Lumpur Maut Lapindo


Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Lapindo Brantas Inc tanggal 5 Juni 2006, Medco menyebutkan bahwa operator telah tidak mengindahkan peringatan untuk melakukan pemasangan casing pada kedalaman 8500 ft sebagaimana telah disampaikan dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006. Walhasil, Medco menolak untuk dibebani biaya ganti rugi sebagaimana sudah disepakati dalam kontrak kerjasama operasi antara mereka.

Kekacauan bulan-bulan awal menunjukkan karut-marut pengelolaan migas di Indonesia. Berbagai prediksi dikeluarkan. Bahkan seorang Jenderal pemangku teritorial wilayah Jawa Timur menyatakan bahwa semburan Lumpur adalah bencana alam, lumpurnya juga tidak berbahaya. Ada apa gerangan sang Jenderal ikut-ikutan membuat pernyataan demikian?

Sementara itu polisi berperan mengawasi setiap perkembangan pergolakan yang terjadi di warga sekitar lokasi, dan mengatasi kemacetan luar biasa jalur ini. Sedangkan untuk proses pidana, polisi dipersulit pendapat para ahli yang didatangkan Lapindo yang mengarahkan semburan lumpur sebagai bencana alam. Kejaksaan yang menginginkan adanya satu kesatuan pendapat ahli, beberapa kali mengembalikan BAP kepada kepolisian.

Bupati dan Gubernur yang seharusnya menjadi benteng warga korban pada akhirnya ‘terselamatkan’ dengan keluarnya Perpres 14/2007, mereka mendalilkan bahwa masalah lumpur sudah ditangani pemerintah pusat. Setali tiga uang dengan wakil warga di DPRD kabupaten maupun propinsi.

Perpres melahirkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Bagaimana kinerja task force ini juga menjadi tanda tanya. Hari, seorang warga korban, menggambarkan bahwa kerja BPLS hanya menanggul lumpur saja. Ini jauh dari harapan warga bahwa BPLS akan berperan membantu percepatan pemenuhan hak. BPLS tidak melakukan langkah-langkah jelas untuk mencegah bahaya akibat semburan baru yang hingga hari ini mencapai angka ke-94.

Dugaan lumpur panas Lapindo sangat berbahaya, terbukti sudah. Selain berbagai riset berbagai institusi yang telah dimuat berbagai media, WALHI Jawa Timur telah melakukan riset awal kandungan logam berat dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) pada air dan lumpur lapindo. Berdasar laporan riset (Mei 2008) ini, jumlah kandungan yang ditemukan sungguh mengerikan. Langkah gegabah pengelolaan lumpur tanpa treatment khusus, menjadi kesalahan besar.

Pemerintah dan korporasi yang memiliki tanggung jawab dan sumber daya harusnya lebih cermat dalam mengelola lumpur. Kandungan Logam Berat pada air dan lumpur Lapindo dideteksi jauh melebihi ambang baku yang ditetapkan regulasi kesehatan Indonesia. Kadar untuk timbal (Pb) tertinggi mencapai angka 20,9853 mg/l ditemukan pada sampel dari wilayah Besuki juga. Ini sungguh jauh diatas ambang batas maksimal sejumlah 0,05 mg/l. Sungai Porong dari wilayah barat telah tercemar logam berat, dan menjadi semakin parah ketika ribuan liter lumpur panas Lapindo digelontor ke dalamnya. Sampel air pada titik koordinat S 07o32’10.7″ E 112o51’01.7″ bagian timur sungai menunjuk angka 1,05 mg/l untuk timbal, berselisih lebih tinggi 0,2 dari sampel kontrol bagian barat jembatan porong(0,8035). Sedimen sungai porong juga menunjuk angka tinggi, dengan temuan kadar 4,7341 mg/l pada salah satu titik sampel.

Jumlah cemaran Kadmium (Cd) lebih parah, terendah 0,2341 mg/l dan tertinggi 0,4638 mg/l. Jauh diatas ambang batas jika mengacu pada Kep.Menkes No. 907/2002 yang mematok angka 0,003 mg/l. Hal yang sama ditemukan untuk PAH. Dua jenis yang diperiksa meliputi Chrysene dan Benz(a)anthracene ditemukan: Chrysene terendah 203,41 µg/kg dan tertinggi mencapai hingga 806,31 µg/kg (kadar tertinggi ditemukan pada sampel lumpur dari Besuki), sedangkan Benz(a)anthracene ditemukan pada sampel 3 titik lokasi rendaman lumpur dengan jumlah terendah 0,4214 mg/kg dan tertinggi 0,5174 mg/kg. Monitoring secara periodik dan penanganan darurat khusus harus segera dilakukan.

PAH merupakan suatu kelompok senyawa kimia yang dibentuk dari proses pembakaran tidak sempurna dari gas, batubara, minyak bumi, kayu, sampah, ataupun senyawa kimia organik lain seperti tembakau. Senyawa PAH juga ditemukan di sepanjang lingkungan baik di udara, air, dan sebagai partikel yang berhubungan dengan debu atau sebagai padatan di dalam sedimen atau lahan. Jumlahnya diperkirakan sekitar 10.000 senyawa. Sifat karsinogenik memicu tumor, kanker kulit, kanker paru-paru, dan kanker kandung kemih. Dapat masuk dalam tubuh manusia melalui pernafasan akibat menghirup limbah gas yang mengandung senyawa PAH di dalamnya. Makanan atau minuman yang terkontaminasi senyawa ini juga akan mempengaruhi tubuh jika dikonsumsi. Yang lebih cepat adalah interaksi secara langsung dengan menyentuh tanah atau air yang tercemar PAH. Walaupun dalam kadar rendah, senyawa ini dapat terserap melalui pori-pori kulit.

BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun.

Walhasil, Anton seorang warga korban menjumpai sedikitnya 5 warga yang secara fisik terindikasi mengidap tumor(20/7/2008). Seorang bayi perempuan umur 7 bulan memiliki benjolan di dada dan lehernya. Kanker kulit juga ditemukan menjangkit seorang anak umur 3 tahun. Hal ini tentu harus segera ditangani khusus dengan melakukan pemeriksaan medik secara terus menerus kepada semua warga yang pernah ‘berjibaku’ dengan lumpur. Akumulasi dalam jumlah besar sangat mempengaruhi metabolisme tubuh warga dan mempercepat munculnya tumor dan kanker. Pemeriksaan periodik terhadap kandungan logam berat dan PAH harus dilakukan secara periodik untuk acuan pengelolaan lebih lanjut. Namun jika pemerintah melalui badan khususnya tidak mengagendakan, siapa lagi yang harus melakukannya?

Keselamatan dan kesejahteraan warga korban telah dipertaruhkan dalam hitungan kerugian material melalui skema jual beli tanah dan bangunan sebagaimana dalam Perpres 14/2007. Sandaran hukum pemenuhan hak warga inipun masih ditawar dengan skema resettlement yang tidak memiliki jaminan apapun. Bulan Agustus dan September merupakan masa kontrak sebagian warga korban habis. Namun itikad pemenuhan oleh korporasi tak juga ditunjukkan. Padahal jika diperbandingkan, jumlah yang akan diterima tidak akan mencukupi kebutuhan pengobatan jika efek logam berat dan PAH telah muncul beberapa waktu kedepan. Jaminan kesehatan bagi seluruh warga mutlak menjadi tanggungjawab korporasi dan negara.

Melihat kenyataan demikian, seharusnya tiada alasan bagi korporasi untuk menghindari dan menunda penggantian hak material warga. Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tanggal 24 Maret 2008 menegaskan adanya jaminan bagi tanah selain sertifikat hak milik (Yasan, Gogol, letter C, petok D, dan HGB) bisa dilakukan peralihan dengan status yang sama. Hanya perusahaan bodoh yang menginginkan hak milik tanah di negeri ini. Dalam regulasi agraria Indonesia (UUPA NO. 5/1960) sudah diatur kepemilikan tanah Hak Milik hanyalah untuk perorangan. Korporasi hanya bisa mendapat hak berupa Hak Guna (HGU/HGB) atau Hak Pakai yang masa waktunya terbatas. Jika ini dijadikan alasan untuk tidak mengganti 80% sebagaimana disepakati dalam perikatan antara warga dan korporasi, dan ditawar dengan skema resettlement, bertambah sudah derajat kejahatan korporasi ini.

Namun, temuan kandungan-kandungan berbahaya ini disangsikan oleh Ahmad Zulkarnaen dari BPLS, “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak pernah mengungkapkan adanya PAH” (Koran Tempo, 29/7). Bukannya menindaklanjuti dengan rencana cepat untuk melakukan penanganan, minimal dengan sebuah rencana melakukan penelitian lebih dalam, pernyataan elemen tim khusus ini nampak mencoba mengaburkan adanya temuan bahan berbahaya itu. Dan yang lebih parah, BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun. Petugas BPLS yang rapi dalam pengamanan diri dengan menggunakan sepatu, sarung tangan, dan masker tentunya lebih tak lebih beresiko dibanding warga yang dengan tangan telanjang, kaki bersendal, dan hidung tak bersaring bergelut di area lumpur setiap saat.

Sungguh sebuah kebetulan jika pada Juli ini selain disibukkan dengan agenda ‘pesta’ pilkada, pada waktu yang bersamaan keluarga Bakrie -sang konglomerat yang dikenal sebagai salah satu pemilik korporasi penguasa blok Brantas di Jawa Timur- menggelar pesta bahagia perkawinan salah satu keluarganya. Lengkap sudah penggalan sejarah buruk negeri ini, dua prosesi digelar tanpa melihat sedikitpun derita warga korban.

Translate »