Lokasi Anda

Hentikan Jatah Makan, Kami Tetap Bertahan

Lapindo dan pemerintah, selalu membuat opini bahwa pengungsi ini adalah kelompok yang serakah. Sebab, kami tidak mau menerima skema yang ditawarkan (lebih tepatnya, dipaksakan) melalui Perpres 14/2007, seperti 94 persen dari ‘korban’ (ingat tentang korban dalam tulisan sebelumnya), atau 48 ribu jiwa lainnya.

Faktanya, justru kelompok inilah yang masih keukeuh dan tidak tunduk pada paksaan pemerintah. Sementara sebagian besar korban lainnya, justru sudah tertundukkan akibat politik pengabaian dan pembiaran yang kompak dari pemerintah dan perusahaan. Akibatnya, mereka tidak ada pilihan lain kecuali menerima skema pemerintah. Dan bagi pemerintah, mereka inilah warga yang ’baik’.

Sedangkan pengungsi di pasar ini, dari awal menolak skema ganti rugi dengan model jual beli. Kami juga menolak uang kontrak rumah Rp 5 juta rupiah, uang jatah hidup Rp 300 ribu per bulan dan uang pindah Rp 500 ribu. Kami lebih memilih bertahan di pasar, dengan kondisi yang sangat tidak layak, dibanding menerima kontrak, seperti yang selalu didesakkan pemerintah dan Lapindo, dan diterima oleh 48ribu korban lainnya.

Lalu mengapa kami ngotot menolak skema perpres?

Pertama, sebenarnya bukan kami saja yang ngotot menerima skema perpres. Hampir semua korban lapindo awalnya menolak skema perpres. Tetapi karena selalu diombang-ambingkan oleh isu, diintimidasi, diancam untuk tidak dibayar, sementara keseharian hidup di pengungsian juga sangat menderita, sebagian besar dari korban akhirnya memilih untuk menerima skema perpres. Sehingga mereka keluar dari pasar, dapat uang kontrak, lalu mencari rumah kontrak sendiri-sendiri.

Kedua, alasan kami menolak bukan karena skema pemerintah ini bakal tidak menguntungkan kami, tetapi justru sebaliknya. Percayalah, dibayar berapapun kami akan lebih memilih hidup kami yang dahulu di desa. Masalahnya, dengan menerima kontrak, hidup kami yang sudah susah akibat bencana ini, bakal tambah jauh lebih sengsara.

Sebab, dg menerima kontrak, kami akan tercerai berai dan tidak bisa hidup dalam satu komunitas seperti di desa dahulu. Dengan hidup tercerai berai, maka sebagian dari anggota komunitas ini, tidak akan bertahan, bahkan untuk hidup sekalipun.

Lho, kok bisa?

Ambil contoh mbok Ma, salah satu warga dusun Sengon, Renokenongo, yang sudah berusia sangat lanjut (dia tidak lagi ingat tanggal lahirnya). Selama ini dia hidup sendiri, di rumah dengan ukuran 5 x 6 meter, tanpa pekerjaan dan tanpa simpanan. Dia bisa hidup layak, dan masih relatif bahagia, sekalipun tanpa kerabat, ya karena dia hidup disitu, di Desa Renokenongo.

Dia sudah tinggal disana sejak kecil, kenal dengan semua orang. Hingga bagi mbok Ma, semua orang adalah kerabat, menggantikan kebutuhan akan kedekatan dengan cucu2nya, anak2nya. Secara ekonomi-pun, dia bisa hidup layak, karena sering terbantu oleh tetangga2nya. Yang seringkali, didesa penghitungan ekonomi memang tidak selalu untung/rugi. Sehingga dengan kemampuan seadanya, ada saja yang bisa dikerjakan oleh Mbok Ma, untuk dapat uang, dan dipakai makan sehari-hari.

Nah, orang seperti Mbok Ma ini tidak akan bisa bertahan kalau harus pindah ke desa lain. Dia bukan seperti anggota masyarakat urban yang bisa dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain, dari perumahan satu ke apartemen lain, dari satu komunitas ke lingkungan lain. Bukan pula seperti mereka yang punya pekerjaan di sektor formal atau keahlian multi sektor, sehingga ketika pindah ke lingkungan baru, tidak akan kesulitan sama sekali.

Mbok Ma butuh tinggal di desa Renokenongo, untuk hidup, untuk selamat dan untuk sejahtera di hari tuanya. Dan orang seperti Mbok Ma, atau bernasib sama dengan dia (pedagang nasi, toko kelontong, petani penggarap, dan banyak lainnya) jumlahnya ribuan, puluhan ribu bahkan. Dan kepentingan mereka sama sekali terabaikan oleh skema yang ditawarkan pemerintah, yang hanya menguntungkan Lapindo.

Kadang saya cuman bisa mbathin, ngerti gak sih Lapindo dan pemerintah itu. Ini rumah, yang meskipun sederhana, rumah kami sendiri, rumah yang kami bangun dengan penuh upaya, dan kebanggaan, yang menyimpan semua kenangan kemanusiaan kami. Dan sekarang itu semua sudah lenyap, sementara kami terancam tidak mampu lagi beli rumah yang baru, karena ketidakjelasan pembayaran dari pemerintah

Untuk ukuran rumah yang rata2 didesa, kami hanya akan dapat dibawah 60 – 80 juta rupiah. Kalau dibayar 20 persen dulu, ini pasti akan segera habis untuk mbayar utang, nyicil ini itu, dan berbagai kebutuhan keluarga lainnya selama kami di pengungsian. Sehingga kami minta dibayar sekaligus, atau paling tidak jangan 2 tahun kemudian.

Toh duitnya Bakrie, kata koran, triliunan rupiah. Ada yang bilang, ya kan gak bisa gitu, keduanya kan harus berkorban, gak bisa saling ngotot. Omongan orang KEPARAT! Lha gimana kalo gini, sambil nunggu kejelasan, kami tak tidur di rumah petinggi2 Lapindo dan pemerintah, sedangkan mereka tidur dipasar. Sampai penyelesaiannya tuntas. Gimana kalau gitu? Jadi kenapa harus kami yang diminta paham dan empati?

***

Maka, kamipun menolak skema perpres itu. Kami punya tawaran sendiri, bukan atas dasar egois, dan tidak memberatkan mereka, tapi akan mempermudah kami, melewati masa sulit ini. Kami ingin tinggal sepaguyuban dengan saudara dan tetangga sedesa, maka ganti aja uang kontrak dan lain2 kami dengan tanah 30 ha. Untuk pembayaran, kami sudah turunkan, dari awalnya 100 persen, jadi 50-50, sekarang 20-80, tetapi jangan 2 tahun.

Dan mereka tidak menerima, entah dengan alasan apa. Pemerintah menuduh kami melanggar hukum dan HAM karena menolak perpres dan bertahan di pasar. Padahal, semua orang tahu kalau perpres itu juga melanggar banyak UU lain yang lebih tinggi, bahkan UUD, lalu kenapa kami harus tunduk pada perpres SIALAN itu! Ketika sesuai dengan kepentingan mereka, undang-undang bisa diganti, tetapi kalau tidak, kami yang dituduh subversi.

Maka kamipun bertahan di pengungsian. Di pasar yang baru jadi, dengan beralaskan kasur tipis dan segala keterbatasan fasilitas (lihat cerita ttg sekolah TK kami disini). Padahal kami bukan gelandangan kok, kami warga bangsa yang bermartabat. Meskipun bukan orang kaya, tapi hidup kami tentram di desa kami. Namun kami memaksa tinggal dipasar, karena hanya inilah cara yang kami tahu untuk menyatakan tidak.

Kami berusaha ’hidup’ di pengungsian. Selama hampir 2 tahun kini. Meski makan dijatah ala narapidana, kadang basi, pernah berbelatung. Dengan segala macam keterbatasan sarana dan prasarana, yang membuat kami tidak nyaman dalam melakukan segala macam hal. Termasuk ketika berbuat dengan istri kami, dimalam yang dingin, berimpit2an dengan tetangga, hanya berbatas dinding kain butut (rumah gombal, sebut anak2 kami).

Pun ketika pemerintah melihat kami, korban keserakahan industri ini, justru sebagai pengganggu. Bagi mereka, kami adalah sebutir kerikil, disepatu kulit yang empuk dan nyaman. Bagi mereka, kami adalah debu yang masuk ke mata yang menimbulkan perih, pada saat semuanya sudah sesuai dengan keinginan. Maka pemerintah, yang seharusnya melindungi kami, malah bergandengan dengan si pemodal, untuk mengenyahkan kami, dengan cara apapun.

Intimidasi, teror, hasutan, bujukan, dan berbagai cara yang tak terbilang. Kami ditangkap bak teroris ketika hendak menyampaikan pendapat, di negeri sendiri, atas undangan saudara sebangsa di Bali. Kami juga dihasut dengan berbagai macam cara, dan diadu domba antar kami sendiri. Bahkan, mengancam dan mengultimatum akan menyerbu kami, bak tentara Inggris yang akan menduduki Surabaya.

Dan ketika ratusan bambu runcing (setelah bbrp pejuang kemerdekaan bilang adalah hak kami untuk bertahan) sudah disiapkan untuk menanti serbuan itu, ternyata mereka masih punya akal sehat (atau mungkin takut karena tahu bahwa kami akan kalap kalau jadi diserbu), dan urung menyerbu. Upaya lain dicoba. Berbagai fasilitaspun dipreteli. Air bersih sudah tidak kami konsumsi sejak 5 bulan yang lalu. Bahwa negara seharusnya bertanggungjawab atas nasib pengungsi didalam negeri, sudah tidak dijalankan sejak berbulan-bulan yang lalu

Namun kami tetap bertahan, dengan satu kesadaran, bahwa kalau kami keluar dari pasar, sementara tuntutan kami hanya seperlima dipenuhi, maka tidak ada satupun kekuatan kami untuk memaksa mereka memenuhi sisanya. Pada saat negara sudah memposisikan kami sebagai warga kelas dua, dengan tidak melindungi kami, tetapi memihak pengusaha, maka kami harus berusaha sendiri memperjuangkan tuntutan kami.

Maka, silahkan mengancam mencabut jatah makanan. SILAHKAN terus mengangkangi kesadaran dan akal sehat semua orang, tetapi kami percaya, masih banyak anak bangsa yang tidak merelakan negara ini tenggelam dalam hipokrisi.

Sebab kami yakin, akan banyak saudara sebangsa yang akan mendukung perjuangan kami. Setelah ini, warga bangsa akan berbondong2 untuk datang ke Pasar Porong, mengganti peran pemerintah membantu kami. Untuk menunjukkan bahwa akal sehat mungkin bisa dibeli, tetapi nurani tidak mati di negeri ini

Karena kami percaya bahwa…

KEBENARAN BISA DISALAHKAN….

TAPI TAK BISA DIKALAHKAN…!!!

Jadi, hentikan jatah makan, kami akan bertahan

Top
Translate »