Tag: Banjir Lumpur

  • Bupati Tuntut BPLS Segera Cairkan Lumpur Kali Porong

    Sidoarjo (ANTARA News) – Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, memberi batas akhir (deadline) dua pekan ke depan kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menormalkan Kali Porong, Sidoarjo.

    “Kami sudah bertemu BPLS dan pihak yang menangani Kali Porong. Intinya, saya minta dalam dua minggu ini endapan lumpur di Kali Porong sudah mencair,” kata Bupati Sidoarjo kepada pers di Sidoarjo, Rabu (8/10).

    Win Hendrarso juga menunjukkan Surat Keputusan Bupati bernomor: 630/404.3.18/2008 perihal Tanggul Kali Porong yang ditekennya pada hari Selasa (7/10).

    Berdasarkan prediksi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Juanda, kata dia, Sidoarjo dan sekitarnya, dua pekan lagi akan turun hujan.

    Oleh karena itu, bupati berharap saat musim hujan tiba, endapan lumpur yang mengering di Kali Porong itu terbawa air ke laut.

    Ia mengkhawatirkan, bila endapan lumpur sepanjang kurang lebih 12 km itu tidak segera ditanggulangi, bakal menghambat aliran air pada musim hujan sehingga menyebabkan banjir.

    “Kondisi lumpur seperti itu sangat mengkhawatirkan, apalagi sekarang lumpurnya sudah mengeras,” kata Win Hendrarso yang beberapa hari lalu inspeksi mendadak (sidak) di lokasi endapan lumpur Kali Porong.

    Dalam pertemuan dengan BPLS dan Jasa Tirta di Pendapa Delta Wibawa Pemkab Sidoarjo, Selasa (7/10), juga dijelaskan langkah-langkah untuk mempercepat normalisasi.

    Pada kesempatan itu, BPLS mengaku sanggup menambah sedikitnya enam ekskaponton untuk mempercepat pengerukan endapan lumpur di Kali Porong.

    BPLS juga akan membuat saluran air di tengah permukaan Kali Porong yang tertutup lumpur. Begitu hujan turun, arus air dari barat akan mengalir dan bisa menggerus lumpur.

    Saat ini saluran air dibuat di sisi selatan Kali Porong sehingga menuai protes dari warga di selatan Kali Porong. Masalahnya, air tidak bisa mengalir, karena di tengah permukaan sungai tertutup lumpur. Bahkan, dikhawatirkan tanggul akan terkikis.

    Selain mendesak mempercepat normalisasi Kali Porong, Win Hendrarso juga minta BPLS segera membuat tanggul penampungan lumpur di Desa Renokenongo dan Glagaharum.

    Menurut dia, keberadaan kolam lumpur itu sangat mendesak karena berfungsi untuk menampung lumpur yang dialirkan ke sisi utara dan timur pusat semburan. Apalagi ketika pembuangan lumpur ke Kali Porong dihentikan seperti saat ini.

    Dengan adanya penambahan kolam lumpur baru, dia yakin kolam lumpur yang ada tidak akan jebol. “Saya sudah memerintahkan Camat Porong agar warga Glagaharum yang belum menerima pembayaran 20 persen mengizinkan tanah dan bangunannya digunakan untuk tanggul,” kata Win Hendrarso.

    Ia menjamin berkas-berkas warga Glagaharum yang belum menerima pembayaran 20 persen akan segera dibayar oleh Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Lapindo Brantas Inc.

    Disebutkan pula, dari 403 bidang tanah dan bangunan milik warga Glagaharum, tinggal 116 bidang yang belum menerima pembayaran 20 persen.

    “Saya menjamin itu akan segera dibayar. Untuk itu saya minta warga memperbolehkan tanah dan bangunannya untuk dibuat tanggul,” katanya menandaskan.(*)

    © Antara

  • Sekolah Khalid bin Walid Akhirnya Pindah

    korbanlumpur.info – Sampai Jumat (24/10) kondisi sekolah Khalid bin Walid kian tak berkutik. Banjir air asin dari pusat semburan lumpur Lapindo, yang dua hari sebelumnya menyebabkan sekolah ini terpaksa diliburkan, kian meninggi dan menutup keseluruan akses jalan ke Renokenongo dari arah timur dan bikin sekolah ini memperpanjang liburnya.

    “Senin baru bisa masuk,”  tutur Tri Ari Wilujeng, guru biologi Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid.

    Setelah luapan lumpur ini, dua tahun lalu, sekolah ini berjalan dengan tidak normal. Siswa-siswanya menjadi sulit dikontrol kedatangannya ke sekolah.

    “Hari ini anak ini yang datang besok orang lain. Saya jadi kesulitan mengingat siswa saya,” tutur Sudiono Akhmad  Rofiq, guru sosiologi MA dan juga korban lumpur Lapindo dari desa Glagaharum RT 04/01.

    Hal ini dimaklumi oleh Rofiq karena memang kebanyakan siswa dari keluarga para korban yang mengungsi ke berbagai tempat di Sidoarjo sampai Pasuruan dan ini menjadi kesulitan tersendiri bagi para siswa karena musti mengeluarkan biaya tambahan untuk datang ke sekolah.

    Rofiq tahu betul banyak korban yang kehilangan pekerjaan dan ganti rugi dari Lapindo juga tak kunjung jelas juntrungannya.

    Tak hanya itu, karena tiga kali kena banjir lumpur dan air asin, buku-buku pelajaran milik sekolah ini juga dititipkan ke beberapa rumah guru untuk pengamanan. Ini tentu saja menyulitkan proses belajar-mengajar siswa-siswa Khalid bin Walid dari TK sampai tingkat Aliyah yang jumlahnya mencapai 300 lebih siswa.

    Meski tiga kali kebanjiran, sejak luapan lumpur, sekolah ini tetap bertahan menempati sekolah mereka karena tak ada peringatan atau inisiatif baik dari pemerintah atau Lapindo untuk memindah sekolah ini. Alasannya, karena sekolah ini swasta.

    “Tak ada perintah untuk pindah. Yang disuruh pindah  hanya sekolah negeri,” tutur Rofiq.

    Peringatan untuk pindah tak juga datang hingga desa Renokenongo ditanggul, sekira seminggu lalu, dan karena tidak ada harapan lagi banjir air asin akan surut sebab tanggul di sebelah barat tanggul cincin pusat semburan lumpur yang jebol tidak diperbaiki dengan layak oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Akhirnya pimpinan sekolah ini berinisiatif sendiri untuk pindah ke desa sebelah timur mereka; Glagaharum. Mereka mencari tempat sendiri tanpa bantuan dari pemerintah ataupun Lapindo.

    Tempat baru mereka adalah sebuah gudang bekas milik toko bangunan Sakinah kepunyaan Christina, istri mantan lurah Glagaharum. Toko bangunan ini bangkrut setelah luapan lumpur karena di Glagaharum tak ada lagi yang membangun rumah setelah luapan lumpur.

    “Sejak pagi kami mengangkut meja-kursi ke Glagaharum,” tutur Toni Budiawan, kepala Tata Usaha Madrasah Tsanawiyah (MTs) Khalid bin Walid, “Masih ada dua lemari buku yang tertinggal di dalam.”

    Tempat baru ini buruk sekali karena kotor dan berdebu, meja-kursi sekolah di tata berantakan tak ada sekat  masing-masing kelas. Sementara ruang guru ditempatkan dibekas ruang kecil bekas menyimpan semen.

    “Hanya itu yang bisa saya berikan,” tutur Christina. [mam]