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Semisal Edi Tamsil (20) yang terkena PHK dari pabrik panci karena alasan efisiensi.

Sekadar catatan, setiap penambangan selalu memerlukan oil bismart atau synthetic bismart. Bahan kimia ini merupakan syarat mutlak untuk memperlancar mata pasak dalam mengebor lapisan tanah. Oil bismart atau synthetic bismart itu dialirkan ke dalam rangkaian pipa bor lalu disedot ke atas. Saat ke atas, oil bismart atau synthetic bismart selalu bercampur lumpur dan tanah.

Campuran tersebut kemudian diolah kembali dalam sebuah instalasi. Oli yang bersih kembali dialirkan ke bawah, sedangkan lumpur dan tanah dibuang. Sisa tanah dan lumpur inilah yang dibersihkan para paritan. Dengan sekop, mereka memasukkan tanah ke dalam sak dan lumpur ke dalam drum.

Selain itu, para paritan membersihan oil bismart atau synthetic bismart yang tercecer di tanah area pertambangan. “Hal yang jelas, pekerjaan kami tidak jauh dari bersih-bersih,” kata Tamiadi (40) yang mempunyai dua anak itu. Hari-hari ini para paritan hanya bisa menunggu dan berharap agar persoalan gas dan lumpur itu bisa cepat teratasi. Dengan demikian, mereka bisa berpeluh payah untuk mendapatkan bonus.

Tidak seperti karyawan teknis PT Lapindo Brantas yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang penambangan, mereka rata-rata hanya lulusan pendidikan dasar. Kemauan bekerja keras meski disengat teriknya matahari dan dipagut dinginnya fajar adalah modal utama mencari nafkah untuk keluarga.

Sumber: Harian Kompas, 2 Juni 2006.


Translate »