Perjalanan Cak Taman


Cak Taman (45 tahun) berasal dari Besuki (Barat) sekarang menghuni rumah barunya di Dusun Podokaton, Desa Kedungcangkring. Setelah Besuki Barat “masuk peta”, Taman mengikuti seorang tokoh desa Besuki yang menawarkan tanah kapling di Desa Meranggen. Namun, Taman menjual tanah itu karena lokasinya sepi dan terlalu jauh dari desa asalnya, Besuki.

Selain masalah lokasi dan jarak, Taman juga kecewa karena harga tanah yang dibelinya ternyata lebih mahal lima juta rupiah dari harga umumnya. Ditambah lagi, ternyata sang tokoh yang menawarkan tanah kapling itu tidak turut pindah ke Meranggen. Taman memilih dan memutuskan untuk tinggal di Desa Kedungcangkring adalah karena lokasinya tidak jauh dari warga Besuki Barat.

Taman sangat geram terhadap Lurah Kedungcakring yang tidak segera menerbitkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) dengan alasan dia tidak punya surat pengantar dari Lurah Besuki. Taman mengaku, untuk mendapatkan surat pengantar itu dia harus membayar sejumlah uang. Karena tidak punya uang, dengan setengah putus asa Taman tidak mengurus surat-surat kepindahan tersebut. Biaya pengurusannya mencapai dua juta rupiah. Taman juga tidak bisa mendapatkan sertifikat tanah di hunian barunya itu.

Taman saat ini tidak punya sertifikat tanah dan bangunan. Untuk tanah di Meranggen, meskipun sang tokoh desa masih secara berkala datang dan memfasilitasi proses pengurusan sertifikat namun sampai sekarang Taman belum mengurusnya. Lagi-lagi Taman terbentur pada persoalan biaya. Proses pengurusan juga dilakukan secara individual, tidak kolektif bersama warga lainnya.

Taman boleh dikata sedikit beruntung dalam hal mata pencaharian. Sekalipun tidak punya tanah sawah sendiri, Taman sekarang mengelola atau menggarap sawah milik orang Surabaya di Desa Podokaton. Taman hanya diminta membayar 150 ribu rupiah setiap kali panen.

Taman masih belum tahu nasibnya jika tanah sawah itu dibeli orang lain. Si pemilik sawah memang berencana menjual tanahnya itu.


Translate »