Tag: b2b

  • Pengusaha Korban Lumpur Dianaktirikan Pemerintah

    SURYA Online, SIDOARJO-Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) yang dianaktirikan pemerintah dalam proses ganti rugi korban lumpur akan menemui Menteri Pekerjaan Umum (PU), Joko Kirmanto yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pengarah Lumpur Sidoarjo (BPLS ).

    Kelompok yang dipimpin Ritonga itu meminta kepada Joko Kirmanto agar merevisi keputusan pembayaran dengan dana talangan. Karena korban lumpur dari kelompok GPKLL sama sekali tak disentuh oleh pemerintah seperti korban lumpur lainnya. Dalam pengajuan ini, jumlah dana talangan yang disepakati beberapa waktu lalu nilainya Rp 786 miliar untuk korban lumpur. Sedangkan ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur nilanya sekitar Rp 514 miliar belum dimasukkan.

    “Kami semua (GPKLL) juga korban lumpur kenapa dalam keputusan tidak disertakan. Makanya kami akan ke Jakarta (menghadap Menteri PU) untuk minta keadilan,” tutur Ritonga, Minggu (5/10/2014).

    Pengusaha dari korban lumpur melalui pengacaranya sudah mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tujuannya besaran dana talangan yang sudah ditetapkan Rp 786 miliar direvisi. Surat itu juga ditembuskan ke Menteri PU dan pihak terkait. “Dana talangan yang akan dibayarkan supaya direvisi dan pengusaha korban lumpur juga dimasukkan,” terangnya.

    GPKLL nekad menempuh jalur ini karena saat perundingan tidak diperjuangkan Bupati Sidoarjo H Saiful  Ilah saat rapat dengan Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, 24 September lalu. Bupati hanya memasukkan dana talangan bagi korban lumpur dari kalangan masyarakat.

    Pengusaha korban lumpur juga kecewa dengan pernyataan bupati yang seolah-olah tidak menganggap pengusaha yang pabriknya ikut terendam bukan sebagai korban lumpur. Dalam proses ganti rugi waktu itu, pengusaha korban lumpur penyelesaiannya secara business to business karena tidak masuk dalam Peraturan Pemerintah (Perpres).

    “Ya kami semua jelas kecewa dong. Pengusaha sudah delapan tahun menunggu ganti rugi,” ujar Ritonga.

    Ritonga optimistis tuntutannya bakal direalisasikan oleh pemerintah. Dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu, yang harus diselesaikan ganti ruginya korban dan pengusaha korban lumpur. “Kami (GPKLL) minta  difasilitasi DPRD Sidoarjo untuk bertemu dengan bupati guna menanyakan dana talangan kenapa sampai tidak dimasukkan,” terangnya.

    Bupati Sidoarjo, H Saiful Ilah mengungkapkan, yang mendapat dana talangan dari pemerintah adalah korban lumpur dari kalangan masyarakat. Ganti rugi pengusaha yang tergabung dalam GPKLL menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. Karena sebelumnya, antara pengusaha dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar Lapindo sudah ada perjanjian busines to busines terkait pembayaran ganti rugi.

    “Memang waktu pembahasan tidak ada pembahasan ganti rugi pengusaha,” jelasnya.

    Abah Ipul demikian dipanggil mengungkapkan, perjanjian bisnis tersebut sudah diatur sendiri antar pengusaha dengan MLJ. Artinya, pembayaran ganti rugi itu nantinya akan dibicarakan secara berkesinambungan hingga lunas. Jika awalnya tidak ada perjanjian antara pengusaha dengan PT MLJ kemungkinan akan masuk semua dalam ganti rugi oleh pemerintah.

    “Memang pengusaha adalah bagian dari korban lumpur. Tetapi perjanjian antara PT MLJ dengan pengusaha menjadi ganjalan dalam pengambilalihan ganti rugi oleh pemerintah,” terangnya.

    Anas Miftakhudin

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/10/05/pengusaha-korban-lumpur-dianaktirikan-pemerintah

  • Aset Pribadi Dipaksa B2B

    korbalumpur.info – Penyelesaian jual beli tanah antara korban Lumpur dengan Lapindo masih menyisakan berbagai macam permasalahan. Salah satunya adalah adanya warga yang ‘dipaksa’ untuk menerima penyelesaian secara business to business atau B2B. Hal ini misalnya dialami oleh Rudi Farid, warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I (Perumtas I).

    Padahal, aset yang dia miliki merupakan aset milik pribadi, yang dia beli sejak tahun 2002. “Tetapi oleh pihak Lapindo, tiba-tiba berkas saya dianggap milik badan usaha, sehingga diselesaikan secara B2B,” katanya kepada Kanal Korban Lapindo, tadi malam.

    Farid menjelaskan, bahwa dirinya memang mempunyai usaha yang bernama CV Global Citra Mandiri, yang bergerak dibidang percetakan. Usaha ini sudah berjalan sejak tahun 2001, setahun sebelum dia pindah ke Perumtas. “Tetapi, rumah di Perumtas itu adalah rumah tinggal pribadi, bukan atas nama CV saya,” terangnya.

    Dia mengaku kaget, ketika pada saat penanda tanganan berita acara berkasnya pada 3 Oktober 2007, dia diberitahu oleh pihak Minarak Lapindo Jaya bahwa berkasnya diperlakukan secara B2B. Berkasnya kemudian dibawa ke Jakarta seperti halnya berkas perusahaan-perusahaan lain yang menjadi korban Lumpur Lapindo.

    Tentu saja dia tidak mau menerima skema ini, karena faktanya bahwa rumah tersebut memang bukan aset percetakannya. Dengan skema B2B, maka harga aset tanah dan bangunan tidak akan sama dengan yang ditentukan dalam Perpres 14/2007, yaitu 1 juta per meter persegi untuk tanah dan 1,5 juta per meter persegi untuk bangunan.

    “Harga B2B akan dinegoisasikan lagi dengan pihak Minarak, dan pastinya akan lebih rendah dari harga Perpres,” ujarnya.

    Sejak saat itu, dia sudah melakukan berbagai macam upaya agar berkasnya diberlakukan sama dengan milik korban Lumpur lainnya, yaitu sesuai dengan Perpres. Tetapi sejauh ini, jawaban yang diperoleh dari pihak Lapindo maupun MLJ selalu tidak jelas. “Rasanya saya seperti diping pong oleh mereka,” sesalnya.

    Padahal, sejak Bencana Lumpur terjadi, usahanya sudah berhenti total. Dan sejauh ini dia tidak pernah mendapatkan bantuan apapun dari pihak Lapindo, terkait dengan usahanya yang sudah gulung tikar tersebut.

    Karena itu, dia berharap agar pemerintah memperhatikan nasibnya yang terus diperlakukan tidak jelas oleh Lapindo. (ako)