Akal-akalan Selamatkan Lapindo


Firdaus Cahyadi

Berita mengejutkan itu datang dari pemerintah Joko Widodo terkait dengan penyelesaian kasus Lapindo. Pemerintah secara resmi kembali menggunakan uang pajak rakyat untuk menyelamatkan Lapindo dari tanggung jawabnya dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo.

Demi menyelamatkan Lapindo dalam kasus semburan lumpur di Sidoarjo, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pun ditabrak. Putusan MK dalam uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN Tahun Anggaran 2013 menyatakan bahwa PT Minarak Lapindo Jaya berkewajiban bertanggung jawab dengan mengganti kerugian masyarakat, dan pemerintah harus menjamin terlaksananya ganti rugi tersebut. Dana talangan pemerintah seakan menghapus tanggung jawab Lapindo itu.

Pemerintah berdalih dana talangan itu bertujuan untuk menyelamatkan korban lumpur. Memang, dalam jangka pendek, korban lumpur yang belum mendapatkan uang jual-beli aset dapat bernapas lega karena mendapatkan haknya yang kehilangan tanah dan rumahnya akibat keganasan semburan lumpur Lapindo.

Tapi napas lega korban lumpur itu hanya jangka pendek. Dalam jangka panjang, mereka harus tetap menanggung sendiri dampak buruk yang mereka alami akibat semburan lumpur.

Sebelumnya, pemerintah berusaha membersihkan Lapindo dari noda lumpur dengan cara menamakan lumpur Lapindo menjadi lumpur Sidoarjo. Nama itu diberikan bukan sebuah kebetulan, namun sebuah kesengajaan untuk menghilangkan Lapindo dari pusaran kasus semburan lumpur.

Langkah berikutnya tentu saja adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden yang membagi beban tanggung jawab penanganan kasus Lapindo dengan pemerintah. Uang pajak rakyat pun digunakan pemerintah untuk ikut menangani kasus ini.

Seiring dengan langkah itu, pemerintah melalui kepolisian pun menghentikan kasus pidana Lapindo. Penghentian kasus itu memberikan posisi tawar yang semakin kuat bagi Lapindo ketika berhadapan dengan korban lumpur yang menuntut hak-haknya. Sedangkan pemerintah, dengan sengaja justru semakin bertekuk lutut di hadapan Lapindo dalam kasus semburan lumpur ini. Pendek kata, posisi Lapindo semakin kuat, sedangkan posisi negara dan korban lumpur semakin lemah.

Makin melemahnya posisi negara itu kemudian yang sebenarnya memaksa pemerintahan Jokowi memberikan dana talangan terhadap korban lumpur. Pemerintah seakan didesak di pojok ruangan sehingga benar-benar tak berdaya menyelesaikan kasus yang sudah menyengsarakan rakyat selama delapan tahun lebih ini. Pemerintah seperti tidak punya pilihan selain memberikan dana talangan.

Pemerintah memang tidak punya pilihan kebijakan lain selain memberikan dana talangan dalam kasus Lapindo ini, jika pemerintah masih saja mengikuti paradigma usang pemerintah sebelumnya yang mengasumsikan semburan lumpur di Sidoarjo adalah bencana alam, bukan akibat pengeboran. Selama asumsi itu dipertahankan, selama itu pula pemerintah akan bertekut lutut di depan Lapindo.

Nampaknya, pemerintahan Jokowi tetap mengikuti paradigma lama pemerintahan sebelumnya dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Dan, karena masih mengikuti paradigma lama itulah pemerintah tidak punya pilihan lain selain menyelamatkan Lapindo dari kubangan lumpur. Sedangkan korban lumpur dan masyarakat pembayar pajak lainnya hanya sekadar menjadi tumbalnya.*

Sumber: http://www.tempo.co/read/kolom/2014/12/23/1857/Akal-akalan-Selamatkan-Lapindo


Translate »