Perpres 14/2007, Legalisasi Korupsi Lapindo


SUBAGYO. Masyarakat korban lumpur Lapindo semakin terlunta-lunta. Masa depan dan keselamatan rakyat di wilayah-wilayah kerja korporasi pertambangan terancam akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Bukan untung, malah buntung.

Dalam rangka penyelesaian kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, presiden telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Tetapi hari demi hari yang kita lihat adalah nasib para korban yang seolah-olah hidup di dalam kontes penderitaan.

Warga korban memang sudah ‘tertipu’ sejak awal-awal kasus ini. Bayangkan, untuk mendapatkan rumah baru, mereka terperosok dalam alam pikiran yang sudah didesain, yaitu: ganti rugi dengan format jual beli tanah, yang ujung-ujungnya ribut soal ada atau tidaknya sertifikat, setelah itu harus ada jaminan dari Bupati Sidoarjo bahwa tanah yang dijual kepada Lapindo tidak bermasalah, dan lain-lain. Padahal secara hukum, tanpa menjual tanah pun masyarakat korban berhak memperoleh ganti kerugian yang jumlahnya tak terhingga sebab telah kehilangan harta benda dan penderitaan hidup serta mengalami kehancuran seperti itu.

Lapindo jelas dilindungi oleh Perpres No. 14/2007. Pasal 15 menentukan bahwa kewajiban Lapindo melakukan pembayaran tanah dan bangunan korban yang terkena dampak lumpur dilakukan secara bertahap.
Skema pembayaran 20 persen di muka dan 80 persen sebelum masa kontrak rumah dua tahun tersebut dipaksakan dengan hukum alat kekuasaan yang berupa Perpres No. 14/2007. Ini regulasi administratif yang melanggar asas keadilan bagi korban untuk menggugat ganti kerugian secara bebas dan penuh.

Perpres No. 14/2007 juga merugikan rakyat sebab Lapindo hanya dibebani membayar peta daerah terdampak tanggal 22 Maret 2007. Jika ternyata nantinya dampak semburan lumpur Lapindo terus meluas maka biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dibebankan pada APBN atau sumber lain yang sah. Jadi seluruh rakyat Indonesia akan menanggungnya.

Selain itu, Lapindo juga diberi diskon lebih banyak dengan ketentuan bahwa biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah (pasal 15 ayat 6). Ada pepatah, “Siapa yang berbuat, dia yang bertanggung jawab,” tetapi khusus dalam kasus Lumpur Lapindo itu menjadi, ”Lapindo yang berbuat, mari kita ikut kualat!”

Jelaslah bahwa Perpres No. 14/2007 adalah termasuk kebijakan ‘kesopanan’ pemerintah pusat pro Lapindo, tidak tegas dalam memberesi persoalan rakyat akibat kebijakan pengelolaan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) yang tidak berorientasi pada social safety.

Perpres No. 14/2007, sebagai ‘regulasi kesopanan’ kepada yang mulia investor tersebut, juga bertentangan dengan UU No. 22/2001 menentukan bahwa kontrak kegiatan usaha hulu migas antara pemerintah (diwakili BP Migas) dengan korporasi usaha hulu migas harus memuat klausul adanya penanggungan seluruh modal dan resiko dalam kegiatan usaha migas oleh korporasi tersebut (pasal 6 ayat (2) huruf c).

Setelah negara ini telah ditundukkan independensinya oleh asing dengan UU No. 22/2001, maka kini justru rakyat pun harus ditekan lagi ketertundukannya dengan Perpres No. 14/2007 yang derajat keadilannya lebih buruk dari UU No. 22/2001 yang sudah buruk itu. Setelah pemerintah menggadaikan kedaulatan (terjajah), kini justru menindas (menjajah) rakyatnya sendiri. Bukan salah takdir kalau kita lahir di negara ini. Desy Ratnasari harus dikecam ulama ketika bersyair, “Takdir memang kejam.” Mana fatwamu dalam kasus lumpur Lapindo, hai yang mulia Majelis Ulama Indonesia?

Perpres No. 14/2007 menjadi alat legalisasi korupsi sebab memberikan dasar agar dampak kerusakan ekologis kasus lumpur Lapindo dibebankan pada keuangan negara, tanpa menentukan kewajiban agar Lapindo (dan korporasi dalangnya) untuk mengganti pengeluaran negara.

Masyarakat korban Lapindo pun sudah tidak percaya kepada siapa-siapa. Percuma segala cara dan acara diadakan, jika tak ada perubahan terhadap nasib korban. Segala proyek penyelesaian teknis untuk menghentikan, menghambat atau mengalirkan lumpur telah memakan dana ratusan miliar. Tapi kalau kelakuan orang Indonesia seringkali mengail ikan di air keruh maka hak publik akan terus dikorupsi, termasuk dana yang telah dikeluarkan Lapindo. Semakin lama lumpur mengalir maka semakin banyak ‘ikan’ yang diperoleh para pengail.

Mengendalikan lumpurnya memang sulit. Tapi, tak ada kebijakan yang tegas dari pemerintah pusat untuk segera mengentaskan korban langsung dari keadaan hidup yang mengenaskan. Lapindo yang ‘tidak lulus’ dalam menyelenggarakan usaha hulu migas mestinya ‘dipecat’ izinnya dan digugat untuk membayar ganti rugi. Para pengurus ‘kapal’ Lapindo dan nahkodanya seharusnya segera dipidanakan karena telah melakukan kejahatan ekologis paling mengerikan dalam sepanjang sejarah republik BBM (Berulang-ulang Benjut dan Memble) ini.

Seumur-umur kita hidup di negara di mana keadilan dan kesejahteraan merupakan utopia dan mimpi yang selalu diteriak-teriakkan dalam kampanye-kampanye pemilu. Entah berapa banyak obat tidur yang telah kita telan sehingga tak sanggup-sanggup untuk bangun menyadari kenyataan. Para petualang semakin lama membius rakyat dan setelah itu mencuri kekayaan negara dengan leluasa.

Mari teruskan mimpi indah sebagai rakyat Indonesia yang hidup di negara demokratis, adil, makmur dan kaya-raya, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945! Suatu saat jika kita terbangun, harta hilang dicuri orang yang telah kita pilih dalam pemilu yang telah bekerjasama dengan para sponsor dan donaturnya.

Subagyo, Advokat dan pekerja sosial. Artikel ini dimuat di www.surabayapagi.com


Translate »