Sepenggal Kisah dari Suatu Sudut KNV


Ibu Eli (41) dan Pak Indar (43) merupakan sebagian korban lumpur Lapindo dari Desa Jatirejo yang sekarang tinggal di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Selain mereka, juga ada sekitar 15 keluarga Desa Jatirejo yang sekarang tinggal di KNV.

Salah satu permasalahan yang masih tersisa dari kedua warga Jatirejo ini adalah masalah sertifikat tanah dan bangunan di KNV. Pihak Lapindo pernah menjanjikan bahwa sertifikat akan diberikan pada warga paling lambat Oktober 2012. Akan tetapi, sampai Februari 2013, Lapindo belum memberikan sertifikat tanah dan bangunan pada Eli dan Indar.

Sebelum tinggal di KNV, Eli dan Indar telah berpindah-pindah hunian sejak 2006. Mereka sempat menghuni di pengungsian Pasar Baru Porong. Setelah itu, mereka juga menyewa rumah di Perumtas II sebelum akhirnya pindah ke KNV pada 2010.

Sebelum terdampak lumpur Lapindo, Indar adalah seorang kontraktor proyek perumahan di Porong. Sementara itu, Eli bekerja sebagai SPG. Pekerjaan Indar hilang setelah lumpur Lapindo menyembur. Indar sempat bekerja sebagai sales dan “narik ojek”. Tetapi kedua pekerjaan itu sudah tidak lagi dilakukannya. Eli sekarang berusaha membuat kue dan menitipkannya di seputaran wilayah perumahan KNV. Usaha kue itu sudah dilakukan sejak mereka tinggal di Jatirejo. Ketika pertama kali pindah ke KNV, Eli kehilangan pelanggan tetap. Tapi, pelan-pelan usaha kue ini terus meningkat, seiring bertambahnya pelanggan.

Menurut Indar, ada sekitar 15 KK dari Desa Jatirejo yang pindah ke KNV. Jumlah ini merupakan relatif sedikit dibandingkan dengan warga dari Perumtas atau dari desa lain. mayoritas penduduk KNV adalah dari Desa Kedungbendo. Lapindo menjanjikan skema ganti rugi sebagai berikut: 20 persen “ganti tunai” dan 80 persen “ganti rumah”.

Lapindo berjanji memberikan sertifikat paling lambat Oktober 2012, dua tahun setelah pindah ke KNV. Namun hingga batas waktu yang dijanjikan dia belum mendapatkan sertifikat untuk rumah barunya. Menurut pengakuan Indar, baru tiga orang yang sudah mendapat sertifikat untuk rumah barunya. Indar juga mengatakan bahwa dia dan beberapa warga disuruh menandatangani surat perjanjian yang isinya adalah melarang warga demonstrasi untuk minta sertifikat.

Pada awalnya orang-orang kampung tidak mau menerima skema cash-and-resettlement. Alasan yang muncul adalah rumah itu mahal, posisi yang tidak strategis, serta mereka tidak biasa tinggal di perumahan. Indar pun secara sembunyi-sembunyi mendatangi langsung kantor PT Minarak Lapindo Jaya, jadi tidak melalui pengurus desa (RT/RW). Indar merasa sudah capek menunggu uang ganti rugi (tunai) yang tak kunjung dibayarkan. Selain itu dia juga merasa lebih baik mendapatkan rumah langsung, daripada harus mengelola uang tunai.

Indar sudah merenovasi dapur, mengeluarkan uang sekitar 40 juta. Total harga rumah baru itu mencapai 162 juta. Dia merasa lega sudah memiliki rumah lagi, membandingkan korban lain yang menuntut cicilan yang tidak jelas.

Di RT 18, tempat tinggal Indar dan Eli sekarang, masih sering diadakan kumpulan warga, seperti tahlilan dan PKK. Dia sudah tidak lagi mengikuti informsasi tentang korban dari Desa Jatirejo yang lain.

Translate »