Yang Sakit, Yang Terjepit


korbanlumpur.info – Tubuh renta itu tergolek lemah di tempat tidur. Hanya kain tipis yang menyelimuti kulit pucatnya. Mbah Tiyami, 75 tahun, sudah sejak 17 November 2007 jatuh sakit. Di kamar sempit itu, tak ada sinar matahari yang masuk. Sementara bubuk putih ramuan tradisional selalu ada di dekat pembaringan. “Ini bobok-nya, Simbah,” terang Suyati, anak perempuan Mbah Tiyami yang setia merawat.

Mbah Tiyami mungkin tidak tahu jenis penyakit yang diderita. Tapi ia mengingat kisahnya. “Saat itu sudah lepas Isya. Tiba-tiba di kamar mandi sikil kulo kados puthul, kaki saya macam putus. Rasanya seperti, saya cari kaki saya kok ndak ada. Terus ndak bisa jalan. Ambyok pun, jatuh. Kembali ten kamar, ndak bisa apa-apa. Nggih terus dibawa ke rumah sakit. Habis dari rumah sakit, ya, macam ini, ndak bisa apa-apa sampai sekarang.”

Dulu, sebelum lumpur menggenangi kampung dan seisinya, Mbah Tiyami tinggal di Desa Kedungbendo RT 14. Saat itu, ia belum mengalami sakit seperti ini. Begitu lumpur meletus, Mbah Tiyami tersingkir dari desa dan terpaksa mengontrak rumah di Desa Kalisampurno, Kecamatan Tanggulangin, hingga hari ini. Seperti warga lainnya, Mbah Tiyami sewa 2 tahun.

Di November yang masih suasana bahagia Idul Fitri itu, Mbah Tiyami dilarikan ke Rumah Sakit Siti Hajar. Lapindo yang telah membuat Mbah Tiyami terusir dan yang menciptakan lingkungan yang membuat tubuh tuanya dijangkiti penyakit tak memberi layanan apa-apa. Begitu pula Pemerintah. Mbah Tiyami menjalani opname selama 9 hari yang menguras biaya sedikitnya 9 juta rupiah.

Biaya itu ditanggung sendiri oleh keluarga Mbah Tiyami, tanpa bantuan dari Lapindo maupun Negara. Apalagi, Suyati, yang setia merawat Mbah Tiyami, adalah orang awam. Ia tak tahu kalau seharusnya, Mbah Tiyami sebagai korban Lapindo bisa bebas biaya pengobatan.  “Saya ndak tahu kalau korban wonten keringanan ngoten niku,” tutur Suyati.

Macam-macam penyakit yang diderita Mbah Tiyami. Dari citra ultrasonografi (USG), terlihat ada batu di kandung kemih, ada pula benjolan di saluran kandung empedu, pembengkakan di sistem ginjal, dan infeksi saluran kencing. Setelah 9 hari menginap, keluarga tak sanggup lagi menanggung biaya pengobatan di rumah sakit. Apalagi, penyakit yang dialami Mbah Tiyami tak kunjung berkurang. Tak ada perubahan berarti. Akhirnya, keluarga memutuskan untuk membawa pulang Mbah Tiyami.

Setiba di rumah kontrakan di Desa Kalisampurno itu, Mbah  Tiyami ditangani dengan pengobatan alternatif. Pertama pengobatan dari seorang tabib di daerah Larangan, Sidoarjo, yang menghabiskan kocek 450 ribu rupiah, namun juga tidak membuahkan hasil. Lalu jamu yang konon asli dari Jepang seharga 260 ribu rupiah. Syukurlah, kali ini ada sedikit perubahan: tangan Mbah Tiyami mulai bisa digerak-gerakkan. Hingga hari ini, Mbah Tiyami hanya terbaring di atas dipan. Secara rutin, ia diberi pijatan dan bobok putih, ramuan tradisional itu.

Tiadanya layanan kesehatan dari Lapindo maupun Pemerintah membuat nasib keluarga Mbah Tiyami melorot terus. Suami Mbah Tiyami sudah tiada. Suyati tidak bekerja, juga sudah menjanda. Untuk membayar biaya rumah sakit dan perawatan, Suyati mengandalkan sisa uang 20 persen pembayaran jual-beli tanah dan sawah yang tenggelam oleh lumpur. Uang itu sudah menipis, dibagi-bagi untuk biaya makan dan sekolah Siti Nurjana (18 tahun) dan M Nurhuda (14 tahun), anak Suyati. Sementara, sisa 80 persen belum dibayar hingga hari ini. Sehingga untuk menambah biaya pengobatan Mbah Tiyami, Suyati masih harus berhutang ke tetangga dan sanak saudara sebesar 3 juta, jumlah yang sangat tidak kecil bagi Suyati.

Pikiran Mbah Tiyami pun jadi ngelantur. “Rumah sudah kelemdi Kedungbendo. Kulo nggih pingin kembali ke sana. Wong dari kecil saya di Kedungbendo,” tutur Mbah Tiyami.

Bu Jumik (50 tahun) juga mengalami nasib yang sama: tidak mendapatkan layanan kesehatan dari Lapindo maupun Pemerintah. Bu Jumik warga Renokenongo yang tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong. Pertengahan Juni 2008 lalu, Bu Jumik tiba-tiba merasa sakit di bagian perut. Ia segera dilarikan ke RSUD Sidoarjo. Setelah menginap 2-3 hari, perut Bu Jumik tiba-tiba membesar, macam orang hamil. Ibu Jumik terus-menerus merasa sakit di perut, seperti maag akut.

Setelah dua minggu menginap di rumah sakit, keluarga Bu Jumik tak sanggup lagi menanggung biaya. Lagi pula, kondisi kesehatannya juga tidak membaik. Bu Jumik dibawa kembali ke pengungsian. Lebih dari 20 juta sudah biaya yang dikeluarkan keluarga Bu Jumik. Untuk ke dokter setidaknya sudah 5 juta, lalu buat pengobatan alternatif sedikitnya 10 juta. Sekarang, dua hari sekali keluarga Bu Jumik harus merogoh 250 ribu untuk penanganan alternatif. Tidak ada bantuan atau keringanan biaya kesehatan dari Pemerintah, apalagi Lapindo.

Selain warga Kedungbendo dan Renokenongo yang sudah dikubur lumpur Lapindo, warga di desa-desa sekeliling tanggul juga tak kurang mengenaskan. Kesehatan mereka terganggu, tapi juga tak ada penanganan khusus dari Pemerintah maupun Lapindo. Menurut hasil penelitian Tim Peneliti bentukan Gubernur Jawa Timur pada April 2008, udara di 9 desa sekeliling tanggul yang tercemar mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan. Gejala paling umum adalah mual-mual, pusing, batuk-batuk, dan sesak nafas.

Di Puskesmas Porong saja, misalnya, angka pasien Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) meningkat tajam. Pada 2005-2006, angka rata-rata berkisar 20-25 ribu kasus. Tapi pada 2007, angka melonjak hingga 50 ribu kasus. Toh, Lapindo maupun Pemerintah tampak cuek-cuek saja. Pemerintah bersikap seolah-olah keadaan normal-normal saja, dan warga korban Lapindo pun disikapi seperti tidak sedang terjadi apa-apa.

Pernah, Chusnul Chorida (29 tahun) warga Desa Gedang harus melarikan anaknya, Ilham Bintang (5 tahun), ke Puskesmas Porong. Sore menjelang magrib akhir Agustus lalu itu, Ilham mengalami demam tinggi. Pihak Puskesmas menyarankan agar segera dilakukan tes darah buat Ilham. Dari tes darah itu diketahui, Ilham dinyatakan mengidap radang tenggorokan sekaligus tipus. Disarankan agar Ilham menjalani rawat inap.

Chusnul panik. Dia tidak punya uang. Lalu ia ingat memiliki kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), program layanan kesehatan buat masyarakat miskin. Dengan kartu ini, seharusnya Chusnul dibebaskan dari biaya pengobatan dan perawatan.  Tapi Chusnul malah mendapat respon tidak enak. “Boleh saja pakai Jamkesmas, tapi tidak bisa dapat suntikan,” kata petugas Puskesmas.

Seperti warga lainnya, enggan berdebat dengan petugas, Chusnul akhirnya lebih memilih menanggung biaya sendiri. Kesehatan Ilham terlalu penting untuk diabaikan. Ilham ternyata harus menjalani rawat inap selama 5 hari di RSUD Sidoarjo. Biayanya 540 ribu rupiah. Ini jumlah yang besar bagi Chusnul. Hidup Chusnul dan keluarga bergantung pada penghasilan suami, Khusaini.

Per bulan, Khusaini memperoleh penghasilan 540 ribu sebagai buruh kerajinan tas kulit. Dan jumlah itu harus dipotong sekitar 400 ribu buat kredit motor, yang menjadi alat transportasi Khusaini buat rutinitas kerja. Sehingga, uang Khusaini tersisa 400 ribu saja. Itu artinya, untuk membayar biaya perawatan Ilham, Chusnul dan Khusaini harus berutang. Kata Chusnul, ia telah berutang paling tidak 200 ribu rupiah.

Mbah Tiyami, Jumik maupun Ilham tentu saja tidak sendirian. Kondisi kesehatan warga di sekeliling tanggul, terutama anak-anak dan manula, terus memburuk akibat kondisi air dan udara yang tercemar. Tanpa ada layanan kesehatan secara khusus, Lapindo maupun Pemerintah sama saja telah melakukan pembunuhan massal warga secara diam-diam. [re/ba]


Translate »