Tunggakan Tujuh Tahun Grup Bakrie


PT Minarak Lapindo Jaya berulang kali tak mampu memenuhi pembayaran kepada korban lumpur Lapindo. Warga gerah dan meminta pemerintah pusat untuk mengambil alih. lagi-lagi lumpur Lapindo justru ditanggung negara.

Suara Wiwit lemah ketika menyambut ajakan pembicaraan ganti rugi rumahnya. Sudah tujuh tahun rumahnya terendam lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. Namun uang pengganti yang diterimanya tak kunjung lunas.

Pelunasan ganti rugi korban lumpur Lapindo tidak berujung. Mereka adalah warga yang tinggal di daerah terdampak, yakni di Desa Siring, Renokenongo, dan Kedungbendo. Dulu Wiwit tinggal di sana, tapi sekarang rumahnya hanya kelihatan gentingnya saja.

PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) tak dapat memberikan kejelasan ganti rugi setelah beberapa kali gagal melunasi pembayaran terhadap warga di area terdampak. Wiwit termasuk warga yang menolak dibayar dengan model cicilan.

“Dulu ada dicicil 20%, tapi kalau dihitung-hitung sampai sekarang itu sama saja kalau DP (down payment/uang muka). Nah, kalau sudah tujuh tahun nggak dibayar ya harusnya hangus. Rugi toh kita. Makanya saya tidak terima waktu itu,” keluhnya.

Nasib tak jelas ini yang membuat Wiwit mengadu ke Jakarta. Untungnya, Panitia Khusus (Pansus) Lapindo DPRD Sidoarjo mengeluhkan hal sama. Mereka sama lelahnya mendengarkan keluhan warga, desakan ke PT MLJ hanya berbuah janji yang tak kunjung dilunasi.

Rabu 12 Juni 2013 lalu, mereka ke Jakarta meminta bantuan pemerintah pusat agar ganti rugi di desa area terdampak langsung, ada kepastian. Ketua Pansus Lapindo DPRD Sidoarjo, Nur Ahmad, memaksa bertemu dengan Menteri Keuangan. Mereka ingin sisa pembayaran ganti rugi yang tersendat diambil alih pemerintah.

Pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Jual Beli Aset Lapindo menyebutkan PT MLJ (dulu PT Lapindo Brantas) membeli tanah dan bangunan masyarakat di daerah terdampak langsung. Pembayaran dilakukan 20% sebelum masa kontrak rumah (dua tahun) habis. Besaran ganti rugi antara lain bangunan Rp1,5 juta/m2, pekarangan Rp1 juta/m2, dan sawah Rp120 ribu/m2.

“Masyarakat yang belum terlunasi sekitar 2.000 warga dengan total 3.400 berkas. Dan dari golongan pengusaha ada 26 pengusaha dengan luas lahan 50 hektare. Dari semuanya ada yang sudah dibayar 20% dan ada yang belum sama sekali,” jelasnya.

Hingga sekarang total nilai uang yang belum terlunasi mencapai Rp780 miliar. Jumlah ini belum termasuk aset pengusaha seluas 50 hektare. “Nanti biar urusannya antara pemerintah berhadapan dengan PT MLJ, kan lebih jelas. Daripada sama warga, karena terus ditunda,” tegasnya.

Pembayaran yang tersendat oleh PT MLJ ini berkebalikan dengan pembayaran terhadap warga di luar area terdampak. Mereka tersebar di tiga desa: Besuki, Kedungcangkring, Pejarakan, dan 9 rukun tetangga (RT) di Kelurahan Siring, Jatirejo, dan Mindi. Pembayaran ini lancar.

Inilah yang membuat miris Pansus. Warga di daerah terdampak langsung, nasib pembayarannya terkatung-katung. Justru di luar daerah terdampak, pembayarannya lancar.

Tahun ini, negara mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan lumpur Lapindo dalam Anggaran Penerimaan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 sebesar Rp 155 miliar. Artinya, aliran dana dari pemerintah selama ini terus menjadi agenda rutin. Sedangkan warga daerah terdampak langsung, hanya bisa gigit jari.

Juru Bicara PT MLJ Andi Darussalam Tabusala sendiri belum memberikan pendapat mengenai keinginan warga dan pansus ini. Menurut informasi yang diterima Majalah Detik, Andi sedang berada di luar negeri sehingga tidak merespon ketika dihubungi.

Pastinya Wiwit dan Nur Ahmad mendapat sambutan di Jakarta. Nur mengaku Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Anggiat Sitanggang telah menerima saran ini. Namun pengambilalihan negara ini harus didahului dengan perubahan Perpres No. 14 Tahun 2007 sebagai dasar hukum. Perubahan ini harus mendapat masukan dari Gubernur Jawa Timur.

Namun ketika dikonfirmasi, Anggiat mengaku tidak ada persetujuan semacam itu. Bahkan, tidak ada laporan mengenai pembicaraan terkait lumpur Lapindo. “Tidak, tidak ada pertemuan itu,” tutup Anggiat. (ARY /YOG)

© Aryo Bhawono | Majalah Detik | 1-8 Juli 2013 | [Versi PDF]

Translate »