Suara hati Kaminah, korban Lapindo dari desa Renokenongo yang terharu mengetahui anaknya menulis puisi yang menusuk hati. Sembilan bulan sepuluh hari aku mengandung anakku, tanpa pernah mengeluh meski
segala rintangan slalu ada di depankku.
Tanpa mengenal rasa sakit derita ketika aku melahikannya. Karena rasa itu terbayar dengan sosok bayi mungil nan lucu tanpa dosa. Tanpa terasa, hari, bulan, tahun terlewati. Bayi mungilku jadi sosok anak yang manis dan ceria. Sampai akhirnya bencana itu terjadi.
Perubahan itu terjadi, sosoknya yang manis berubah 100%. Dan tanpa aku sadari sebuah cerita tertulis di selembar kertas mewakili isi hatinya.
HATIKU
LUMPUR PANAS TIADA HENTI
RUMAHKUPUN TINGGAL KENANGAN
SEKOLAHKU TIADA TENTU
HIDUPKU SERASA MENGAMBANG
KEMANA AKU HARUS MEMINTA
HAK HIDUPKU YANG TIADA GUNA
YANG BERKUASA HANYA SEKEDAR MENYAPA
TUK MEMBUAT HATI GEMBIRAAKU TAK BISA APA
BERONTAK TAK BISA
DIAMPUN JUGA TAK BISA
PERNAHKAH MEREKA MERASABETAPA SUSAH JADI ORANG JELATA
SEMUA HARUS BERUSAHA
DENGAN KERINGAT YANG TAK TERHINGGA
KADANG AKU BERTANYAAPA SALAH KEDUA ORANG TUAKU
HINGGA HARUS HIDUP DIALAM SEMU
SEMUA SEMU TIADA NYATA
MENUNGGU, MENUNGGU DAN MENUNGGUTANPA ADA KATA-KATA
” KAMU HARUS TUNGGU SAMPAI DI DEPAN PINTU ”
AKU TAK BISA APA
MELIHAT MEREKA PORAK-PORANDATUHAN…..
HANYA PADAMU AKU BERSIMPUH
MEMOHON DENGAN KEKUATANMU
MEMBUKA HATI MEREKA YANG MEMBEKU
Sepenggal puisi yang mungkin bagi para ahli hanyalah karya biasa, tapi ini adalah bukti isi hati dari seorang anak yang merasakan betapa hidupnya hancur. Pupusnya cita-cita dan masa depan akibat dari perbuatan dari sebuah koorporasi. Tersiratkah dalam pikiran mereka bahwa anak-anak yang memiliki masa depan cerah tiba-tiba hancur.Memang MEREKA terlahir dari keluarga yang serba WAH. Jadi MEREKA tidak akan pernah tahu rasa sakit jadi rakyat dan orang jelata. Banyak masalah yang masih belum diselesaikan oleh keluarga BAKRIE. Tapi ironisnya MEREKA bersenang-senang dengan pesta milyaran rupiah, tanpa rasa malu mereka menyunggingkan senyum diatas derita kami.