Diperlakukan Beda, Warga Pejarakan Menolak


korbanlumpur.info – Warga desa Pejarakan Kecamatan Jabon mengaku resah dengan wacana bahwa tipe bangunan mereka akan diperlakukan berbeda-beda. “Mereka membedakan bukan hanya antara tembok atau gedek (bambu), tapi bahkan sampai beda antara lantai keramik atau tidak, tembok memakai plesteran semen atau tidak, bahkan tipe genteng karangpilang atau biasa. Sampai segitu pembedaannya,” demikian ungkap Suwojo, warga desa Pejarakan.

Dari hasil pertemuan sosialisasi antara BPLS dan warga, dinyatakan bahwa penilaian harga tiap bangunan di tiga desa berdasar Perpres No 48 Tahun 2008 akan dibedakan. “Untuk pengukuran tanah, dilakukan BPN. Tapi pengukuran bangunan juga penilaian nilai bangunan dilakukan PT Cipta Karya,” imbuh pemuda desa Pejarakan ini.

Berbeda dengan korban lumpur Lapindo yang ada dalam peta 22 Maret 2007 berdasar Perpres No 14 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa harga bangunan disamakan seharga 1,5 juta rupiah, warga di tiga desa ini (Pejarakan, Kedung Cangkring, dan Besuki) tidak mendapat kebijakan yang sama.

“Itu pernyataan langsung Pak Bajuri dari BPLS,” jelas Suwojo. Keadaan ini tampaknya sudah berdampak buruk bagi proses konsolidasi gerakan rakyat yang ingin mendapat hak-haknya kembali. “Warga jelas bergejolak dan resah. Namun mereka ditakut-takuti, kalau tidak mengikuti, tidak akan diikutkan (pembayarannya),” ujar pria berusia 37 tahun itu.

Aparat Desa sendiri tampaknya juga tidak berpihak ke warga, bahkan sudah diangkat menjadi pelaksana terbawah BPLS yang juga mendapat dana operasional. “Mereka bilang sendiri, pelaksana terbawah BPLS itu kepala desa, dan mereka diberi uang operasional untuk itu,” tambah Suwojo.

Pembedaan penilaian nilai bangunan antara warga yang di dalam peta area terdampak versi Perpres No 14 Tahun 2007 dan 3 desa yang dinaungi Perpres No 48 Tahun 2008 jelas berpotensi menimbulkan kecemburuan dan perpecahan. Suwojo menyatakan bahwa warga menginginkan persamaan perlakuan. “Kalau kita, ya, maunya disamakan saja (dengan versi Perpres 14/2007).”

Selain itu, untuk pengukuran tanah sendiri juga menyisakan masalah tersendiri. Kepala Desa tidak mau memberikan surat-surat tanah warga (Petok D dan Letter C) kepada warga dengan dalih menunggu hasil pengukuran. “Setahu saya, itu ada di kepala desa, tapi dia bilang yang boleh tahu hanya kepala desa dan camat,” terang Suwojo yang bertempat tinggal di RT 6 RW 4 desa Pejarakan ini.

Tentu saja menjadi tanda tanya besar, mengapa warga dilarang mengetahui informasi luas lahan tempat tinggalnya sendiri. Keberadaan warga di atas tanahnya dibuktikan dengan surat-surat tersebut, tanpa memiliki sendiri surat-surat itu, posisi warga akan lemah jika dilakukan pengukuran tanah ulang oleh BPN. “Kita akan memaksa kepala desa untuk menunjukkan (surat-surat) itu. Kan tanah itu hak kita, kenapa kita tidak boleh meminta Petok D dan Letter C kita?,” tandasnya.

Sekali lagi terlihat bahwa pemerintah tidak serius menyelesaikan persoalan warga korban lumpur Lapindo. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu menciptakan potensi keresahan dan ketegangan di dalam warga sendiri. Aparat pemerintahan pun lebih sering tidak memihak kepentingan warga, sehingga posisi korban semakin dilemahkan dengan berbagai cara.

“Mereka (BPLS)  masih meminta kita untuk percaya kepada mereka, sekarang, ya sudah tidak bisa lagi,” pungkas Suwojo menunjukkan kemarahannya akan nasibnya yang tak kunjung mendapatkan penyelesaian berarti. [re]


Translate »