Yang Hidup Saja Ditelantarkan


korbanlumpur.info  – Sehari sebelum puasa Nawawi bin Zaenal Mansur (45 tahun) duduk di atas pepuingan. Anak bontotnya Khairul Rozikin (9 tahun) berjongkok di sebelah kirinya, sementara Isna al-Muntaziroh, istrinya, duduk di belakangnya dan memimpin doa. Khusuk mereka menatap arah barat pada sebuah kuburan umum Dusun Renokenongo yang tenggelam dalam air asin yang keluar bersama lumpur Lapindo. Kuburan ini ditandai kumpulan pepohonan kamboja yang daunnya dirontok-keringkan panasnya lumpur.

Mereka mendoakan arwah leluhur dan keluarga supaya diampuni dosanya. Di desa Nawawi, ini tradisi menjelang bulan puasa. Nawawi menyebutnya nyekar, menabur bunga di kubur. Doa khusus dia tujukan pada Zaenal Mansur, sang ayah, seorang pejuang 45. Kali ini dia tak membawa bunga dan tak bisa menaburnya di atas kubur sang ayah. Dia minta maaf untuk ini.

Tahun lalu, dia masih bisa ke kuburan bapaknya karena air asin dan lumpur mengering. Ketika itu dia lihat bendera merah putih dari seng di atas kubur sudah mulai peot.

Saget gripis-gripis kengeng toyo asin [bisa pecah-pecah tergenang air asin],” tutur Nawawi dengan logat Jawa halus.

Menjelang puasa tahun ini, Nawawi tak lagi bisa nyekar. Nawawi tak habis pikir dengan Lapindo dan pemerintah yang lamban menangani soal lumpur Lapindo ini. Sudah dua tahun ini dia hidup berpindah-pindah.

Pada awal luapan lumpur pertama, Mei 2006, dia mengungsi ke balai Desa Renokenongo. Beberapa bulan setelah itu luapan lumpur mengakibatkan meledaknya pipa gas milik pemerintah, dan ledakan ini menyebabkan desanya tenggelam total. Dia bersama istri dan empat anaknya lalu mengungsi ke Pasar Baru Porong. Tiga bulan kemudian, dia menerima uang kontrak yang dia pakai sewa rumah di Kalitengah, Tanggulangin. Setelah dua tahun, masa kontraknya habis dan dia tak punya uang untuk memperpanjang. Dengan berat hati dan cemas dia sekeluarga kembali di rumahnya yang amblas satu meter dan hampir rubuh di RT 08 RW II Dusun Renokenongo.

“Saya menjadi ketua RT selama 13 tahun,” tutur Nawawi.

Sebagian korban memang sudah menerima uang 20 persen itu. Mereka ini korban luapan pertama. Tapi Nawawi bersama korban lainnya pasca ledakan pipa gas 22 November 2006 lainnya termasuk sial. Mereka belum mendapatkan uang 20 persen tersebut.

Nawawi kecewa dengan pemerintah yang menyia-nyiakan bapaknya yang ikut berjuang untuk kemerdekaan namun tak bisa berbuat apa-apa melihat kuburan bapak dan leluhurnya yang tenggelam dalam lumpur. Dia tak dapat menuntut ganti rugi apapun.

Tak hanya kuburan Dusun Renokenongo yang tenggelam. Kuburan Dusun Sengon, masih dalam Desa Renokenongo, juga terendam di tengah lumpur di dalam tanggul Lapindo. Penduduknya tak bisa lagi nyekar di kubur keluarga mereka. Mereka hanya mendoakan dari atas tanggul menghadap kuburan yang juga ditandai gerumbul kamboja yang mengering.

Muhammad Yunus (40 tahun) adalah salah satu warga Sengon yang keluarganya dimakamkan di kuburan umum Dusun Sengon. Sore itu Yunus tak bisa nyekar dan hanya mendoakan arwah keluarga dari atas tanggul. Dia menangis melihat kubur orang-orang yang dicintainya tenggelam oleh lumpur.

Yunus lebih beruntung daripada Nawawi. Setelah rumahnya di Dusun Sengon rubuh oleh luapan Lumpur, dia tinggal di sebuah kontrakan kecil di Banjarasri, Tanggulangin. Dia juga sudah menerima uang 20 persen. Kini dia menuntut kapan rumah yang dijanjikan Lapindo bisa ditinggali.

Soal kuburan yang tenggelam, menurut Yunus, tak ada bahasan ganti rugi sama sekali. Penduduk sudah pusing memikirkan tuntutan dasar mereka yang tak jelas kapan dilunasi.

Yunus ingin kuburan yang sudah tenggelam ini dipindahkan ke tempat lain supaya dia bisa berziarah.”Warga sakjane pengen makame dileh, kersane saget ziarah, warga maunya kubur itu dipindah supaya bisa ziarah.”

Persoalan kuburan ini tak hanya soal ziarah dan tradisi yang hilang. Namun juga soal bagaimana kalau warga dari kampung-kampung yang tenggelam ini mati. Pertanyaannya, mau dimakamkan di mana mereka kalau meninggal? Untuk warga Renokenongo yang kembali ke desa karena kontrakannya habis dan mati mereka akan dikuburkan di makam tetangga desa mereka, Glagaharum.

Selama dua tahun pasca luapan lumpur, sudah 30 orang warga Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong yang meninggal. Mereka nebeng makam di desa Juwet Kenongo.

““Mereka dikumpulkan di pojok, tak boleh milih tempat sembarangan,”” tutur Nizar warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar.

Selain dua kuburan di Desa Renokenongo, kuburan-kuburan di Desa Siring, Kedungbendo, Mindi, Jatirejo Timur, Jatianom juga ditenggelamkan lumpur Lapindo. Jelang Ramadlan warga Mindi melakukan aksi nyekar di tanggul dan mendoakan leluhur mereka di sana.

“Di Jatirejo ada dua kuburan satu di Jatirejo Timur dan Barat. Yang di Jatirejo Timur sudah tenggelam dan yang di Barat masih,” tutur Ahmad Novik (29 tahun) warga Jatirejo.

Penduduk Besuki yang setengah kampungnya ditenggelamkan lumpur masih beruntung karena kuburan mereka masih bisa digunakan. Dulu sempat tergenang lumpur tapi kini sudah kering. Meski kuburan itu dilapisi lumpur namun penduduk masih bisa menggunakannya. Sore sehari menjelang Ramadlan, penduduk Besuki memadati kuburan berlumpur itu untuk menjalankan tradisi nyekar dan mendoakan arwah keluarga mereka.

Suroso adalah salah satu warga Besuki yang nyekar sore itu. Tak hanya menjelang Ramadlan, biasanya, Suroso ziarah ke makam orang tuanya setiap malam Jumat.

“Ini sudah menjadi adat kebiasaan yang diharuskan menjelang puasa dan Idul Fitri,” tutur Suroso.

Soal kuburan yang tenggelam dan tradisi yang hilang ini belum mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun PT Minarak Lapindo Jaya. Jangankan untuk mengurus hal-hal semacam ini, melunasi tuntutan-tuntutan dasar macam perlunasan uang tanah, rumah dan sawah saja mereka nunggak.

Persoalannya akan lebih rumit lagi kalau melihat luapan lumpur yang dialirkan di sungai-sungai di sekitar tanggul yang membunuh ekosistem dan merusak lingkungan.

“Jangankan yang mati yang hidup saja ditelantarkan,” tutur Nawawi patah arang.

Nyekar ke kuburan di Desa Besuki


Translate »