Teror di Desa Besuki, Dampak Perpres 48/2008


Besuki, SuaraPorong – Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, rumah seorang warga yang juga korban lumpur lapindo, Cak Irsyad, dilempari batu sebesar kepala bayi. Dugaan kuat, teror itu berkaitan dengan isu-isu yang berkembang dan cenderung menyudutkan setelah desa Besuki terbelah— sebagian dimasukkan ke dalam peta area terdampak versi Perpres No. 48/2008, dan sebagian lagi tidak.

Cak Irsyad yang tinggal di desa Besuki Timur, RT 05/RW 07, adalah salah seorang korban yang aktif dalam usaha menolak kebijakan-kebijakan yang dirasakan menindas kehidupan warga yang telah menderita selama semburan lumpur lapindo berlangsung. Salah satunya adalah kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti pembagian korban ke dalam peta area terdampak dan tidak terdampak yang menjadi dasar dibayar atau tidaknya kerugian warga.

Desa Besuki adalah salah satu dari tiga desa yang dimasukkan dalam area peta terdampak lewat Perppres no. 48/2008, yang akan mendapat ganti rugi dari APBN-P. Hanya saja, ada beberapa hal yang membuat rancu dan tidak membawa suasana lega pada warga desa tersebut. Hal pertama adalah hanya desa Besuki Barat yang dimasukkan dalam peta area terdampak—sementara desa Besuki Timur yang dipisahkan oleh eks-jalan tol Gempol dengan Besuki Barat, tidak termasuk di dalamnya.

Kedua, belum ada kepastian kapan uang proses jual beli tersebut dibayarkan, dan ketiga, harga jual beli tanah dan bangunan pun belum ditetapkan oleh pemerintah.

Kasus teror yang menimpa Cak Irsyad merupakan ekses dari ketegangan yang terjadi di Besuki karena tidak dimasukkannya Besuki timur ke dalam peta area yang dikeluarkan pemerintah melalui Perpres no. 48/2008. Ketidakjelasan kualifikasi penetapan suatu daerah masuk atau tidak ke dalam peta area terdampak, menimbulkan syak wasangka dan fitnah yang terus menerus membuat ketegangan di masyarakat desa Besuki. Akibat tidak masuknya wilayah besuki timur, timbul kecurigaan dan desas-desus tidak bertanggung jawab terhadap penyebab kondisi tersebut.

Kejadian di mana sebuah desa tidak seluruhannya dimasukkan ke dalam peta area terdampak bukan sekali ini saja terjadi. Dalam semua kejadian itu selalu saja menimbulkan dampak langsung yang jelas memecah belah dan merugikan kehidupan masyarakat. Desa-desa lain yang terpecah antara di dalam peta dan bukan di dalam peta antara lain: Glagah Arum, Gempol Sari, Jatirejo, dan Siring. beberapa desa yang terpecah ini tidak selalu jelas alasan pembagiannya kenapa sebagian wilayahnya dimasukkan ke dalam peta dan yang lain tidak. Ketidakjelasan inilah yang memicu kecemburuan di antara warga dan menjadi biang kehancuran kohesi sosial di masyarakat.

Dalam kasus di Besuki Timur, ketika Perppres no. 48/2008 dikeluarkan, dan desa Besuki Timur tidak dimasukkan ke dalam peta area terdampak, beredar fitnah yang menyudutkan Cak Irsyad. “Gara-gara Cak Irsyad Besuki Timur tidak masuk peta dan gagal dapat ganti rugi,” kurang lebih begitulah isi fitnahnya. Dalam pertemuan antar warga desa Besuki Timur pada 20 Juli 2008, pasca dikeluarkannya Perpres No. 48/2008, kecurigaan itu di”kambing hitamkan” kepada Cak Irsyad dan kawan-kawan yang sering terlibat aktif dalam usaha menentang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat.

Akibat pelemparan batu tersebut, kaca rumah depan Cak Irsyad pecah berserakan. Teror ini merupakan kali kedua yang menimpa korban. Sebulan sebelumnya, Ketua RT 03 desa Besuki Timur juga mengalami kejadian yang sama. Beberapa waktu setelah teror yang menimpa pak RT tersebut, giliran rumah salah satu perangkat desa yang diteror. Kaos bekas yang telah dibasahi bensin dibakar di samping rumah korban.

Beruntung aksi teror tersebut dapat diketahui sehingga tidak membakar seluruh rumah. Sehubungan dengan aksi teror tersebut, warga di sekitar lokasi pun merasa terancam. Sekarang d iatas kaca yang sengaja dibiarkan pecah itu dipasang tulisan “NEGARA TIDAK BOLEH KALAH DENGAN KEJAHATAN”. Sebuah himbauan yang rasanya entah apakah akan terkabul ditengah-tengah kondisi yang serasa dibiarkan tak menentu justru oleh penyelenggara negara.

Aksi teror yang menimpa Cak Irsyad ini, merupakan hasil langsung dari praktek memecah belah warga yang dilakukan oleh Lapindo. Korporasi ini tidak berkenan jika korban luapan lumpur bersatu untuk menuntut ganti rugi. Berbagai cara dilakukan, mulai dari proses jual beli yang berbelit-belit, janji-janji manis penuh ilusi yang disuntikkan pada para korban, sampai membuat skema yang berujung pada konflik horisontal antar korban.

Lapindo Brantas Inc, sebagaimana korporasi-korporasi yang bergerak di industri minyak dan gas, selalu membuat warga di sekitar lokasi menderita. Penderitaan yang dialami warga tidak hanya pada satu aspek saja. Limbah yang merusak kesehatan warga, kebisingan yang memekakkan, maupun bencana yang disebabkan langsung dari human error, seperti pada kasus luapan lumpur panas Lapindo. Sebelumnya warga Teluk Buyat terlibat pertikaian dengan PT. Newmont . Lalu warga Papua pun terlibat pertikaian dengan PT. Freeport terkait limbah industri. Namun, hal-hal buruk seperti itu seringkali terlupakan begitu saja. Para korban kejahatan korporasi semakin terpuruk, sementara pihak korporasi semakin mendapatkan untung yang berlimpah.

Untuk itu, diperlukan banyak solidaritas dan dukungan dari masyarakat luas. Solidaritas dan dukungan ini dapat menekan korporasi seperti Lapindo agar membayar ganti rugi bagi korban yang bukan saja kehilangan tempat tinggalnya, tapi juga sejarahnya.


Translate »