Update: Kasus Lumpur Lapindo (status 20 Agustus 2008)


Korban Lumpur Lapindo yang ditetapkan oleh Presiden ke dalam peta area terdampak sejak tanggal 22 Maret 2007 saat ini sebagian besar menunggu komitmen sisa pembayaran 80 persen. Jumlah mereka kurang lebih 14.000 ribu kepala keluarga. Namun diantara 14.000 kepala keluarga itu ada yang belum menerima uang muka 20 persen. Dengan perincian sebanyak 113 kepala keluarga dari Desa Renokenongo (minus pengungsi di Pasar Baru Porong) belum menerima uang muka 20 persen, ada pemilik 190 aset yang ada di Desa Kedung Bendo juga belum menerima uang muka 20 persen. Di Perumtas ada 45 kepala keluarga juga belum menerima uang muka 20 persen. Dan puluhan lainnya dari Desa Siring, Gempolsari, Ketapang, juga belum menerima uang muka 20 persen.

Bagi mereka yang menutut pembayaran uang muka 20 persen belum memiliki sistem organisasi rakyat yang memadai. Sehingga pola pengurusannya menggunakan jalur para makelar. Sementara yang telah mendapatkan uang muka 20 persen mengorganisir diri ke dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL). Namun pada Bulan Mei 2008, para petinggi GKLL membuat nota kesepahaman sendiri dengan PT Minarak Lapindo Jaya. Kesepahaman itu adalah mengubah skema pembayaran 80 persen dari bentuk tunai (cash) ke bentuk cash and resettelement.

Kesepakatan ini dilakukan oleh petinggi GKLL dengan latar belakang, PT Minarak Lapindo Jaya menyatakan bahwa tanah warga yang tidak bersertifikat tidak bisa di akte jual belikan. Alasannya, bertentangan Undang Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah tentang pendaftaran dan pencatatan tanah.

Akibatnya, sebagian anggota GKLL memisahkan diri membentuk Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden No 14 tahun 2007). Warga yang tergabung dalam Geppres menuntut pembayaran uang muka 80 persen dalam bentuk tunai, dan menolak skema cash and resettlement. Adapun dasar hukum yang dipegang oleh mereka adalah risalah kesepakatan bersama antara Menteri Sosial (selaku Wakil Ketua Dewan Pengarah BPLS), Kepala BPLS, Ketua DPRD Sidoarjo, Badan Pertanahan Nasional, PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga dari empat desa (Kedung Bendo, Siring, Jatirejo, dan Renokenongo) yang menyatakan bahwa warga yang memiliki bukti kepemilikan tanahnya berupa letter c, pethok d, dan sk googol tetap dapat di akte jual belikan. Nota kesepakatan ini dibuat tanggal 2 Mei 2007.

Lalu pada tanggal 24 Mei 2008, Badan Pertanahan Nasional membuat pedoman kepada Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sidoarjo dalam hal penyelesaian mekansime pelepasan tanah warga kepada negara dan penerbitan Sertifikat Hak Guna Usaha kepada PT Lapindo Brantas. Didalamnya diatur mekanisme akte jual beli, termasuk mekanisme proses akte jual beli terhadap tanah warga yang bukti kepemilikannya letter c, pethok d dan sk googol.

Walaupun telah ada dua aturan di atas, BPLS tetap saja belum melakukan penegakkan hukum. Sehingga warga yang sekarang menuggu sisa pembayaran 80 persen untuk mendapatkan pembayaran secara tunai baik terhadap tanah dan rumahnya masih terkatung katung. Padahal pada Bulan Agustus  ini banyak sekali warga yang habis masa kontrak rumahnya. Sehingga menimbulkan kerentanan kehidupan warga berikut keluarganya.

Sementara bagi kelompok korban Lumpur lainnya yang berasal dari Desa Besuki, Pajarakan, dan Kedung Cangkring, pada Bulan Juli 2008 lalu ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kawasan peta area terdampak luapan Lumpur Lapindo. Aturan ini tertuang dalam Perpres No 48 tahun 2008. Berbeda dengan keberadaan Perpres No. 14 tahun 2007 yang telah diperbaharui itu, tiga desa ini mekanisme pembelian tanah dan rumah warga menggunakan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.

Namun, aturan ini juga menimbulkan masalah baru. Sebab dalam kawasan peta terdampak, wilayah besuki bagian timur tidak masuk ke dalam peta area terdampak. Padahal kawasan itu hanya dipisahkan oleh bekas jalan tol Gempol- Surabaya. Selain itu, muncul masalah lain. Walau pembayarannya secara bertahap (dibayarkan dua kali) dimana 20 persen sebagai uang muka, dan sisanya 80 persen. Namun mekanisme jual beli  asset warga oleh pemerintah belum memiliki patokan harga. Warga menghendaki patokan harganya sesuai dengan peta yang dibuat oleh pemerintah pada tanggal 22 Maret 2007, yang dibayar oleh PT Lapindo Brantas. Patokan harganya adalah untuk tanah sawah di hargai 120. 000 per meter persegi,  tanah kering 1.000.000 juta per meter persegi, dan bangunan 1.500.000 per meter persegi.

Masalah ketiga yang muncul dari aturan ini adalah, sisa pembayaran 80 persen dari wilayah ini dikaitkan dengan pembayaran 80 persen warga desa yang dibayar oleh PT Lapindo Brantas. Padahal antara warga desa (Kedung Bendo, Jatirejo, Siring, Renokenongo, Gempolsari, Ketapang, Risen) yang masuk dalam peta area 22 Maret 2007 dibayar oleh PT Lapindo Brantas, sedangkan warga Besuki, Pajarakan, dan Kedung Cangkring dibayar oleh APBN. Jadi sangat tidak logis jika Perpres No 48 tahun 2008 menyatakan bahwa sisa pembayaran 80 persen desa Besuki, Pajarakan, dan Kedung Cangkring akan dibayarkan setelah pembayaran 80 persen yang dilakukan oleh PT Minarak lapindo Jaya lunas semuanya.

Padahal kita ketahui bersama bahwa sisa pembayaran 80 persen yang dilakukan oleh pihak Lapindo menimbulkan masalah yang begitu rumit sebagaimana yang terlihat dalam paparan diatas. Jangankan 80 persen. 20 persen saja hamper seribu berkas asset warga belum mendapatkan uang muka 20 persen (termasuk yang ada dalam pengungsi Pasar Baru Porong).

Wilayah lain yang menghadapi problem dampak Lumpur lapindo adalah Desa Siring bagian barat, Jatirejo bagian barat, Gedang, Mindi, Glagah Arum, Plumbon, Gempolsari, Ketapang bagian barat, dan Pamotan. Sebagian besar wilayah desa desa diatas mengalami kerusakan sangat parah, terutama Desa Siring bagian barat, Jatirejo bagian barat, dan Mindi. Diketiga desa ini muncul  buble-buble gas yang mencapai 94 titik. Semburan gas ini disertai dengan air, lumpur, dan bau gas yang sangat menyengat. Semburan ini sangat rawan terbakar. Sumber mata ait telah rusak, tanah mengalami penurunan ke bawah. Sehingga dinding rumah rumah warga banyak yang retak, dan miring.

Kesembilan desa diatas ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah luar peta area terdampak. Sehingga tidak ada bentuk penyelesaian dan tanggungjawab apapun yang diperbuat oleh pemerintah maupun warga. Berulangkali aksi telah dilakukan oleh warga untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah. Belasan kali surat telah di kirim ke BPLS, Bupati, Gubernur, Menteri, dan DPR. Namun hingga kini tidak ada solusi atas kerusakan diwilayah sembilan desa ini.

Paguyuban warga sembilan desa menuntut kepada pemerintah agar wilayahnya dimasukkan ke dalam peta area terdampak. Lalu mendapatkan jaminan keamanan, keselamatan, dan jaminan social dari pihak pemerintah. Dan tuntutan yang ketiga adalah melakukan jual beli asset warga dengan menggunakan mekanisme Perpres No 14 tahun 2007, termasuk harga harganya.

Hingga kini, tak ada respon apapun dari pihak pemerintah atas tuntutan ini. Padahal telah ada 2 orang warga Desa Jatirejo bagian barat yang telah meninggal akibat kandungan gas di pernafasannya. Demikian juga 2 orang warga Siring bagian barat mengalami nasib yang sama. Belasan lainnya juga di rawat dirumah sakit akibat gas di saluran ISPA-nya. Atas kejadian ini, Gubenur Jawa Timur hanya membuat surat rekomendasi kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS. Surat itu berisi; pemberian uang kontrak rumah, uang jatah hidup, biaya pindah rumah, dan rumah dengan tipe sangat sederhana. Namun rekomendasi ini ditolak oleh warga. Warga meminta sebagaimana dalam tuntutan diatas.


Translate »